Hari Pertama

34 9 4
                                    

Baik rumah keluarga Giyanta dan Jayantaka sedang sibuk menyiapkan anak mereka masing-masing untuk berangkat sekolah. Ini memang bukan pertama kalinya mereka harus menyiapkan anak-anaknya untuk sekolah. Akan tetapi, ada saja hal-hal yang membuat keributan berskala kecil di rumah mereka.

"Topiku mana? Kak Jati lihat ga?" Marendra tiba-tiba mendatangi Surajati yang masih mencari dasinya sendiri.

"Topimu hilang?" tanya Giyanta memastikan sekali lagi apa yang ia dengar.

"Iya, di kamar ga ada," balas Marendra sembari menekuk bibirnya.

"Ah, okay, sebentar. Duh, ini juga ga ketemu. Jati, sebentar, ya. Kalau kata kamu bener di atas meja seharusnya udah ketemu dari tadi," Giyanta berlari kecil menuju kamar anak bungsunya dan mulai mencari-cari topi biru gelap mulai dari atas meja hingga menyusuri seluruh bagian lemari.

"Kamu yakin udah cari di seluruh bagian kamar?" pria itu memastikan sekali lagi kalau anaknya sudah mencari dengan teliti.

"Sudah, sepertinya," jawab Marendra lirih.

"Ini, ketemu!" Giyanta menyerahkan topi biru yang ia dapatkan setelah merogoh kolong kasur pada anak bungsunya.

"Paaaa, kok bau gosong?" Irawan yang berseru dari kamar mandi dekat dapur membuat pria 39 tahun itu berlari ke dapur. Ia segera mematikan kompor sebelum semua nugget di wajan gosong merata.

"Papa besok lagi buat nugget rebus aja kalau gosong gitu," komentar Marendra yang melihat tampilan tidak menarik dari sekumpulan nugget ayam di atas panci.

"Kalau kalian ga mau bekal ini, nanti makan di kantin. Uang jajan naik, tenang aja," Giyanta tersenyum miris sambil menyingkirkan semua nugget gosong dari wajan.

"Oke, Pa," si Anak Bungsu tentu saja setuju dengan ide itu.

"Jati, gimana? Udah ketemu?" ia kembali berjalan ke kamar Anak Tengah untuk memastikan anaknya sudah siap.

"Hehe, udah. Ternyata ada di laci meja bagian bawah," Surajati keluar dari kamarnya sembari tertawa.

"Irawan masih di kamar mandi? Haduh udah rapi malah mules," Giyanta kini berkacak pinggang di depan kamar mandi, "Besok lagi jangan sarapan pake sambel."

"Tapi enak," lirih Irawan yang membuat pria itu hanya bisa menghela napas. Keadaan tidak jauh berbeda di keluarga Jayantaka yang baru saja pindah. Meskipun hanya memiliki satu anak, Rahandika tetap berlari kesana kemari mencari keperluan Surajana yang masih tercecer.

"Topi ... topi ...," Rahandika mengeluarkan beberapa barang dari kotak kardus untuk mencari topi merah.

"Pih, ini udah dikepalaku," Jana menepuk pundak ayahnya sembari menunjukkan topi merah yang sudah bertengger di kepalanya.

"Topi, dasi, sudah semua. Apa yang belum. Tasmu?" pria berusia 35 tahun itu kembali mengedarkan pandang untuk mencari tas Surajana yang tidak nampak di manapun, "Kamu semalam belum nyiapin isi tas?"

"Belum, semalam tasnya belum ketemu," jawab Jana tanpa menunjukkan wajah bersalah.

"Kenapa ga bilang Papi?"

"Papi udah tidur di sofa. Bukannya ga boleh ganggu orang tua yang kecapekan?" Rahandika terdiam sejenak karena perkataan Jana. Anaknya benar, dia tertidur lebih awal semalam dan lebih parahnya tidak ada yang bisa mengganggunya saat tidur.

"Kenapa ga bilang dari tadi?"

"Karena Papi ga tanya." Jawaban Jana sukses membuat Rahandika sedikit kesal.

Tetapi alih-alih marah, ia tersenyum dan menarik napas, "Ya udah hari ini ga usah bawa tas. Gitu aja, ya?"

"Masa gitu Pih? Aku tetap butuh tas dong," protes Surajana.

"Ya, sini cari bareng. Kemarin kamu masukin ke kardus yang mana?" kini mereka berdua sibuk mencari-cari tas Surajana di tiap kardus yang berisi barang anak-anak itu.

"Kalau nanti ga ketemu kita beli aja ya, Pih?" celetuk Surajana yang membuat ayahnya mengernyit.

"Jam segini mana ada toko yang buka. Lagian nanti kamu dijemput sama bus sekolah, ga boleh telat. Duh, ini, nih tasnya ada di bawah kardus isi buku. Kamu belum nata bukunya ke meja?" Rahandika membersihkan tas cokelat itu dari debu sebelum menyerahkan pada anaknya, "Kamu udah kelas 6 SD, lho. Jangan nunggu Papi bilang baru dikerjain. Kalau bisa kamar dijaga kebersihannya, kerapihannya sendiri. Udah gede kamu tuh. Nah, mana barang-barang yang harusnya masuk ke sini?" Setelah sedikit diceramahi, Jana dengan patuh membawa barang-barang yang harus ia bawa ke sekolah, seperti buku dan tempat pensil, untuk dimasukkan ke tasnya.

"Nanti yang jemput Papi, 'kan?" tanya Jana selagi memanggul tas cokelat di pundak.

"Iya, nanti sekalian makan siang. Kamu belum pulang sore 'kan hari ini?" Rahandika balik bertanya.

"Iya."

"Baik-baik di sekolah. Berteman sama mereka, ya, meskipun kamu baru."

"Iya, iya."

Honk! Honk!

Bus kecil berwarna kuning berhenti di depan Gang Truntum sembari membunyikan klakson dua kali sebagai tanda bahwa anak-anak di gang itu sudah harus keluar dari rumah dan masuk ke bus.

"Nah, untungnya kalian semua sudah selesai bersiap," Giyanta menepuk pelan kepala ketiga anak laki-lakinya, "Belajar yang bener, tapi jangan terlalu keras pada diri sendiri. Hari pertama dan seterusnya, aku ga mau ada dari kalian yang sakit."

"Aku ga bisa janji. Semester ini menentukan caraku masuk ke perguruan tinggi besok. Aku harus belajar sangat keras biar Papa ga kecewa," Irawan tersenyum lalu menjabat serta mencium tangan ayahnya, "Sampai jumpa nanti sore. Hari ini aku harus mengurusi orkestra untuk penampilan saat hari ketiga penerimaan siswa baru."

"Jangan begitu, kalian sehat lebih berarti buatku," Giyanta menepuk punggung si Sulung. Selanjutnya, Surajati besalaman juga mencium tangan ayahnya sembari memohon izin, "Aku juga pulang sore hari ini. Harus latihan dance buat pertunjukkan yang sama seperti Kak Irawan."

"Apa Papa harus menyamar jadi anak SMA biar bisa lihat penampilan kalian?"

"Minimal Papa potong rambut dulu deh," komentar Marendra diiringi tawa pelan. Giyanta tersenyum tipis kemudian mengalihkan tangan untuk menyahut jabatan tangan si Bungsu.

"Hari ini aku bakal pulang cepat dan tidur siang selagi masih bisa," kata Marendra sembari mengecup tangan ayahnya.

"Perlu dijemput?" Giyanta bertanya pada semua anaknya. Mereka bertiga serempak menggeleng. "Baiklah, hati-hati."

Rahandika pun keluar rumah untuk mengantar anaknya menuju bus.

"Jadi anak yang baik. Berbaur sama temen-temen baru," pesan sang Ayah sebelum anaknya benar-benar masuk ke dalam bus.

"Iya, Pih. Iyaaa," Jana menjawab lalu tertawa karena itu sudah ketiga kalinya sang Ayah mengutarakan kalimat yang sama. Setelahnya, Marendra, Jati dan Irawan masuk ke dalam bus juga sementara Giyanta mengawasi dari jauh. Setelah dipastikan semuanya masuk, supir menekan klakson sekali lagi sebelum bus benar-benar berangkat.

Honk!

Rahandika menghela napas melihat bus kuning kecil itu berlalu dari hadapannya, membawa Surajana ke sekolah baru dan lingkungan baru. Saat ia berbalik, didapatinya Giyanta berdiri sambil melambaikan tangan ke arahnya.

"Sudah sarapan, Ka?" tanya Giyanta.

"Belum," Rahandika menjawab singkat.

"Mau nugget gosong gak?" pria dengan rambut hitam dicepol menyodorkan kotak tupperware merah muda pada lawan bicaranya. Tanpa bertanya lagi, ayah dari Surajana itu langsung mengambil salah satu nugget di sana.

Baru satu gigitan, ia melayangkan protes, "Kok luarnya gosong?"

"Aku udah bilang 'kan itu nugget gosong? Ya jelas gosong."

"Iya juga," Rahandika terdiam, "Aish, aku yang ga fokus. Ya sudah, ga baik buang-buang makanan." Pria berambut cokelat itu menghabiskan satu potong nugget gosong di tangan yang ternyata tidak terlalu buruk untuk orang yang kelaparan seperti dirinya saat ini.

The CureWhere stories live. Discover now