Luka

28 7 0
                                    

Seminggu setelah makan malam itu, anak-anak Giyanta dan Rahandika makin dekat. Bahkan sekarang Surajana mengikuti ketiga anak kawan ayahnya masuk ke bus.

"Aku mau duduk sebelah Kak Surajati boleh?" tanya Jana sebelum masuk ke bus.

"Boleh, kalau ada ruang yang kosong," Jati menjawab sembari mempersilakan Marendra dan Jana naik duluan. Ia menyusul setelahnya baru kemudian Irawan naik. Beruntungnya ada empat bangku kosong di belakang. Segera saja Irawan, Surajati, Surajana dan Marendra mengisinya secara berurutan. Begitu mereka duduk, bus berjalan menuju ke sekolah. Marendra melihat jalan melalui jendela di samping, sementara Irawan mengeluarkan ponsel karena ada chat masuk. Surajati mencuri pandang pada jari telunjuk kanan Surajana, di sana terpasang plester bergambar Yoda.

"Kenapa jarimu?" tanya Jati pelan.

"Aku mencoba bantu Papi masak. Potong sayuran. Tapi jariku malah kepotong. Kelihatan banget ya? Ah plesternya Papi kenapa norak ya," Jana menjelaskan apa yang terjadi padanya sembari tersenyum kemudian memperhatikan lukanya, "Padahal pengen aku sembunyiin aja."

"Ga apa, lukanya itu buat mengingat kalau kamu sedang belajar sesuatu. Jangan malu, keren loh mau bantu ayahmu," Jati mengacungkan kedua ibu jari pada Jana.

"Uh, tapi Kak Jati ga ada luka yang kelihatan gitu," anak dari Rahandika itu kemudian menelusuri lawan bicaranya dari ujung kepala hingga sepatu. Sejurus kemudian, ia berhenti pada lengan kiri Jati yang menampakkan luka berbentuk garis tipis cukup panjang, "Itu ... kenapa?"

"Oh, ini udah lama, waktu aku masih kelas 3 SD. Masih kelihatan juga," anak tengah Giyanta itu mengamati lekat bekas lukanya dan menghela napas.

"Tadi kakak bilang bekas luka punya cerita sendiri, ini ceritanya apa? Kak Jati bandel kah?" Jana mencondongkan badannya pada Jati, siap mendengar ceritanya.

"Dia waktu kecil emang ga bisa diem," Irawan malah menyahut sambil sedikit tertawa, "Bahkan harus ditakut-takuti pake lukanya Papa."

"Memang Pakde Giyanta punya luka apa?" semakin diceritakan, anak itu makin penasaran.

"Di alis kiri. Permanen lagi," Marendra ikut menimpali, "Katanya karena nabrak motor dulu waktu kecil."

" 'Jati, yang anteng. Kamu mau nanti luka gini karena polah terus?'," Irawan tiba-tiba berlagak seperti ayahnya pada saat menasehati Jati. Mereka semua tertawa karenanya.

"Jadi lukanya karena Kak Jati polah?" Jana memastikan dirinya menarik kesimpulan dengan benar. Akan tetapi, Jati malah menggeleng sebagai jawaban.

"Ini karena aku berantem, gak bisa di ...."

"Dia berantem sama anak-anak yang merisakku waktu sekolah dasar. Aku waktu itu mau pulang. Tiba-tiba dicegat sama dua anak kelas atas buat dipukulin karena kelihatan cupu kali ya," Irawan menceritakan apa yang sesungguhnya terjadi sebelum Surajati sempat menghentikan kakaknya. Saat ini, menceritakan masa lalu pahit bukanlah masalah besar untuk anak tertua dari keluarga Gardapati itu. Bahkan ia bisa tertawa saat ini.

"Terus datanglah Jati yang mau ekstrakulikuler taekwondo. Karena mereka bawa pensil, huh mereka pikir mereka John Wick, kena ke tangan Jati sampai berdarah. Aku yang panik panggil guru dan pertengkaran mereka berhenti. Tentu saja adikku berhasil membuat mereka kewalahan. Aku tahu itu perbuatan salah tapi aku bangga dengannya, tapi malu juga sih karena aku 'kan kakaknya, masa jadi yang dilindungi?" anak itu mendengus kemudian tertawa tipis diujung ceritanya.

"Lalu Pakde Giyanta gimana? Marah?" tanya Jana yang antusias dengan cerita Jati dari Irawan.

"Tentu saja dipanggil sama guru bimbingan konseling. Tapi untungnya yang diskors dua anak itu, bukan Jati. Huh, tapi lihat Papa beneran marah bukan pemandangan yang menyenangkan. Ngeri deh," sekarang Irawan menirukan wajah marah ayahnya, "Sejak saat itu aku juga belajar bela diri. Jadi jangan macam-macam." Jana menelan ludah begitu melihat Irawan serius dengan kalimat terakhirnya, ingatan saat ia mengatai anak pertama Giyanta 'pendek' langsung terekam di otaknya. Dia sudah macam-macam dengan orang yang belajar bela diri dan membuatnya kesal.

Puk. Puk.

Tangan Irawan mendarat lembut di atas rambut bergelombang Jana, kemudian menepuknya beberapa kali.

"Aku ga akan mengulanginya lagi ke Kak Irawan. Lagi pula sekarang aku mengagumi kakak. Bisa masak, sabar, bisa bela diri. Hehe, aku pengen punya kakak kaya Kak Irawan," Jana mengatakan itu sembari tersenyum lebar kepada Irawan sementara yang ditatap hanya mengangguk dan membalas senyuman anak kelas 6 SD itu.

"Sayangnya dia kakakku, wle," Marendra menjulurkan lidah pada Jana. Hal itu membuat anak Rahandika menekuk bibir dan memandang anak yang duduk di bangku sebelahnya dengan masam.

"Astaga kamu ini," Jati menghela napas melihatnya.

"Tapi mereka berdua ga sekeren itu. Nih lihat," Marendra menggulung bagian kanan celananya sampai atas lutut. Tampak dengan jelas bekas luka besar tercetak di bawah lututnya.

"Serius? Kamu mau ungkit itu lagi?" Irawan yang sudah tahu arah pembicaraan adik bungsunya segera melayangkan protes.

"Oh, aku masih ingat itu seperti hari kemarin," balas Marendra.

"Itu karena Papa sering cerita berulang kali ke kamu," Surajati juga berusaha menggagalkan niat bercerita adiknya.

"Artinya itu kejadian yang sangat penting dan menunjukkan kegagalan kalian berdua sebagai kakak. Bisa-bisanya mereka diem aja waktu aku, umur 6 tahun, jatuh dari sepeda. Apa kakak yang baik begitu?" tiba-tiba saja Marendra menyerang dua kakaknya dengan cerita masa lalu, "Jadi ... waktu itu aku jatuh dari sepeda. Lukanya lebih besar dari bekasnya ini."

"Kak Marendra nangis?" Jana yang tentu saja tertarik dengan cerita itu segera menanggapi.

"Iya nangis jelas. Sakit banget. Mereka berdua malah diem aja," anak itu menjawab dengan wajah kesal.

"Jangan mendramatisir. Kami ga begitu!" Irawan membela diri sementara Jati mengangguk, setuju dengan pernyataan kakaknya.

"Kalian ga melakukan apa-apa."

"Aku menenangkan dirimu waktu nangis, ya. Jati nyari obat merah tapi habis. Tega sekali kamu bilang kami ga ngapa-ngapain," anak tertua Giyanta mendebat adik bungsunya, "Katanya masih ingat."

"Tapi tetep aja ga becus. Papa sampai harus turun tangan 'kan?" 

"Kami beneran khawatir sama kamu waktu itu. Mana nangisnya ga berhenti. Abisnya naik sepeda ngebut, suruh siapa?" 

"Itu. Itu yang dia katakan padaku. Wah, bisa-bisanya adeknya jatuh, kakinya berdarah, dimarahin pula. 'Siapa suruh naik sepeda ngebut?'" Marendra dan Irawan terus berdebat tentang hari itu. Jati menghela napas sementara Jana melebarkan telinganya untuk menyerap semua percakapan mereka. Mungkin ini akan jadi salah satu hal menarik yang bisa ia ceritakan pada ayahnya waktu pulang nanti.

"Ya sudahlah, kami mungkin memang salah dengan ga cepat tanggap. Setelah itu karena rumah berantakan, kita berdua disuruh bersih-bersih rumah, Kak. Nyatanya waktu itu kita masih 8 dan 9 tahun. Sebenarnya Marendra cuma mendramatisir, haha, maaf ya, Jana," Jati mengakui kesalahannya waktu itu demi menghentikan adiknya mengoceh di depan teman mereka.

"Kak Irawan ga mau mengakui kesalahan juga?" kini anak itu menatap kakak tertuanya dengan jahil.

"Anak-anak, kalian sudah sampai di tujuan. Silakan turun," pengumuman dari kondektur bus sekolah membuat Irawan segera berdiri dari kursinya sambil mengajak Jati juga.

"Ayo Jati, kita masuk. Jana, sampai ketemu nanti lagi."

"Aku?" Marendra yang sudah berdiri protes karena tidak mendapat salam dari kakak tertuanya.

"Maaf," balas Irawan singkat sebelum menarik Jati yang masih melambaikan tangan sembari tersenyum pada Jana dan Marendra.

Lagi-lagi, untuk kesekian kalinya hari ini, Marendra menukikkan alis dan memasang wajah cemberut, "Gak ikhlas banget!"

The CureTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang