Dewi Penyelamat Jana

15 6 0
                                    

"Maaf, Nak."

Dua kata tersebut sukses membuat Jana cemberut. "Jadi klien Papi lebih penting dari Jana?"

"Ini hal penting, Jana. Memang harus diputuskan sekarang," Rahandika menghela napas di ujung sambungan. Dia tahu melanggar janji bukanlah hal baik, tetapi apabila dia menolak maka reputasinya sebagai produser akan berpengaruh.

"Huh, terserah Papi," anak itu mendengus.

"Nanti kalau udah sampai rumah, langsung telepon, ya. Kita bisa makan bersama lain kali 'kan?" ayah Jana berusaha membuatnya mengerti. Sementara anak itu hanya terdiam. Tanpa jawaban, Jana langsung menutup sambungan telepon dengan mengembalikan gagang telepon pada tempatnya.

"Terima kasih," anak itu mengucapkan terima kasih pada penjaga ruangan tata usaha, tempat telepon berada lalu berjalan keluar. Di saat seperti ini dia jadi kesal mengapa anak SD masih dilarang membawa ponsel sendiri.

Akan tetapi dia jauh lebih kesal dengan ayahnya yang tiba-tiba menemui klien. Ia tidak mengerti juga mengapa ayahnya sangat patuh dengan klien bahkan untuk hal mendadak seperti ini.

Paling hal yang didapat adalah revisi, itu bisa dibicarakan nanti atau lewat pesan saja 'kan? Lagi pula saat ini jadwal bus pulang sudah terlewat. Bisa saja Jana meminta pada satpam untuk dipesankan Ayo-jek. Namun anak itu memilih untuk menyandarkan diri pada gerbang dan sekali lagi mendengus. Pulang sekarang atau pulang nanti sama saja, dia akan sendirian di rumah dan itu membosankan.

Tin!

Klakson mobil yang familiar itu membuat kepala Jana terangkat. Akan tetapi ia harus menelan kekecewaan bulat-bulat, itu memang mobil yang sama seperti punya ayahnya hanya saja nomor platnya beda.

"Huh, aku ga seharusnya berharap ...."

"Surajana!" Jana tidak melanjutkan gerutuannya, suara seorang perempuan yang familiar membuat anak itu kembali mengangkat kepala.

"Tante Hera?" Segera saja Jana mendekati mobil tersebut.

"Belum dijemput?" pertanyaan Hera dijawab dengan anggukan oleh Jana.

"Sebenarnya gak dijemput," anak itu mengatakan keadaannya pada Hera.

"Oh? Mau pulang bareng?" mendengar tawaran tersebut, mata Jana kembali berbinar. Ada kesempatan bagus, mengapa tidak diambil?

"Boleh, Tan," secepat kilat anak dari Rahandika menyetujui tawaran Hera.

"Langsung naik aja," Jana membuka pintu mobil tersebut setelah diizinkan oleh pemiliknya. Kini ia duduk di samping Hera.

"Kamu sudah makan siang?" pertanyaan itu disahut dengan gelengan pelan. Seharusnya saat ini ia sedang berjalan ke restoran bersama ayanhya.

Seharusnya.

"Kalau begitu sebelum pulang kita makan dulu. Tadi sepertinya ada restoran sup iga, kamu mau?" sebelum benar-benar berhenti, Hera memastikan apakah anak tetangganya suka dengan pilihan makanan yang ia ajukan.

"Ga apa, Tan," sahut Jana cerita, "Makasih banyak juga. Maaf kalau aku merepotkan Tante Hera."

"Engga kok, Tante yang menawarkan bantuan," Hera tersenyum lembut pada anak itu, "Apa seharusnya kamu dijemput?"

"Iya, seharusnya aku dijemput. Kalau awalnya memang ga dijemput biasanya aku naik bus sekolah," anak semata wayang Rahandika bercerita pada Hera alasan mengapa ia masih berada di sekolah, "Tiba-tiba Papi bilang ga bisa jemput karena mau menemui klien. Huh." Hera menangkap kekecewaan di nada lawan bicaranya. Setelah mobil berjalan selama sepuluh menit, barulah mereka sampai di tempat yang tadinya disebut-sebut Hera, restoran sop iga.

The CureWhere stories live. Discover now