Ilmu yang Menyenangkan

14 5 0
                                    

"Jati, kamu serius tanya sama Papa?" Irawan dan Jati kini bersama-sama berdiri di hadapan ayah mereka yang sedang mendekam dalam studionya.

"Iya serius, Pa. Aku benar-benar ga bisa membantu diperhitungan ini,"Irawan menghela napas, lalu kembali memasang wajah memelas.

"Papa lihat soalnya saja pusing. Mana bisa ini," Giyanta mengerutkan dahi melihat soal-soal yang ada di tangannya.

"Pusing karena masih flu mungkin, Pa," Jati bersikeras bahwa ayahnya itu bisa membantu.

"Mau ga flu juga ga bisa. Sebentar, menjauh," setelah memberi aba-aba pada anaknya, pria itupun bersin. Itu sebagai hasil dari demam kemarin, ia sebenarnya mengalami flu.

"Belum sembuh juga?" tanya Irawan yang sekarang berdiri agak jauh dari ayahnya bersama Surajati.

"Paling besok juga sembuh. Flu aja kok," jawab Giyanta sembari menggosok hidungnya, "Hm, intinya ... maaf, ya, Papa ga bisa bantu. Iya, sih, di SMA Seni tetap belajar matematika tapi Papa ga inget ada yang sesulit ini atau ya memang ga ada ...."

"Huhu, buntu dong. Tanya ke siapa lagi nih?" Jati menekuk bibirnya sembari berjalan keluar studio ayahnya dengan Irawan yang mengikuti. Di tengah keputusasaan, tiba-tiba suatu ide melintas di otak anak kedua dari keluarga Gardapati saat melihat pintu rumah tetangga seberang rumahnya terbuka.

"Om Rahandika mungkin masih inget ga sih, Kak?" anak itu mempertimbangkan idenya pada sang kakak.

"Mau dicoba?"

"Okay, kayaknya ga ada ruginya." Dua anak yang sudah putus asa itupun bertandang ke kediaman Jayantaka.

Tok! Tok! Tok!

"Permisi, Om Rahandika!" Jati mengetok pintu yang memang sudah terbuka sebagai formalitas dan juga memanggil nama empunya rumah. Tak lama kemudian, Rahandika muncul bersama anaknya, Jana.

"Ada apa? Ada masalah?" itulah sahutan yang diberikan pada panggilan Jati padanya.

"Ada masalah karena aku ga bisa ngerjain PR matematika, Om," jelas anak yang lebih tinggi itu padanya.

"Dan aku ga bisa memecahkannya karena itu adalah materi yang paling ga bisa aku pecahkan. Ah, aku bingung kalau soalnya berubah total," Irawan ikut menjelaskan duduk perkara yang membuat mereka berdua mengunjungi Rahandika, "Ah dan Papa ga bisa membantu."

"Soalnya seperti apa?" tanya sahabat Giyanta itu.

"Seperti ini, integral ...," setelah Jati menunjukkan soal tersebut pada Rahandika, ia menatapnya tanpa mengedip. Sesekali, kepalanya dimiringkan sementara Jana, Jati dan Irawan hanya terdiam.

"Maaf, Om juga ga tahu ini apa. Sepertinya pelajaran yang jurusan MIPA ya? Om dulu jurusan IPS," lagi-lagi mereka dapat penolakan, "Udah coba cari di internet?"

"Iya, ga ada Om," Jati menggeleng. Setelah menghela napas, anak itu tersenyum lalu berkata, "Ya sudah, makasih ya, Om. Maaf mengganggu."

"Ga apa, Om yang harusnya meminta maaf karena ga bisa membantu," Rahandika tersenyum tipis setelahnya.

"Ga apa kok, Om. Permisi!" begitu kedua anak Giyanta putar badan hendak kembali ke rumah.

Hera yang melihat keputusasaan mereka segera memanggil, "Nak, ada apa?" Irawan dan Jati pun segera menghampiri perempuan berambut pirang tersebut.

"Tante Hera bisa bantu kerjain soal integral?" Jati kembali berbinar setelah menemukan harapan baru.

"Bisa, semoga masih ingat. Sini, sini duduk di ruang tamu rumah tante dulu," ajakan Hera bersambut dengan baik. Kedua anak Giyanta mengikutinya untuk masuk ke bagian ruang tamu rumah. Setelah sampai, barulah perempuan itu kembali bertanya tentang tugas Jati.

The CureWhere stories live. Discover now