Satu Hari Di Bulan Agustus

15 4 0
                                    

"Sepertinya kita perlu kerja sangat keras setelah 17-an. Membuat set seperti hutan di panggung ini bukan main. Kecuali kalian punya pasukan jin seperti Bandung Bondowoso," Giyanta menggelengkan kepala, membayangkan bagaimana tim setting dan properti bisa jadi tidak tidur semalaman demi hasil sempurna.

"Kami pasukan jin-nya, Pak Sutradara Bandung Bondowosonya," salah satu anggota tim yang laki-laki menyahut perkataan sang Sutradara.

"Haha, terus Roro Jonggrang-nya siapa?" balas Giyanta.

"Juanna mungkin?" mendengar jawaban itu Giyanta hanya tertawa lalu menggeleng kecil.

"Ya, kalau begitu kalian buat set pohonnya jangan sampai kurang. Juga kalau ada kesulitan apa-apa langsung menghubungi. Kalau butuh bantuan tim lain juga komunikasi. Proyek lalu hampir aja miskom sama tim perlengkapan," pria berambut panjang itu mengedikkan bahu sementara semua anggota tim setting tertawa mengingat kesalahpahaman yang pernah terjadi.

"Nanti kami perjelas kalau maksudnya agar mereka membawa pohon pinus sintesis, bukan pinusnya aja, Pak." Sekali lagi mereka tertawa bersama.

"Ya sudah, kalian bisa mulai anggarkan bahan-bahan apa saja yang perlu dibelanjakan. Intinya tanggal 18 Agustus kita mulai bekerja dengan setnya. Setidaknya akhir Agustus atau awal September kita bisa mulai shoot mengingat ini harus rilis seminggu sebelum title track. Kalau terpaksanya mepet nanti aku bantu tim editing," Giyanta mengatakan rencananya sembari melangkah ke luar gedung. Orang-orang yang tergabung dalam tim setting itu mengikutinya seperti anak bebek.

"Kalau kita mulai buat setting sebelum tanggal 17?" seorang anggota wanita bertanya.

"Sebenarnya bagus, tapi aku kasih kalian estimasi waktu agak lama. Sepertinya terlalu memakan waktu dipembuatan story board sama sketsa panggungnya ya?" pria berambut panjang itu kemudian menghela napas, lalu tersenyum sedikit berusaha menunjukkan keoptimisan, "Kalian kerjakan saja dengan bagus yang penting. Aku yakin kita bisa mencapai waktu yang ditargetkan."

Sementara itu, Rahandika melipat tangannya menunggu Jana keluar dari gerbang. Sembari menanti, matanya memperhatikan orang tua lain yang menunggu. Ia bisa melihat sekumpulan ibu-ibu sedang berkumpul dan saling melempar informasi terkini. Salah satu dari mereka bertabrakan pandangan dengan Rahandika. Pria itu hanya mengangkat alis sebagai respon. Sayangnya, ibu itu malah menyuruh teman-temannya untuk diam.

"Oh, topik hari ini aku, ya?" gumam pria berambut merah itu dengan nada rendah dan pelan. Setelahnya ia tertawa kecil. Rahandika memang jarang mempermasalahkan apa kata orang tentangnya. Sekarang matanya menangkap figur ayah yang sedang menggandeng anaknya untuk masuk ke kantor tata usaha.

"Sepertinya pindahan baru," ia membuat kesimpulan sendiri berdasarkan perkiraan semata.

"Dor!"

"Eh?!"

"Hehe. Halo, Pih," Jana tiba-tiba sudah berada di sampingnya bersama Yodha.

"Ah, Yodha hari ini ikut juga?" Rahandika langsung menyapa anak itu.

"Iya Om, tadinya kita mau latihan di ruang tari. Tapi lagi dipake sama yang tari tradisional. Boleh 'kan?" Yodha langsung meminta perizinan pada Rahandika.

"Oh, boleh. Ruang tamu luas. Tapi hati-hati. Nanti Om bantu singkirin barang biar lebih leluasa buat latihan. Kamu sudah bilang sama ayahmu?" tanya ayah Jana.

"Oh, iya, sebentar, aku bisa bilang sama Bunda, Om."

"Om antarkan ketemu bundamu sekalian nanti ke rumah," Rahandika menggandeng tangan Jana. Yodha juga ikut meraih tangan ayah temannya itu. Mereka bertiga berjalan ke parkiran bersama. Setelah mengantarkan Yodha ke daerah SMP, sesuai permintaan anak itu karena bundanya di sana, untuk meminta izin, mereka baru benar-benar menuju rumah.

The CureWhere stories live. Discover now