Tirakatan

19 5 2
                                    

Setelah selama kurang lebih 3 tahun warga Perumahan Parangkusumo tidak mengadakan acara malam sebelum Hari Kemerdekaan Bangsa, malam Tirakatan, hari ini acara tersebut dimulai lagi dalam skala kecil. Biasanya mereka berkumpul bersama di gedung serbaguna untuk satu RW, akan tetapi kali ini mereka menggelarnya di pendopo kecil yang memang ada dalam perumahan dan dimiliki tiap RT. Tahun ini pun belum diselenggarakan lagi lomba-lomba untuk anak-anak maupun orang dewasa. Jadilah acara yang diselenggarakan oleh RT tahun ini hanya sebatas makan-makan, pembagian doorprize kecil dan karaoke bebas.

"Boleh pulang habis makan ga sih?" bisik Marendra pada Jati yang duduk tepat disebelahnya. 

"Tunggu Papa aja deh nanti gimana," jawab anak kandung pertama Giyanta sembari melihat ayahnya yang masih sibuk menata sound system untuk acara tersebut.

"Bagusnya sih kita di sini sampai acara selesai. Masa iya mau pergi di tengah acara?" jawab Irawan dengan matanya yang hanya menatap layar ponselnya. Jati mengangguk-angguk, setuju dengan perkataan Irawan, kemudian menatap Marendra yang mendengus lalu menumpu dagunya dengan tangan.

"Nah, wes kepasang kabeh. Iki yo wes tak atur e. Operator e sopo?" Giyanta tampak sedang berbicara dengan bapak-bapak yang lain.

"Kowe wae, Pak. Opo Pak Rahandika iki. Mengko yo bakal luwih akeh organ tunggal e sek main," Pak RT menunjuk Giyanta atau Rahandika untuk mengoperasikan laptop.

"Aku rapopo, Pak." Giyanta menyanggupi dan langsung duduk di tempat operator.

"Yo wes, mengko Pak Rahandika maju yo. Pak Eka juga, sekeluarga. Perkenalan juga sebagai warga baru, nek menowo ono sek urung kenal," Pak RT melakukan briefing dengan dua bapak warga baru itu.

"Nggih, Pak," sahut Eka dan Rahandika mengangguk sebagai respons. Acara dibuka oleh Pak RT sendiri sebagai MC-nya. Awalnya menyanyikan Indonesia Raya, dilanjut dengan sambutan. Jana berpisah jalan dari ayahnya yang sibuk mendekatkan diri dengan bapak-bapak lain di sana. Ia memilih untuk membaurkan diri dengan anak-anak seusianya. Selanjutnya acara langsung diarahkan pada pembagian doorprize dan pembagian snack.

"Ah, benar-benar membosankan," gerutu Marendra sembari mengusap layar ponselnya dan sesekali memberikan tanda suka pada postingan seseorang, "Setidaknya kalau ada yang mau bernyanyi, aku berharap suaranya bagus." Jati hanya menyetujui itu dalam hati, kebanyakan orang tua yang memberi diri untuk bernyanyi suaranya tidak begitu bagus.

Ia juga bersyukur ayahnya bukan salah satu dari mereka.

"Aku duduk sini ya, Kak," Jana duduk begitu saja di sebelah Marendra yang masih kosong sebelum yang diminta izin mengizinkan.

"Terserah kamu," Marendra membalas seadanya karena anak itu juga sudah menaruh pantatnya di sana.

"Kalian udah kenal sama Jinora belum?" tanya Jana lagi-lagi lebih kepada Marendra.

"Kami sudah kenal kok," Irawan menyahut lalu tersenyum, ia masih bisa dengar perkataan Jana, kemudian menyapa anak yang duduk di sebelah dia, "Halo Jinora." Jinora pun membalas dengan senyuman tipis dan mengangguk pada Irawan. Jati dan Marendra pun ikut menyapa dengan senyuman yang jauh terlihat lebih canggung dari pada kakak mereka. Tentu saja itu karena mereka benar-benar mengingat siapa orang tua Jinora, Eka dan Hera.

"Eh sepertinya sudah boleh ambil baksonya. Kalian aku ambilin aja, ya?" Irawan berdiri begitu menyadari beberapa warga sudah berjalan ke arah gerobak bakso yang memang disiapkan untuk acara ini.

"Aku ikut bantu kakak, bakal susah bawa 5 mangkok sendirian," Jati juga mengikuti kakaknya.

"Oke, Kak. Beneran ga apa?" tanya Jana.

The CureWhere stories live. Discover now