Berteman

15 6 1
                                    

"Pa, aku mau bilang sesuatu," Irawan akhirnya punya kesempatan untuk berbicara di tengah sarapan keluarga.

"Hm, silakan, silakan," ayahnya menyahut.

"Aku ... dapet ...."

"Kamu dapet?"

"Oh, kami, aku sama Jati dapet 7 juta karena kami juara 2 lomba membuat jingle anti-cyberbullying pada anak-anak," anak laki-laki itu kemudian mengeluarkan cengiran setelah selesai berbicara.

"Juara 2? Itu keren. Padahal lomba pertama kali, ya," Giyanta mengangguk-angguk lalu menatap Irawan dan Jati, "Kalian ikut lomba tanpa bilang Papa?"

"Eh, sebenarnya, ini kali kedua aku ikut lomba serupa."

"Ini kali pertama buat aku," Jati ikut berbicara, menjawab ayahnya, "dan maaf kita ga kasih tahu Papa."

"Engga apa-apa. Malah seharusnya Papa bantuin kalian."

"Emm, Papa udah cukup membantu kok. Kami pake ruangannya Papa," setelah melihat reaksi ayahnya yang membulatkan mata, Jati langsung meminta maaf, "Maaf, Pa."

"Maaf, itu ideku, Pa," Irawan juga meminta maaf dengan menundukkan pandangan.

"Kalau gitu, kalian semua mau pakai juga ga apa kok," Giyanta kemudian tersenyum pada anak-anaknya, "selain kamar, ga ada ruangan yang milik pribadi, termasuk studionya Papa. Jadi kalian bisa pakai tanpa persetujuan Papa."

Seketika Jati dan Irawan menjadi lega. Setidaknya mereka tidak mendapat kemarahan dari ayahnya hari ini. Semuanya terasa lebih baik sekarang.

"Jadi yang semalam itu traktiran?" tanya Marendra yang sedari tadi menyimak pembicaraan mereka.

"Kurang lebih gitu," Irawan membalas sambil menganggukkan kepala. Jati mengikuti pergerakan kakaknya.

"Kenapa kalian ga bilang, Kak?" anak termuda di meja itu kemudian menepukkan tangan, "Selamat."

"Ya, selamat kalian," Antonio juga memberi selamat pada kedua kakaknya dengan nada datar, tidak ada yang benar-benar mengerti emosinya saat ini.

"Makasih," Jati membalas mereka berdua dengan senyuman. Irawan juga tersenyum, kemudian melanjutkan pembicaraan dengan ayahnya, "Nanti sore kami mau ambil hadiahnya. Kalau Papa ga bisa datang, kami berdua sendiri juga ga apa kok."

"Beneran? Bakal Papa usahain nanti buat datang."

"Pa, fokus kerja dulu," Irawan mencegah ayahnya meninggalkan pekerjaan demi mereka.

"Kalian baik-baik saja?"

"Iya, Pa," kini Jati yang meyakinkan, "Kami udah cari rute bis untuk ke gedung Dinas  Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak dan Keluarga Berencana."

"Tapi kalian bisa sampai tepat waktu?"

"Pa, kita aja ga punya mobil. Papa mau cenglu (bonceng telu [tiga]) sama Kak Irawan dan Kak Jati?" Marendra tiba-tiba saja menyambar.

"Bener juga," Giyanta terdiam sejenak. Meski agak membuat pria itu tersentak tapi anak termudanya memang benar. Ia tidak punya mobil. Sebenarnya dia bisa saja membeli satu, tetapi dia tidak bisa menaikinya.

"Ya, baiklah, bagaimana lagi," setelah menjawab, Giyanta melirik jam dinding, "Cepat habiskan makanan kalian. Sepertinya bis sekolah sebentar lagi sampai." Setelah selesai mengurus anak-anaknya dan memastikan mereka semua naik ke bis sekolah, pria 39 tahun itu berangkat menuju kantornya terlebih dahulu untuk mengambil beberapa barang sebelum benar-benar menuju gedung opera untuk menyiapkan pengambilan gambar di hari ketiga. Ketika sudah sampai tempat, di saat yang bersamaan Dewo juga sampai di kantor dengan menaiki motor skuter berwarna merah muda.

The CureWhere stories live. Discover now