Konfirmasi Perasaan

12 4 0
                                    

Minggu sore menjelang. Orang-orang di Perumahan Parangkusumo menjadi sibuk karena Senin akan datang setelah ini. Tak terkecuali juga Giyanta yang sedang melalukan Zoom Meeting dengan timnya bersama dengan Sadewo yang tetap memantau.

"Jadi besok bisa langsung balik kontrol pembuatan setting 'kan?" Dewo menanyakan kesiapan Giyanta untuk kembali bekerja ke lapangan.

"Bisa, bisa," pria itu mengangguk mantap.

"Tenang aja, Om. Nih, hidung Papi udah ga kaya Rudolph lagi," Marendra yang sedari tadi sedang duduk di sofa samping ayahnya sembari melahap setusuk sempol.

"Hush, Marendra," Irawan menegur adiknya yang paling muda. Setelah mendengar teguran itu, Marendra hanya mengendikkan bahu kemudian perlahan menjauh dari tempat ayahnya sedang meeting.

"Hahaha, tapi aku sudah baik-baik saja. Untuk bertemu dengan crew dance juga kuat kok. Mereka studionya di luar kota ini 'kan?" terka Giyanta.

"Dalam waktu dekat mau buka cabang studio di sini. Bakal jadi pusatnya, katanya," jawab Dewo, "Jangan terlalu terburu-buru. Dalam minggu ini Mas Giyanta bisa bertemu dengan mereka tanpa perlu keluar dari kota."

"Okay baiklah, terima kasih sudah membantuku," pria berambut panjang itu tersenyum.

"Oh, aku akan selalu jadi asisten sutradara ga resmimu, Mas." Setelah selesai dengan meeting-nya, Giyanta langsung menuju meja makan. Di sana ketiga anaknya menanti dengan tenang.

"Kalian sudah kelaparan?" pria itu tertawa kecil melihat ketiga anaknya yang sudah menyandarkan kepala pada meja, "Seharusnya kalian langsung makan aja ga apa loh padahal. Makanannya 'kan udah ada."

"Ga apa, masih kenyang sempol," kata Marendra sembari menepuk perutnya.

"Semua sempolnya masuk ke perut Marendra, Pa," balas Jati dengan sedikit tertawa.

"Fitnah," anak termuda mengerutkan bibirnya.

"Ayo ambil makanannya," Giyanta membuka panci yang masih ada di atas kompor sementara anak-anaknya bergiliran mengambil nasi dan soto ayam dari dalam panci. Setelah dipastikan semua anaknya mengambil makanan, barulah Giyanta mengambil bagiannya. Mereka berkumpul di meja makan, berdoa dalam hati, kemudian mulai makan.

"Besok mulai Senin lagi," Marendra menghela napas lalu menyuapkan nasi ke mulutnya.

"Iya, tahu. Terus apa?" Irawan menyahut.

"Cuma mau bilang aja," anak itu mengedikkan bahu setelah menelan makanannya. Ia terdiam sejenak sembari mengobservasi satu persatu orang yang ada di meja makan.

"Pa," Marendra memulai percakapan baru.

"Hm?" ayahnya langsung memaku pandangan pada anak bungsunya itu.

"Aku boleh tanya sesuatu?"

"Ya ampun, langsung tanya aja," Giyanta tertawa kecil mendengar anaknya meminta izin sebelum bertanya.

"Papa suka sama Tante Hera, ya?" pertanyaan Marendra yang di luar pemikiran semua orang yang duduk di meja makan sore itu membuat ayahnya yang sedang minum tersedak oleh air mineral. Sekejap si anak bungsu menjadi pusat perhatian kedua kakaknya.

"Kesimpulan dari mana itu?" tanya Jati sembari mengerutkan dahinya.

"Ah, karena Papa sering interaksi sama Tante Hera ya? Itu cuma sebagai tetangga kok. Ya masa mau ga berinteraksi sama tetangga, kaya orang marahan dong nanti," Giyanta tersenyum setelahnya, "Engga, kok."

"Tuh, 'kan. Papa ga suka Tante Hera," Jati menegaskan perkataan ayahnya sembari menatap Marendra.

"Lagian cuma tanya. Ya, udah kalau engga," anak itu kembali menyantap makanannya dan menundukkan pandangan. Meskipun ayahnya menyangkal, Marendra tetap saja merasa kalau ada perasaan di antara ayahnya dan tetangga barunya.

The CureOù les histoires vivent. Découvrez maintenant