Lain Rumah, Lain Masalah

31 7 15
                                    

Giyanta duduk tepat samping Irawan di ruang keluarga. Atmosfer di antara mereka serius sampai mengundang Jati dan Marenda untuk mengintip sementara Antonio tidak peduli dan memilih untuk menutup pintu kamarnya.

"Irawan, Papa tahu tahun ini ulang tahunmu yang ke 17 ... tapi maaf banget ... sepertinya Papa ga bisa buatkan kamu pesta atau bahkan makan malam berlima pada hari itu," pria itu lalu menghela napas, "Release party Juanna diadakan tepat di hari ulang tahunmu dan sepertinya dia mengharapkan Papa buat tampil."

"Pa," Irawan tertawa setelah mendengarkan apa yang ayahnya katakan. Seketika suasana serius di antara mereka luntur.

"Pa, aku ga pernah minta pesta atau apapun. Kalau pun kali ini Papa harus kerja ya ga apa," anak itu kemudian menatap Giyanta dan tersenyum, "Setidaknya Papa udah ada di 9 kali ulang tahunku dan kedepannya mungkin aku ga terlalu peduli dengan perayaan. Saat itu terjadi bukan lagi karena aku benci ulang tahunku, bisa jadi aku lupa. Papa tahu 'kan?" Mendengar perkataan anak tertuanya, pria yang berusia 39 tahun itu tertegun sejenak. Tahun depan Irawan sudah masuk kuliah dan ada kemungkinan ia memilih ke luar kota. Tentu merayakan ulang tahun berlima, sebagai keluarga akan makin sulit lagi.

Akan tetapi sebenarnya Giyanta punya ide lain yang membuatnya tetap bisa memberikan hadiah di ulang tahun Irawan yang ke 17 akan tetapi tetap menghadiri acaranya Juanna. Bahkan ini ide yang disetujui oleh pemilik pesta.

"Tapi kamu tetap bisa mengingat ulang tahunmu yang ke 17. Untuk itu kita harus latihan sekarang," Giyanta kini berdiri dari posisi duduk dan menatap langsung wajah anaknya.

"Kita mau ngapain, Pa?"

"Papa udah tanya sama Tante Juanna soal apa boleh kalau Papa back-to-back sama seorang patner, itu kamu. Dia oke dengan ide itu," pria itu tersenyum setelah melihat reaksi anak pertamanya. Irawan juga ikut berdiri dan menatap ayahnya dengan wajah kebingungan.

"Back-to-back? Bukannya harus satu level buat itu, Pa? Aku jelas masih jauh banget dari Papa," Irawan kemudian menghela napas dan melemparkan pandangan ke lantai.

"Papa tau kamu lebih cepat belajar soal musik dibandingkan naik motor jadi kamu bisa berkembang sampai ke mana waktu hari-h tiba Papa juga tau. Jangan mundur dulu sebelum dicoba," Giyanta kemudian merangkul anak tertuanya, "Ayo."

"Ayo," Irawan menyahut ajakan ayahnya lalu tersenyum. Saat ia bertatapan kembali dengan wajah Giyanta, ia merasakan dorongan untuk memeluk ayahnya. Anak itu menuruti apa kata hatinya dan segera bergerak memeluk tubuh Giyanta. Sejenak rumah terasa hening, Marendra dan Jati terenyuh menyaksikan apa yang kakak mereka lakukan.

Sementara itu Giyanta yang terkejut untuk sesaat sekarang sudah menaruh tangannya di atas rambut Irawan dan membelainya sembari bertanya, "Ada apa?"

"Kalau aku ga pernah ketemu Papa, mungkin aku bakal benci sama tanggal 24 September seumur hidupku," lirih Irawan sembari tersenyum, "Rasanya aku ga perlu hadiah lain. Papa sama Jati, Anton dan Marendra aja udah cukup. Kayaknya aku serakah banget kalau minta hal lain sama Papa."

"Papa juga kerja buat kalian. Jangan merasa ga enak. Kalau butuh sesuatu bilang aja," pria itu mencium kening anaknya kemudian membuat mata Irawan menatapnya, "Kamu Irawan Gardapati. Anakku. No one ever said otherwise and I'm sorry can't provide you complete family."

"Ga perlu minta maaf, Pa. We're imperfect but perfect family. Aku bersyukur banget ada di keluarga ini," setelah mencurahkan apa yang ada di pikiran dan hatinya, anak itu melepas pelukannya dan menarik ayahnya ke studio, "Ayo latihan, Pa." Giyanta mengangguk dan mengikuti langkah Irawan. Mereka masuk studio tanpa tahu dua pasang mata, yang masing-masing milik Jati dan Marendra, memperhatikan semua yang terjadi di sana. 

"Woah, sedikit dramatis," komentar Marendra sambil mengaduk susu yang ada di gelasnya. Jati hanya mengangguk dan menghela napas. Ia lega karena kakaknya, sekali lagi, diyakinkan oleh ayah mereka. Untuk menghindari rasa haru yang mengusik hatinya, Jati menatap Marendra yang sedang memakan sereal yang sudah mlempem karena sudah terendam susu.

"Kamu masukin serealnya dulu, ya?" komentar Jati.

"Iya, lagian aku suka yang mlempem. Aneh banget kalo makan sereal dimasukin ke susu tapi maunya garing. Kaya Kak Jati," anak kandung tertua Giyanta itu kemudian mengangkat alis dan menunjuk dirinya sendiri. Marendra mengangguk sebelum kembali fokus dengan apa yang ada di tangannya. Sementara itu, Jati hanya tertawa kecil setelah mendapat julukan aneh dari adiknya sebagai respons. Seperti biasa, Jati sangat jarang tersinggung ataupun marah. Maka dari itu menjahili Jati tidak seru sama sekali untuk Marendra karena kakaknya yang satu itu kelewat sabar.

Di rumah tingkat dua seberang keluarga Giyanta, Rahandika juga sedang bercakap-cakap dengan anaknya.

"Karena studio Papi deket sama tempat Papanya Jinora berarti Papi bisa lihat latihan kami dong?" Jana bertanya setelah tahu posisi studio baru ayahnya.

"Ya, kalau ga ada kerjaan bisa nonton," Rahandika menganggukkan kepalanya, "Jadi Papanya Jinora yang ngelatih kalian?"

"Iya, beliau juga keren. Ga main-main. Besok kalau udah gede aku mau bikin studio tari kaya Papanya Jinora. Mungkin yang lebih besar lagi dan terkenal kalau bisa sampai luar negeri," anak itu mengungkapkan cita-citanya dengan senyuman dan Rahandika mendengarkannya.

Jadi begini, ya, anak kecil yang punya cita-cita?

Waktu ia kecil, dirinya tidak pernah punya waktu untuk berangan-angan. Semuanya harus menuruti jalan yang ditentukan. Walau akhirnya ia melanggar jalur tersebut dengan banyak konsekuensi yang harus dihadapi.

"Pi, aku kadang agak ragu kita bisa tampil bagus atau engga karena latihannya cuma dua minggu. Tapi semua temenku semangat gitu," kali ini Jana menghela napas.

"Kalau begitu percaya diri aja dulu," kali ini tangan Rahandika berada dipuncak kepala anak sematawayangnya, "Latihan yang bener, ya? Besok Papi lihat."

"Aku selalu latihan beneran kok biar Yodha, Sentana sama Jinora ga kecewa. Kita harus masuk ke final!" berkebalikan dengan keraguan tadi, sekarang Jana menjadi berapi-api.

Pemandangan itu membuat Rahandika sedikit tertawa, "Berikan yang terbaik. Urusan menang atau kalah pikir belakangan."

"Oke, Pih," Jana mempertontonkan senyumnya yang identik dengan milik ayahnya.

"Finalnya di mana sih? Kayaknya kalian excited banget?" pria berambut merah itu masih menatap anaknya.

"Jakarta! Kita bakal ke Jakarta, Pih," seru anak itu sembari menatap mata ayahnya. 

"Jakarta?" tanya Rahandika dengan napas tertahan. 

"Iya. Finalnya tanggal 8 Oktober."

Sial! 

Rahandika langsung mengumpat di dalam hati. Berada di Jakarta pada tanggal 8 Oktober terdengar seperti masalah besar untuknya. Akan tetapi jelas ia tidak sampai hati untuk mendoakan anaknya agar gagal. Itu bukan hal yang akan dilakukan oleh seorang ayah yang baik. Rahandika tentu tidak akan membiarkan egonya membuat anaknya gagal.

"Baiklah, semoga kalian berhasil. Kalau kalian berhasil nanti Papi yang bayarin semua akomodasi kalian dan juga uang jajannya," ayah Jana berdiri dari posisi duduknya dan sekali lagi membelai rambut anak tunggalnya.

"Ga usah, Pih. Semuanya dibayarin sekolah kok kalau misalnya lolos, kata Yodha gitu, kecuali uang jajannya," jelas Jana, "Oh! Tapi kita boleh nginep di tempat kakek aja ga?"

"Hahaha, lolos ke final dulu baru kita pikirkan itu," Rahandika tersenyum dan kemudian masuk ke studionya. Ia duduk di kursi tanpa menyalakan satupun peralatan yang ada di atas meja. Pria itu menghela napas dan membuang pandangannya pada figur balerina yang terpahat di atas kotak musik di meja kerja. Akan tetapi pikirannya tidak berada di ruangan ini. Ia memikirkan skenario jika Jana dan timnya maju ke final, maka artinya ia harus ikut ke Jakarta.

Rahandika harus berlari dengan cara apa lagi dari orang itu ketika hal tersebut terjadi?

The CureWhere stories live. Discover now