Sang Dewi Turun Tangan

15 5 0
                                    

"Tante Hera di rumah 'kan? Tolong aku."

Kriet ....

"Marendra? Oh, astaga, ada apa? Kenapa kamu menangis?" Hera segera menyejajarkan tingginya dengan Marendra. Sebenarnya ia panik, tetapi perasaan itu ditekan supaya dirinya bisa menenangkan anak tetangganya, "Tenang dulu. Tenang, Nak."

Hatinya tergerak mendengar tangisan Marendra. Jadilah ia merentangkan tangan dan membiarkan anak itu lega dahulu. Setelah tangisannya reda, baru Hera bertanya kembali sembari menghapus air mata Marendra, "Ada apa?"

"Papa sakit. Sepertinya sangat sakit," lirih anak laki-laki itu, "Papa demam tinggi, aku ga tau harus ngapain,Tan."

"Tenang. Sekarang ayo kita ke rumahmu," perempuan berambut pirang tersebut mengulurkan tangan pada Marendra yang disahut dengan cepat. Setelah memastikan pintu rumahnya terkunci rapat, Hera mengikuti Marendra untuk berkunjung ke rumahnya.

"Sekarang coba lihat dulu. Papamu tidur atau engga. Kalau iya, berarti jangan sampai kita membuat keributan. Oh, iya, kalian punya air panas?"

"Di termos ada kok, Tan," Marendra menjawab cepat sebelum masuk ke kamar ayahnya. Akan tetapi, hanya dengan sekali tengok, anak bungsu Giyanta bisa memastikan ayahnya tidur dengan rintihan sesekali.

Baiklah, Marendra tidak tega melihat Giyanta seperti ini.

"Masih tidur, Tan. Ada yang bisa aku lakukan?" anak itu kembali menghampiri Hera.

"Kita kompres dahi ayahmu pakai air hangat. Bisa bantu Tante menyiapkan alatnya?" Saat ini Marendra dengan patuh mengikuti arahan Hera. Ia mengambil ember dan handuk kecil karena hanya dia yang tahu di mana barang tersebut saat ini. 

Bahkan saat Hera hendak menuangkan air panas, Marendra memilih untuk melakukannya sendiri. "Biar aku aja, Tan."

"Eh, ga apa kok," Hera menolak untuk dibantu, ia tidak ingin merepotkan anak itu sebenarnya. Namun, Marendra bersikeras untuk menuangkan air panas dari termos ke ember. Untunglah anak termuda keluarga Gardapati tersebut bisa melakukannya dengan baik. Sementara itu, Hera menampung air dingin dari kran wastafel dengan gayung. Ia kemudian memastikan air itu tidak terlalu panas juga tidak terlalu dingin.

"Sudah. Di kamar ayahmu ada meja?" tanya perempuan berambut panjang pirang tersebut sembari mengangkat ember berukuran kecil.

"Ada meja. Tapi biasanya itu tempat laptop. Tapi ada kursi juga di sana, Tan. Bisa dipakai buat taruh ember di situ," Marendra pun berjalan menuju kamar ayahnya mendahului Hera dan menarik kursi yang ada di bawah meja perlahan agar Giyanta tidak terbangun. Setelahnya, anak itu mempersilakan Hera, yang sebelumnya ragu-ragu, untuk langsung masuk saja. Dalam ketenangan, perempuan itu segera mencelupkan kain ke air hangat, memerasnya, lalu dengan perlahan meletakkannya pada dahi Giyanta.

"Sampai berapa lama?" tanya Marendra.

"Selama 15 sampai 20 menit," Hera menjawab dengan perlahan.

"Demamnya langsung turun?" lagi-lagi anak itu bertanya.

"Mungkin sedikit."

"Kalau ga turun gimana, Tan?" sesaat Marendra berkata dengan lirih dan menatap ayahnya khawatir.

"Sepertinya harus ke rumah sakit," jawab Hera sembari mengendikkan bahu. Segera saja raut wajah anak itu berubah menjadi cemberut. Wajahnya mulai memerah dan perempuan itu bisa melihat matanya menjadi sedikit berkaca-kaca, "Shh, ga apa. Ini udah 15 menit. Coba cek suhu badan ayahmu."

Marendra pun mengambil termometer yang ada di sebelah bantal Giyanta dan mencoba mengoperasikannya. Setelah didapatkan angka ia memperlihatkannya pada Hera.

The CureTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang