Mengapa Sangat Dingin?

15 8 4
                                    

"So, how'd your day in school?" Jati yang kini duduk di kursi bus sebelah Antonio persis mencoba membuka pembicaraan dengan sang adik.

"Just like that," adiknya menjawab pendek. Membuat Jati semakin ingin mengajaknya bicara banyak.

"Jadi, sudah mengambil kelas tambahan?" kali ini anak petama Giyanta berharap adiknya cerita lebih banyak.

"Aku pilih robotik."

"Kenapa?"

"Karena menarik."

"Begitu saja?" Jati kini benar-benar menatap Antonio dan mengangkat alis. Itu semua bukan respons yang ia bayangkan.

"Hm," bahkan balasan adiknya makin pendek. Akan tetapi, anak itu melanjutkan perkataanya, "But I think I will like it."

"Aku tahu kamu tertarik dengan hal-hal berbau teknik. Kamu bisa memperbaiki lampu Natal yang aku rusak," Jati makin mendekati Antonio dengan berbagi ingatan yang sama.

"Itu bukan masalah. Hanya elektronika sederhana dan ga separah yang terlihat," Antonio tidak menatap kakaknya sama sekali.

"Ya, tetap saja waktu itu aku kaget karena lampunya meledak."

"Arus pendek yang kemarin hanya percikan. Ga terlalu berbahaya walau membuat seluruh rumah padam listriknya," anak itu melanjutkan penjelasannya, "Meskipun ga menutup kemungkinan kakak bisa menyebabkan kebakaran."

"Kebakaran? Gak, dong! Aku ga seceroboh itu," balas Jati sembari menghela napas.

"Oh, you are, Kak. I'm the one who fixes any broken things that are caused by your hands anyway," Antonio mengendikkan bahu dan menatap kakaknya lagi.

"Kamu membuat itu terdengar sangat buruk," anak kandung tertua Giyanta tertawa kecil lalu menggeleng.

"Memang," adiknya tersenyum sekilas, pudar sebelum Jati menyadarinya, "Lagian siapa yang waktu itu banyak tingkah sampai nabrak gua dekorasi Paskah?"

"Kamu ingat itu? Bukannya waktu itu aku masih 7 tahun?" Jati mengerutkan dahi.

"Itu cerita favorit Mbah soal kamu, Kak," balas Antonio sembari kembali melihat ke jalanan.

"Lagian itu sudah hampir satu dekade lalu. Aku lebih berhati-hati sekarang," kemudian Jati berdecak, "bagaimana sekolah, secara keseluruhan, sejauh ini?"

"Ya, begitu," Antonio menggeleng, "Nothing new, I guess."

"Did you make friends?"

Anak itu menggeleng lagi kemudian menundukkan pandangan, "Sudah seharusnya. Lagian aku bisa survive sendiri. I'm always alone."

"Pasti akan ada seseorang yang ingin jadi temanmu," Jati merangkul adiknya.

"Kita sampai di Gang Kawung, Perumahan Parangkusumo." Suara pengingat dari bis membuat mereka berdua menyadari bahwa ternyata sudah banyak anak-anak yang tidak berada di dalam bis.

Antonio segera melepas rangkulan Jati dan berdiri, "As a kid who broke many hearts and can't fix any of it .... I don't think I need one." Anak itu keluar dari bus duluan mendahului Jati yang masih berdiri di tempatnya. Ia hampir yakin hari ini bisa kembali meluluhkan hati adiknya. Akan tetapi ketika bus berhenti, mengapa dia kembali dingin?

"Cut!" Giyanta menghela napas setelah menyelesaikan satu lagi adegan. Pria itu kemudian melihat hasil pengambilan gambar bersama Juanna dan para penari.

"Yang kali ini sudah bagus. Bagaimana menurut kalian?" pria itu mundur dan memberi kesempatan pada yang lain untuk melihat. Satu-persatu dari mereka ikut mundur karena sudah merasa puas. Kini tersisa Juanna di sana, terus memutar kembali detik yang sama.

The CureWhere stories live. Discover now