Les Dadakan

14 4 0
                                    

Sabtu sore ini rumah Hera jadi tempat les dadakan untuk anak SD, SMP dan SMA, tepatnya mereka adalah Irawan, Jati, Marendra dan Jana. Anak dari Rahandika itu ikut belajar karena Marendra mengajaknya.

Lebih tepatnya memamerkannya. Tentu saja Jana tidak ingin kalah dan ikut-ikutan tiga anak Giyanta untuk belajar di rumah Hera.

"Sepertinya aman ya biarin mereka di sini?" bisik Giyanta pada Rahandika yang berdiri di sudut ruangan.

"Ya aman lah. Jelas. Makannya kita bisa keluar bentar, cari jajan buat mereka," pria berambut merah pendek itu merangkul pundak kawannya.

"Naik apa? Jalan kaki aja?"

"Jalan kaki gimana ke supermarket? Naik onta deh," Rahandika melipat tangannya dan menatap Giyanta.

"Memang kamu punya onta?"

Tak!

"Aw, apa-apaan?" satu sentilan keras di dahi pria yang berambut panjang membuatnya melayangkan protes.

"Yang masuk akal aja lah pertanyaannya. Jelas naik mobil. Mana mungkin aku punya onta," Rahandika kesal sendiri dengan celetukan temannya.

"Beli jajan thok 'kan? Naik motor aja, nanti aku boncengin kamu," Giyanta menawar.

"Haduh, nanti kaya dua rasaksa naik motor bawa jajan."

Tak!

Kini giliran Giyanta yang melayangkan sentilan keras di dahi Rahandika.

"Untuk apa ini?" protesnya.

"Hanya ingin membalas," celetuk Giyanta, "tapi intinya aku ga bisa naik mobil."

"Karena ...."

"Ya, ga bisa aja," pria itu enggan menjelaskan lebih lanjut perihal mengapa ia menolak menaiki mobil.

"Karena kamu mabuk darat kalau naik mobil?" tebak Rahandika.

"Anggap saja begitu. Kalo kamu ga mau jadi 'rasaksa naik motor' kita berangkatnya pisah aja," kali ini Giyanta melempar saran.

"Ya sudahlah, mari kita jadi dua rasaksa naik motor," Rahandika pada akhirnya menyerah pada ide Giyanta.

"Ehm, tuan-tuan, sudah berundingnya?" teguran Hera membuat mereka langsung menengok ke arah perempuan tersebut. Ternyata bukan hanya Hera yang sedari tadi menonton kelakuan mereka, anak-anak juga menontonnya dengan memasang wajah datar.

"Sudah, sudah, maaf. Kami keluar dulu," Giyanta sedikit menundukkan diri dan berjalan ke luar rumah Hera yang diikuti Rahandika. Dengan segera, Giyanta mengeluarkan motor hitamnya dari garasi dan tidak lupa memakai helm. Setelahnya baru ia mengulurkan helm pada kawannya.

"Ga ada helm lain?" lagi-lagi Rahandika protes karena helm yang diulurkan padanya berwarna pink dengan gambar wajah lucu.

"Pakai itu aja, punyanya Marendra, Kirby. Lagi pula pink itu laki," jawab Giyanta sambil menahan tawanya. Pria itu pun segera memakai helm karena tidak ada pilihan lain saat ini.

"Sudah? Ayo berangkat!" Setelah sedikit berdebat, mereka pun akhirnya jadi berangkat menuju supermarket dengan menaiki motor Giyanta. Sementara itu, Hera lanjut mengajari Jati, Irawan, Marendra dan Jana satu persatu.

"Bagaimana, kalian sudah paham dengan materi masing-masing?" Keempat anak itu mengangguk sebagai respon atas pertanyaan Hera.

"Oh, bagus. Masih ada yang mau ditanyakan?"

"Mau tanya pelajaran lain boleh?" Marendra mengajukan pertanyaan lain.

"Boleh. Mari kita belajar lagi," Hera tersenyum lembut dan kembali mendekati Marendra, "Pelajaran apa yang sulit?"

"Sejauh ini tidak ada. Bahkan bisa dibilang baru mulai," Giyanta melihat-lihat camilan di rak supermarket sembari bercerita terkait pekerjaannya pada Rahandika, "Oh, sepertinya kesulitanku ada pada diriku sendiri. Hanya karena sekali kehujanan langsung flu. Apa ini karena kita sudah menua?"

"Kita? Kamu aja sih. Tapi gimana ga sakit kalo begadang terus, setelahnya ujan-ujanan. Yang bener aja," pria yang berambut merah menyadarkan sahabatnya untuk lebih perhatian pada tubuhnya sendiri, "Paling lupa makan juga."

"Engga sih kalau lupa makan," setelah menepis, Giyanta terdiam sebentar lalu mencoba mengingat apa yang ia lakukan sebelum sakit. Selanjutnya ia menjentikkan jari, "Iya, ya. Waktu itu aku belum makan siang. Sekali itu aja."

"Ckckck.... Ah, jadi kamu udah ketemu Juanna berapa kali?" Rahandika melanjutkan percakapan setelah mengambil satu bungkus besar Taro.

"Baru sekali, waktu awal. Biasanya yang ikut ke sana dan ke sini tim dari agensinya. Sesekali juga manajernya," cerita Giyanta sambil kembali melihat ke arah rak, mencari kudapan apa yang disukai anak-anak itu.

"Cantik?"

"Ya, iya, 'kan artis. Auranya bagus," kini pria itu sudah mengambil satu bungkus sedang kripik tortila. Untuk sesaat ia terdiam lalu menatap Rahandika, "Lah, bukannya kamu yang malah udah lama kerja sama Juanna? Sampai udah rekaman berarti 'kan? Kenapa tanya?"

"Tanya aja gitu. First impression-nya gimana. Kali aja ada cerita beda."

"Kalau orang baik aku cerita, kalau engga sepertinya ga akan aku ceritain. Aku ga mau jadi sumber gosip," Giyanta mengendikkan bahu lalu mengambil wafer yang ada di rak kirinya, "jadi pusat perhatian karena kekacauan. Terdengar buruk."

"Iya juga sih. Eh tapi artinya kamu ga makan ...."

"Gak, aku ga makan ceker kok. Mulai dari terima tugas kemarin sampai genap 4 bulan. Iya, iya. Anak-anakku saksinya dan, " pria yang berambut panjang menganggukkan kepalanya, "Terima kasih dakbal-nya."

"Sama-sama," pria berambut merah itu memasang senyum lebar yang terlihat seperti menggoda dari pada balasan tulus atas kata terima kasih dari sahabatnya.

Giyanta tidak menghiraukan itu malah membuang pandangan pada troli mereka berdua, "Kayaknya udah dapet semua jajannya."

"Satu lagi," Rahandika mengambil sebungkus makaroni kering pedas dan memasukkannya ke troli, "Nah, ayo bayar." Setelah membayar belanjaan mereka, Giyanta dan kawannya langsung berjalan pulang menggunakan motor.

Tok! Tok! Tok!

"Masuk, masuk," Hera langsung memberi sambutan karena Giyanta mengetuk pintu yang masih terbuka, "Kita sudah selesai belajar kok."

"Ini semua bener-bener ga membebani 'kan ya?" tanya Giyanta memastikan.

"Santai aja, aku jadi ga kesepian kok Pak Giyanta," perempuan berambut pirang tersebut lalu menampakkan senyum.

"Kalau begitu, ah, maaf, aku hanya bisa memberi ini untuk sekarang," Rahandika yang memegang plastik kresek berisi camilan lalu merogohnya dan memberikan makaroni kering pedas pada Hera.

"Ah, ini salah satu kesukaanku. Terima kasih Raijin-sama. Kalian membawa untuk anak-anak juga 'kan?" pertanyaan Hera disambut anggukkan oleh dua pria itu.

"Sekarang waktunya snack anak-anak!" Rahandika masuk ke rumah Hera hendak menawarkan makanan pada anak-anak.

Akan tetapi Jana segera menghentikan langkah ayahnya, "Pih, itu, helmnya lepas dulu."

"Helmku," sambung Marendra lirih.

"Ah iya, maaf Papa belum bilang kalau Om Rahandika pinjam helmmu," Giyanta meminta maaf karena anaknya melihat salah satu barang kesayangannya dipakai orang lain.

"Ga apa, Pa. Lucu. Kepalanya Om kaya dimakan Kirby," Marendra rupanya tidak marah. Anak itu malah tertawa setelahnya. Jana juga ikut tertawa melihat penampilan ayahnya yang lucu.

Memang bentuk helm Marendra sebenarnya seperti Kirby yang sedang memakan kepala orang.

The CureWo Geschichten leben. Entdecke jetzt