Ajining Dhiri Ana Ing Lathi

21 6 0
                                    

Sore setelah kejadian tidak mengenakkan itu, Rahandika hanya bisa menatap marah anak semata wayangnya. Setelah Marendra lari begitu saja karena merasa marah, Jana bisa-bisanya berkata pada ayahnya tanpa dosa untuk membenarkan pernyataannya.

"Benar 'kan, Pih kalau dia anak pungut?"

Bagaimana bisa Rahandika tidak meradang setelah mendengar itu? Ia marah karena anaknya dengan mudah mengejek temannya saat kesal. Akan tetapi, Rahandika juga menjadi marah pada dirinya sendiri. Jangan-jangan saat lepas pengawasan, Jana juga melakukan hal yang sama pada teman-temannya di sekolah? Hal itu membuatnya frustrasi sendiri.

Kini, Jana masih menundukkan pandangan dengan melirik sesekali pada Nintendo Switch Marendra yang tertinggal di sana. Rahandika menghela napas sebelum akhirnya mengatakan sesuatu pada anaknya.

"Jana, perasaanmu gimana kalau tiba-tiba temanmu mengataimu 'Piatu!' ketika mereka marah padamu?" ia berusaha memberi pengertian kepada Surajana.

"Aku ga akan marah karena itu benar," jawab Jana dengan tenang. Namun, gestur tubuhnya berbeda, sangat menunjukkan bahwa ia takut dengan ayahnya.

"Tapi Papi marah kalau ada yang ngejek Jana begitu. Paham 'kan sekarang?" Rahandika memarahi tanpa menaikkan volume suaranya, "Kalau kamu dan Papi yang sedarah aja menanggapi satu hal yang sama dengan respon yang berbeda, terlebih temanmu. Ga semua orang berpikiran sepertimu. Ingat ini, Jana, ajining diri ana ing lathi. Semua hal yang kamu katakan mencerminkan dirimu. Jangan dibiasakan mengejek orang karena marah." Meskipun pria berusia 35 tahun itu mengatakan semuanya sembari tersenyum karena bawaan fitur wajahnya, nada suaranya cukup untuk membuat Surajana merasa bersalah.

"Lagi pula tadi Marendra marah karena kamu melanggar janji 'kan? Sekarang juga kamu harus minta maaf padanya. Ga baik untuk punya masalah dengan orang, apalagi teman sendiri, tetanggamu. Papi temani kamu ke rumah Pakde Giyanta, tapi sisanya, harus kamu yang menyelesaikan," Rahandika bangkit dari posisi duduknya dan itu membuat Jana mengikuti secara otomatis.

"Aku akan minta maaf pada Marendra. Itu salahku," lirih anak laki-laki yang kini duduk di bangku kelas 6 SD sembari meraih Nintendo Switch milik temannya. Kini sepasang ayah dan anak yang memiliki fisik hampir identik itu bersama-sama bertandang ke rumah Giyanta.

Ting-Tong!

Rahandika memencet bel sembari menggandeng Jana yang masih menunduk. Tak lama kemudian, Giyanta merespon belnya dengan membuka pintu.

"Marendra gimana?" tanya ayah dari Jana dengan nada khawatir yang tercetak jelas pada penuturannya.

"Dia lagi makan sama kakak-kakaknya," Giyanta menjawab sembari melempar senyum tipis.

"Pakde ...," suara lirih anak Rahandika membuat kepala dari keluarga Gardapati segera merendahkan badan untuk menyesuaikan wajahnya dengan asal suara.

"Iya. Apa ada yang ingin disampaikan?" dengan lembut, Giyanta bertanya.

"Maaf. Jana sudah menyakiti hati Kak Marendra tadi. Pakde Giyanta pasti juga marah denganku. Aku memang melakukan kesalahan dengan mengejek Kak Marendra seperti itu. Sekali lagi, aku meminta maaf sama Pakde," masih dengan suara lirih yang bisa didengar, kali ini Jana meminta maaf pada sabahat ayahnya sebagai orang tua yang mengangkat Marendra, "Kalau Kak Marendra masih mau melihatku ... aku juga mau minta maaf padanya."

"Jana," Marendra tiba-tiba saja sudah berdiri di belakang ayahnya dan memanggil Jana dengan nada suara datar, tidak semangat, juga tidak menunjukkan nada dingin.

"Kak Marendra, maaf. Maaaaaaaaaf, aku melakukan kesalahan besar dengan memanggil Kak Marendra begitu dan memang aku yang salah di sini. Aku memang ga bisa menepati janji. Aku yang salah, Kak Marendra. Maaf, maaf, Kak," kini suara Jana bervolume lebih besar sampai-sampai mengundang Irawan dan Surajati untuk melihat apa yang terjadi.

"Ini ... Nintendo-nya Kak Marendra. Kalau setelah ini kakak masih marah atau ga mau main sama Jana lagi, aku paham. Tetap, aku ingin meminta maaf atas kesalahanku tadi," setelah mengembalikan Nintendo Switch ke tangan pemiliknya, Jana kembali menundukkan pandangan. Marendra terdiam untuk beberapa saat dan menghela napas.

"Jangan katakan itu lagi dihadapanku. Aku ga suka, tapi aku maafkan," senyuman diwajah Marendra membuat Jana lega. Ia kemudian langsung memeluk anak bungsu Giyanta itu dengan erat.

"Aku ga akan mengulanginya lagi, maaf," dengan suara lembut Jana sekali lagi meminta maaf.

"Sebaiknya kamu memegang janji yang ini," sahut Marendra sambil menyelipkan tawa. Surajana mengangguk, kali ini ia benar-benar harus berhati-hati dengan apa yang keluar dari lisannya.

"Jadi, kita masih berteman, Kak?" sekali lagi anak semata wayang Rahandika mengonfirmasi hubungannya dengan Marendra.

"Iya, aku ga suka punya konflik sama tetangga," sekali lagi Marendra menangguk. Jana memeluk temannya makin erat sementara ayah dan saudara mereka melihat adegan itu dengan lega. "Mau masuk dulu? Kak Jati lagi bikin burger. Kamu suka, ga? Boleh 'kan Kak? Pa?"

Giyanta, Jati dan Irawan mengangguk, memberi izin untuk mengajak Surajana makan bersama.

"Aku harus memanggang patty dua lagi kalau begitu," Jati segera beranjak dari tempatnya berdiri, "Ayo semuanya, ke dapur."

"Papa mau lanjut ngomongin sesuatu sama Om Rahandika. Kalian makan duluan," Giyanta mengibaskan tangan, membiarkan anak-anak makan duluan dan merangkul Rahandika. Marendra kembali tertawa bersama Surajana seakan-akan tidak terjadi apapun sebelumnya. Jana bahkan meminta maaf juga pada Surajati dan Irawan karena perkataannya pada Marendra tadi mungkin juga menyakiti mereka sebagai kakaknya. Sementara Giyanta kini kembali berhadapan dengan Rahandika yang sedari tadi juga membawa sebuah amplop berkas di tangannya.

"Kamu juga meninggalkan rumahku dengan meninggalkan ini," Rahandika menyodorkan amplop itu pada sahabatnya.

"Aku sudah bilang sebelumnya, aku belum berani mengambilnya," tegas Giyanta sekali lagi.

"Bagaimana kalau klienku datang ke kantormu sendiri untuk memintanya pada owner langsung?"

"Itu gak akan terjadi, dia orang yang sibuk."

"Oh, itu akan terjadi."

"Om," Surajati yang tiba-tiba muncul di tengah percakapan mereka membuat Rahandika agak tersentak, karena ia sedang fokus berdebat dengan sahabatnya.

"Ya?" pria berambut kemerahan itu kini menyahut anak kandung pertama dari sahabatnya itu.

"Burger-nya mau pake keju sama pickels ga?" tanya Jati memastikan burger seperti apa yang diinginkan Rahandika.

"Boleh, kalau bisa kejunya yang banyak," jawabnya dengan senyuman yang tak luput dari wajahnya.

"Okay, Om," Jatipun kembali ke dapur dan Rahandika siap kembali mendebat Giyanta.

"Dia ramah." Statement dari bapak beranak satu itu membuat Giyanta tertawa keras.

"Lalu? Kalau dia ramah tapi sibuk mana bisa. Kamu mengada-ada atau bagaimana, sih? Artis seperti dia harusnya sutradaranya sekelas Joko Anwar, kenapa aku?"

"Berlebihan. Dia sudah melihat pekerjaanmu, semua iklanmu. Ini hanya music video singkat, promotional video. Jika dia memintanya pada Dewo langsung ...."

"Jika dia mengabulkannya dan membiarkan aku menyutradarai yang satu ini aku akan berhenti makan ceker ayam empat bulan kedepan," masih dengan wajah meragukan, Giyanta mengatakan itu semua.

"Tapi kamu suka ceker ayam dan gak mungkin kamu gak makan itu dalam sebulan," Rahandika justru terkaget dengan janji itu.

"Karena itu gak mungkin terjadi. Hm, baiklah aku simpan ini dan mungkin burger yang dibuat Jati sudah siap. Besok akan aku bicarakan dengan Dewo. Terima kasih sudah merekomendasikan kami tapi aku tidak menjamin yang terjadi 100% sesuai keiningan dia walaupun itu akan sangat berarti bagiku," pria 39 tahun itu menerima map berkas lalu beranjak dari tempat duduknya.

"Hati-hati dengan apa yang kamu ucapkan!" Rahandika memperingatkan dengan tawa tipis.

"Oh, aku sudah berpikir dengan logis kali ini."

The CureWhere stories live. Discover now