Ada yang Lain

18 5 9
                                    

Klak....

"Silakan masuk," Marendra mempersilakan Mosha dan Arjuna masuk. Akan tetapi, Antonio mendahului mereka.

"Kita ga apa-apa 'kan main ke rumahmu sekarang?" tanya Arjuna yang menyadari bahwa hanya mereka berempat manusia yang ada di sana.

"Papa udah tahu kok. Kalau jam segini memang belum pulang kalau ada klien. Mungkin setelah jam empat nanti," jelas Marendra sembari menaruh barang bawaannya di meja ruang tamu, "Huh, kita butuh banyak kerja buat bikin desainnya jadi nyata."

"Okay, let's get it started. Aku bisa bantu apa?" Mosha menanti tugasnya dengan antusias.

"Aku udah selesai membuat semua polanya. Tinggal menggunting, menjahit lalu diberi beberapa aksesoris. Ah, penjelasanku membuat itu terdengar terlalu mudah ya?" anak termuda Giyanta itu tertawa kecil, "Tunggu, mungkin sebaiknya aku berganti pakaian dulu. Kalian di sini sebentar ga apa 'kan?" Mosha dan Arjuna mengangguk serempak.

"Oke, wait a minute," Marendra segera berlari kecil, masuk ke kamarnya. Di saat yang bersamaan Antonio yang sudah selesai dengan urusan pribadi di kamar berjalan ke ruang tamu sambil membawa gunting dan cutter.

"Marendra?" ia langsung bertanya karena tidak bisa menemukan adiknya.

"Di kamar," dua anak itu langsung menunjuk ke arah kamar. Tanpa bertanya lagi, Antonio langsung membuka pintu kamar Marendra. Apa yang ia lihat membuatnya sedikit terkejut. Sekilas sebelum adiknya selesai mengenakan kaos hitamnya, Antonio melihat beberapa semburat biru keunguan di badan adiknya.

"Kak!" suara Marendra yang sedikit menghentak membuatnya kembali menatap wajah adiknya, "Permisi dulu kek."

"Sorry, aku kira kamu ga lagi ganti baju. Perlu sesuatu?" Pertanyaan itu dijawab dengan gelengan. Setelah mendapat balasan, Antonio menjauh dari pintu kamar dan menuju dapur. Tangannya secara otomatis membuka lemari es, rak dapur, akan tetapi kepalanya tidak memberi perintah tentang apa yang seharusnya ia cari.

Pikirannya tidak berada di dapur. Pikirannya berada di Marendra.

Ya, Marendra Gardapati. Adiknya.

Hari ini saat kelas olahraga di lapangan terbuka, tiba-tiba saja adiknya itu pingsan. Untungnya ia bisa menangkap sebelum kepala Marendra terkantuk tanah lapangan. Setelah bangun pun anak itu melarang Antonio untuk memberi tahu keadaannya sekarang pada ayah mereka.

Aneh. Lebih aneh lagi ada luka lebam yang ia lihat di badan adiknya. Sama seperti luka di tangan waktu itu. Apakah dia memang mudah terluka? Kemungkinan itu ada.

Atau ....

"Sialan," Antonio menurunkan botol sirup cocopandan yang sedari tadi ia tuangkan dalam keadaan melamun kemudian menghela napas melihat cairan kemerahan itu hampir memenuhi seluruh gelas, "Terlalu banyak." Kini anak itu membagi rata sirup ke tiga gelas yang masih kosong. Lalu ia kembali membuka kulkas, kali ini secara sadar, anak kandung termuda Giyanta menaruh kembali botol sirup dan mengambil botol berisi air dingin. Setelah sirup selesai dibuat, ia meraih nampan, menaruh gelas di atasnya setelah itu menghidangkanya di meja tamu.

"Mungkin kemanisan. Sorry for that." Setelah mengembalikan nampan ke tempatnya, Antonio bergabung di meja yang sama dengan adiknya dan teman-temannya. Ia menyeruput sirupnya lalu tertawa kecil. Itu memang kemanisan.

"So, kamu mau kerja kapan Mar?" ia kemudian berusaha berkomunikasi dengan Marendra.

"Sebentar, aku mau nonton MV-nya Juanna. Udah jam 4," anak itu memutar ponselnya menjadi horizontal. Arjuna dan Mosha mendekati Marendra untuk ikut menonton, sementara Antonio kembali menyingkir ke dapur dan membuka ponselnya. Ia juga ingin tahu hasil kerja ayahnya dan tim.

Rahandika yang saat ini sedang berada di studio Elatha juga ikut menonton bersama Eka. Mereka menggunakan laptop milik Rahandika. Di tempat yang berbeda, seluruh anggota tim Stagelight Crew menonton hasil kerja mereka di satu proyektor besar.

"Ayo kita mulai," Dewo memainkan video berdurasi 2.30 menit itu. Seluruh orang di Stagelight menontonnya dengan saksama. Begitu juga Juanna dan manajernya. Perempuan itu benar-benar terdiam selama menonton video musiknya sendiri. Ia kemudian tersenyum ketika sampai pada refrain. Semuanya sesuai seperti apa yang ia bayangkan. Juanna benar-benar puas. Akan tetapi di saat bersamaan ia menghembuskan napas kasar lalu menekuk bibir.

"Ada yang salah?" sang Manajer langsung menyahut.

"Ada," Juanna melipat tangan, "Aku salah mengambil keputusan. Harusnya ini jadi music video full saja! Mungkin 'kan kita punya dua MV?"

"Keputusanmu sudah benar. Ini baru kerja sama pertama. Oh, kamu harus segera update 'kan di instagram pribadimu?" pria itu mengingatkan Juanna.

"Benar. Oh, caption-nya sudah dikirim," perempuan itu segera membuat kiriman untuk berterima kasih pada semua orang yang telah bekerja di lagu pre-release-nya. Foto-foto yang harus dikirim sudah dipilih sebelumnya.

"Juanna, udah posting?" Manajer Juanna mengerutkan dahi dan mencoba mengintip ponselnya karena perempuan itu terlalu lama berkutat dengan ponselnya.

"Kayaknya selama ini aku salah kira deh," perempuan itu melirihkan suaranya sambil menunjukkan foto Giyanta bersama keempat anaknya pada lawan bicaranya, "Mas Giyanta udah nikah ya ternyata?"

"Iya!" Marendra mengangguk semangat pada Arjuna dan Mosha, "Aku yang mendesain hiasan di gaunnya."

"Mar, kamu ada barang yang dibutuhkan? Aku mau keluar beli camilan," Antonio tiba-tiba saja menginterupsi agenda pamer Marendra.

"Mungkin gunting lagi. Kita kekurangan gunting," jawab anak itu.

"Okay. Yang lain gimana?"

"Let me accompany you," Mosha berdiri di depan Antonio persis.

"No need."

"Juna, aku pergi sebentar ya. I'll back ASAP."

Arjuna memberikan senyum dan ibu jarinya, "I'm okay!"

"Oh, all right. Follow me," Antonio bergerak ke garasi dan segera menurunkan sepeda lipat yang tergantung di sana, "Just sit here. I'll be fast." Selagi Mosha pergi bersama kakaknya, Marendra dengan Arjuna melanjutkan pekerjaan mereka.

"Ah iya, aku mau ambil buku sketsaku di kamar," anak termuda Giyanta berdiri dan berjalan ke kamar. Akan tetapi, belum sampai di depan pintu, tiba-tiba Arjuna menarik pundaknya.

"Aw... shh," Marendra terduduk dan merintih sembari memegangi pundaknya.

"Maaf, a-aku terlalu keras ya, Kak?" Arjuna hendak meraih pundak Marendra yang segera ditepis.

Anak itu tersenyum dan kembali berdiri, "Ga apa, kok." Ia masuk ke kamar untuk mengambil buku sketsanya dengan cepat.

"Eh, tadi ada apa? Kamu pengen bilang sesuatu?" Marendra kini bertanya alasan Arjuna menarik pundaknya tadi.

"Ah, aku kira tadi ada orang yang mau masuk kamar kakak. Ternyata bukan orang," anak laki-laki beralis tebal itu mengusap tengkuknya sembari menunduk.

"Wait, di kamarku ... bukan orang?!"

Antonio yang sedang berdiri di depan rak snack kini melemparkan pandangan pada Mosha, "Beside following me, your only friend is Arjuna?"

"Yea," Mosha mengangguk, "kita lumayan deket."

"I see," Antonio mengambil satu bungkus kripik tortila yang paling murah, menurut perhitungannya, "Oh. Your school aren't that good. There still some numbers of bullies."

Mosha mengangkat alisnya mendengar keluhan kawannya, "Kakak yang melaporkan mereka?"

"Just assumed like that," anak itu mengangguk, "Ok, Ayo bayar." Antonio mendorong troli menuju kasir.

"Kak, please pulangnya pelan-pelan aja, ya, naik sepedanya," Mosha menyejajarkan langkah, memberi saran karena saat berangkat tadi Antonio mengayuh seperti kesetanan.

"Nope. Aku ga akan melambat nanti. I've warn you before."

The CureWhere stories live. Discover now