Anjing Menyalak Di Ekor Gajah

12 2 0
                                    

***
Sebelum lanjut membaca. Bagian ini mengandung trigger warning berupa bullying. Tolong kebijaksanaannya. Terima kasih.

***

Aneh.

Sebentar lagi jam pelajaran berakhir. Tetapi Marendra belum kembali dari kamar mandi. Antonio melirik ke bangku sampingnya, ponsel Marendra juga masih di sana.

"Lama sekali," anak itu melihat kesekitar sebelum kembali menatap papan tulis.

Plak!

Marendra tersungkur setelah ditampar oleh seorang anak laki-laki yang lebih tinggi darinya. "Ga punya duit lagi? Bisa-bisanya. Bukannya lu anak orang kaya? Cuma dikasih dikit? Jangan-jangan lu bukan anak kandung lagi. Anak pungut ya? Sehari cuma dikasih sepuluh ribu. Abis pula."

Dug!

Satu pukulan dilayangkan oleh Marendra ke lawannya. Anak itu menggeram, "Terserah apa katamu soal aku. Tapi jangan sekali-kali sebut Papaku." Anak laki-laki yang lebih tinggi kembali membalas dengan mendorong Marendra ke pojok tembok dan kembali menonjoknya.

"Berani ya lu? Siapa yang ngajarin? Kakak lu yang sok jagoan, huh?" tanpa perlawanan, ia terus memukul perut Marendra, "problematik, sok-sokan pula." Kali ini anak bungsu Giyanta menonjok wajah lawannya dengan sisa tenaga yang ia miliki. Marendra bisa tahan kalau dia yang diejek. Akan tetapi ia tidak akan diam ketika keluarganya yang lain dijadikan bahan ejekan.

"Bajingan lu!"

"Pak!" Antonio tiba-tiba mengangkat tangannya, menginterupsi pelajaran, "Saya izin ke kamar mandi."

"Oh, sebentar lagi kelas selesai. Bisa ditahan?" Anak kandung termuda Giyanta itu menolak saran gurunya dan segera berdiri.

"Maaf, Pak. Saya tidak bisa menahannya," setelah meminta izin, ia berjalan ke luar kelas lalu berlari menuju kamar mandi. Begitu ia membuka pintu kamar mandi pria, suatu pemandangan mengejutkan membuat waktu Antonio serasa berhenti. Seorang anak laki-laki berperawakan tinggi sedang memukuli anak yang sudah berada dalam posisi meringkuk. Ia berharap matanya salah saat ini.

Tetapi harapan hanya sekadar ilusi karena anak itu memang Marendra. Adiknya.

"Lu bego ya? Cari lawan yang sepadan dong!" seruan Antonio itu membuat si anak berhenti menendang Marendra dan menatap langsung ke mata penantangnya.

"Sepadan? Lu pikir lu sepadan sama gue?" Satu pukulan dilayangkan, akan tetapi Antonio berhasil menangkap tangannya dan kemudian memelintirnya. Dengan tangan yang masih bebas, anak itu mendorong tubuh lawannya ke pintu toilet yang tertutup.

Bruk!

"Lu masih mikir kita sepadan, Antonio Gardapati?" Saat ini Antonio tidak peduli dengan gertakan anak itu atau rasa sakit di tubuhnya yang tengah ditekan. Ia melirik Marendra yang tengah berusaha untuk berdiri lagi. Ia bisa mendengar rintihannya. Rintihan yang membuatnya lupa cara melawan yang pernah Mosha ajarkan padanya ataupun fakta bahwa ia sebenarnya harus melewati masa percobaan sebulan.

Tanpa hadirnya Mosha, yang saat ini sedang lomba di luar kota, atau Marendra yang kuat untuk melerai, Antonio melawan kembali sekuat tenaga. Ia terus melayangkan pukulan dan membenturkan tubuh lawannya ke tembok. Tepat saat mata Marendra bertatapan dengan Antonio, amarah benar-benar menguasainya. Serangan membabi-buta Antonio tidak berhenti meskipun bel pulang sekolah sudah berbunyi dan banyak pasang mata menyaksikan itu sebelum pihak sekolah akhirnya mengetahui apa yang terjadi di kamar mandi.

Termasuk Yodha Arkananta Danendra.

Drrtt... Drrtt....

Giyanta segera menepikan motornya ketika sadar ponsel yang ada di kantong jaketnya berbunyi.

"Ah, 4 missed calls?" Ia langsung menjawab panggilan saat ini.

"Halo... Iya... Saya Giyanta Gardapati," kabar yang ia terima selanjutnya membuat pria itu segera memberi kabar bahwa ia batal menghadiri gladi kotor release party dan memutar arah motornya.

Brak!

Pintu UKS dibuka secara tiba-tiba oleh sepasang orang tua berpakaian rapi dan mewah.

"Raihan! Oh astaga. Kok,kamu bisa babak belur gini?" ibu anak itu langsung memeluk anaknya yang berada di tempat tidur tepat seberang Antonio. Ayah dari anak itu melipat dada dan menatap Antonio tajam. Tanpa takut sedikitpun, anak bungsu kandung Giyanta juga balas menatap pria itu.

"Antonio! Ma ...."

Bruk!

Ayah Raihan yang masih terbutakan amarah langsung menarik leher kaos Giyanta yang baru saja datang dan membenturkan pria itu ke pintu UKS.

"Sayang, tenang. Jangan pakai kekerasan di muka umum," peringatan dari istrinya membuat pria itu melepaskan Giyanta.

"Maaf, Bapak, Ibu, mari ikut ke ruangan saya," seorang guru wanita memberi informasi yang membuat orang tua dari kedua belah pihak itu sedikit tenang dan mengikutinya untuk mediasi di ruang BK. Begitu semua orang telah mendapatkan kursi, bapak dari Raihan langsung menatap tajam Giyanta, "Jadi ini orang tua dari Antonio Gardapati yang berani memukul anak dari seorang anggota DPRD kota? Hanya ayahnya? Sepertinya rumor itu bukan hanya kabar angin tak berdasar. Seorang anak yang baru saja pindah dan berada masa percobaan tadinya anak nakal, keluarganya tidak lengkap pula. Pantas saja. Benar-benar memalukan, anak dengan latar belakang seperti itu ada di sekolah terpandang ini."

Giyanta menekan amarahnya. Ia menarik napas, menghembuskannya perlahan lalu menatap balik lawan bicaranya, "Ya. Saya Giyanta Gardapati. Orang tua dari Antonio Gardapati, anak yang sudah memukuli anak Anda. Saya juga orang tua dari Marendra Gardapati, anak yang sudah dipalak dan juga dipukuli oleh anak Anda. Saya juga setuju, memang memalukan anak dengan latar belakang seperti itu melakukan hal yang sangat mengerikan di sekolah yang terpandang ini."

"Anak kami memalak? Tuduhan tidak berdasar macam apa itu?"

"Maaf," seorang perempuan dengan setelan suit menengahi debat yang baru akan mulai, "Saya harus mengurus beberapa surat sebelum dapat memulai mediasi. Sebelumnya maaf juga untuk orang tua Raihan, anak Anda memang terbukti merundung Marendra. Ada banyak saksi dan juga bukti berupa data luka-luka yang dialami." Perempuan itu adalah sang kepala sekolah sendiri, Bruna Zahera. Ia menaruh berkas yang dibawanya di atas meja. Belum selesai kedua orang tua Raihan memahami berkas itu, guru BK datang bersama berkas lain dan juga sebuah jam tangan.

"Ini foto yang diambil oleh CCTV hari ini. Bisa dilihat jamnya. Marendra lebih dahulu masuk ke kamar mandi, kemudian Raihan, baru lama kemudian Antonio masuk. Juga Marendra menyerahkan jam tangannya pada saya. Setelah kami cek, bukan rekaman pelajaran sekolah yang ada di sana. Hanya ada rekaman suara Raihan setiap memalak Marendra," guru itu menjelaskan dengan rinci setiap bukti yang dimiliki sekolah.

"Rekaman yang ada di jam ini tidak bisa dipindahkan ke device lain oleh siswa karena terenkripsi, jadi tidak mungkin apa yang ada di sini dimanipulasi dengan AI," Bruna kini menatap pasangan orang tua yang duduk di sebelah kirinya, "Surat dari sekolah juga sudah terbit. Karena dengan semua bukti ini anak Anda sudah mendapat poin 101, dikeluarkan dari sekolah."

"Dikeluarkan? Lalu bagaimana dengan Antonio? Anda seharusnya mengakhiri masa percobaannya dan tidak menerimanya karena dia juga sudah berbuat kekerasan di sekolah!" ayah Raihan tidak terima dengan putusan sekolah.

"Antonio hanya mendapatkan masa skorsing satu hari dan tetap diterima karena ia membela adiknya, Marendra. Bukti yang berbicara, Pak. Sekali lagi, maaf, kami harus mengeluarkan anak Anda dari sekolah." Bruna tetap tegas dengan keputusannya dan akan menanggung apapun akibat dari melawan seorang anggota DPRD Kota. Setelah selesai mediasi, Giyanta langsung berlari ke ruang medis di kompleks sekolah itu.

"Papa, aku baik-baik saja," begitu melihat Marendra, Giyanta tidak berbicara apapun. Ia hanya memeluk anaknya termudanya itu dengan perlahan. Kemudian melepasnya dan berbalik memeluk Antonio yang sekarang sudah berdiri di antara Irawan dan Jati.

Dengan lirih pria itu berbisik, "Makasih udah jaga adikmu." Giyanta mengatur emosinya, ia tidak ingin menangis di depan anaknya. Meskipun ia melihat seluruh tubuh Marendra terbebat perban serta tangan kirinya yang disangga ataupun lebam di wajah Antonio. Pria itu menyembunyikan emosinya, memasang persona kuat.

Ia harus kuat demi mereka semua. Meski itu artinya harus menjadi seperti anjing yang menyalak di ekor gajah.

The CureTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang