Take Pertama

21 6 1
                                    

Giyanta tersenyum puas melihat sekitarnya. Cuaca dan kecerahan hutan sore ini pas, tepat seperti apa yang ada di bayangannya. Semua alat yang diperlukan juga dalam keadaan bagus dan dipegang oleh orang-orang yang kompeten serta juga sudah lama bekerja dengan Dewo dan dirinya.

Semuanya sempurna, sejauh ini.

Karena tidak ingin perasaan terlalu bahagia menguasai dirinya, pria itu menghela napas dan mengendalikan diri dengan mantranya.

"Jangan senang dulu. Jangan terlalu senang. Jangan biarkan dirimu terlalu senang."

Ini masih langkah awal. Baginya, pantang untuk merasa bahagia sebelum semuanya benar-benar selesai. Terlalu senang di awal bisa menyebabkan kekecewaan jika ada kejadian tidak terduga. Maka ia lebih suka menekan perasaan tersebut.

"Nona Juanna sudah siap!"

Bintang utama dari pekerjaannya pun muncul dari bilik ganti dengan dress Odette yang sudah diberi desain menurut saran Marendra kemarin. Semua staff yang melihatnya langsung memberi pujian.

"Cantik sekali."

"Tentu saja, Juanna pasti cocok dengan gaun ini."

Juanna tersenyum karena semua pujian itu, "Terima kasih. Mereka melakukan pekerjaan yang baik dengan desain dan finishing gaunnya." Giyanta menelusuri detail gaun itu. Warna merah muda tentunya mencolok jika dipadukan dengan putih, tetapi mereka menggunakan shade yang lembut. Saran Marendra dieksekusi dengan lebih baik lagi. Kemudian ia berhenti melihat gaun. Pandangannya menuju ke wajah Juanna. Mungkin ia harus setuju ada beberapa artis yang tidak bisa dinilai hanya dari layar kaca, Juanna salah satunya. Meski dikerubungi banyak orang, wanita itu terlihat bersinar.

Dalam lamunannya ia kini perlahan mengerti mengapa artis bisa disebut bintang dan kliennya adalah salah satu bintang tersebut. Ya, dia sudah sadar sejak pertama kali mereka bertemu langsung. Akan tetapi hari ini Giyanta merasa sinar Juanna tidak seterang waktu mereka pertama kali bertemu.

Uh, bisa jadi itu hanya perasaannya. Lagi pula dia tidak dekat dengan Juanna.

Sok tahu.

"Pak Sutradara, bisa kita mulai?"

"Eh?" Giyanta terlonjak karena Juanna kini benar-benar ada di depan matanya, "Ah maaf, seharusnya saya yang bertanya itu pada Anda." Pria itu tersenyum canggung sembari sedikit membungkuk, meminta maaf karena ia malah melamun di tengah waktu kerja.

"Tidak apa, Pak," Juanna masih tersenyum. Sama sekali tidak canggung walau ia sedang berinteraksi dengan Giyanta, orang yang tidak terlalu dekat dengannya.

"Baiklah, kita mulai," kini Giyanta menyalakan mode sutradaranya, "Semuanya siap di posisi masing-masing!" Orang-orang yang tadinya tersebar kini berkumpul di sekitar set. Sebelum benar-benar bekerja, Giyanta mengumpulkan semua orang yang berada di situ dan mengajak mereka berdoa sesuai keyakinan masing-masing. Setidaknya ini membuatnya lebih tenang karena entah mengapa dirinya merasa akan terjadi sesuatu yang tidak diinginkan.

Mungkin juga rasa tidak tenang itu ada karena dia khawatir video musik pertamanya tidak dapat memenuhi ekspektasi sang artis sendiri.

"Amin," setelah menutup doa, pria berambut panjang tersebut menghela napas. Ia segera bergerak lagi untuk mengarahkan pengambilan gambar untuk adegan pertama. Giyanta langsung saja menjelaskan adegan apa yang akan direkam sebentar lagi.

"Adegan pertama, Juanna akan berlari dari sebelah sana," Giyanta menunjuk titik awal dari Juanna berlari, kemudian kembali menjelaskan, "Nantinya, Anda harus berakting terpojokkan. Sementara kamera yang menyorot akan mengejar Anda. Jadi, output yang saya harapkan adalah kami mendapatkan point of view dari Von Rothbart."

The CureOnde histórias criam vida. Descubra agora