Nama Baik

12 4 0
                                    

Sadewo hanya menggelengkan kepala melihat Giyanta yang entah bagaimana tertidur di hadapannya. Padahal mereka saat ini sedang duduk di meja restoran seafood. Sebenarnya bisa dipahami, ia juga tahu pekerjaan Giyanta saat ini menguras tenaga karena butuh berpikir juga banyak mengunjungi pihak yang akan bekerja sama dengan mereka. Harus diakui, temannya lebih teliti, hati-hati dan pemilih dalam menentukan semua unsur yang akan ada dalam pekerjaannya. Hanya saja sebenarnya ia mengajak Giyanta makan bersama untuk membicarakan satu keganjilan yang cukup menganggu dua hari ini antara rekannya dan Ekachandra.

Sayangnya, yang mau diajak bicara malah tertidur di depan matanya.

"Permisi, es teh jumbonya dua, nasi cumi hitam satu dan nasi cumi hitam premium satu," pelayan pria yang membawa pesanan mereka membuat Sadewo berhenti termenung memandangi Giyanta yang masih tertidur.

"Iya, benar," setelah diberi konfirmasi, si pelayan baru menurunkan pesanan mereka berdua.

"Terima kasih."

Sesudah memastikan pesanan lengkap, pelayan itu pergi, "Sama-sama."

Dewo segera membangunkan Giyanta, "Mas, bangun. Makanannya keburu dingin." Untunglah pria tersebut mudah dibangunkan, sehingga dengan sekali tepuk langsung bangun.

"Maaf, aku ketiduran lama, ya?" pria itu meminta maaf sembari mengucek matanya.

"Iya, tapi aku ga tega bangunin," jawab Sadewo jujur.

"Aku cuci muka sebentar," Giyanta pergi ke kamar mandi dan tidak sampai lima belas menit sudah kembali ke tempat duduknya, "Maaf ya, sepertinya karena aku begadang semalam. Marendra tiba-tiba bilang minta dibuatkan hiasan untuk kelasnya. Sebentar lagi 'kan 17-an."

"Lomba menghias kelas? Masih ada ya begitu?" Sadewo memperhatikan penuh sampai ke titik di mana ia sadar kalau ikatan rambut kawannya tidak rapi. Pasti bangun terlalu siang, terkanya.

"Masih ada. Itu satu-satunya lomba yang diikuti oleh Marendra. Lainnya pakai fisik soalnya," jawab Giyanta sembari mengaduk es tehnya.

"Konsepnya apa?"

"Nusantara," ia minum sebentar sebelum melanjutkan menjawab pertanyaan kawannya, "... yang nama tempat. Dia kebagian buat kapal. Untungnya tanggung jawab sih walaupun sempat lupa."

"Jadinya Mas Giyanta sama Marendra begadang karena hiasan kapal?" perjelas Dewo.

"Marendra aku suruh tidur duluan. Oh, kapalnya juga bukan kapal biasa. Apa, ya, kemarin kata Marendra ... konsep Nusantara dan ... universe? multiverse?" lagi-lagi Giyanta terdiam untuk mengingat istilah yang terlontar dari anaknya yang paling muda, "oh, metaverse."

"Ah, metaverse. Keren loh Marendra udah paham itu, padahal masih SMP."

"Ya, tapi Papanya ga paham," Giyanta tedyawa kecil, "Menarik sih konsep metaverse dan avatar, ada diri kita yang lain ...."

"Kalau sambil dijalani nanti juga paham. Rasanya bakal seperti pindah dari pake BlackBerry ke ponsel penuh dengan layar sentuh," balas Dewo sambil mengambil sesendok nasi cumi hitam di hadapannya, "Oh, iya, sambil makan, Mas."

"Iya," setelah menyahut, pria itu segera memanjatkan doa makan singkat dan menyuapkan satu potong cumi ke dalam mulutnya.

"Enak?" atas pertanyaan Dewo, Giyanta memberi jempol, menganggukkan kepala, lalu menelan makanan tersebut.

"Emang jagonya soal rekomendasi tempat makan," Giyanta mengambil suapan lain, begitu juga Dewo.

"Mas ada masalah apa sama Eka?" pertanyaan yang tiba-tiba datang dari lawan bicaranya membuat ia membulatkan mata, lalu mengerutkan dahi.

"Ga ada, kelihatan canggung ya?" pria itu mengendikkan bahu kemudian lanjut makan, berusaha membuat kesan bahwa dia hanya canggung pada Eka karena baru kenal.

"Aneh. Kalian berdua kompak canggungnya. Eka juga bukan tipe yang canggung sama orang baru," Dewo berhenti makan dan malah menatap kawannya yang terlihat cuek bebek, melanjutkan makan tanpa terlihat terusik, "Ada sesuatu di antara kalian?"

"Kamu belum tanya sama Eka?" Giyanta mempertanyakan satu hal tersebut sebelum meraih segelas es teh.

"Belum. Setelah ini kita harus kembali ke sana untuk membuat kontrak dan mengatur jadwal buat penari-penarinya, Mas gak lupa 'kan?" sebagai respons, pria berambut panjang dengan kuciran asal itu menggelengkan kepala. Dewo tersenyum tipis kemudian melanjutkan perkataannya, "Kalau kalian berdua ada masalah, aku akan jadi mediatornya."

"Kita ga ada masalah," Giyanta menjawab, tetapi pandangannya tertuju pada makanan. Ia melakukan itu agar rekannya tidak bisa membaca matanya. Kebohongannya akan tampak di sana.

"Kalau bener gitu seharusnya rencana setelah ini akan berjalan dengan baik dan kalian ga akan menguarkan aura dingin." Tentunya, karena Giyanta berbohong, apa yang dikatakan Dewo di Warung Nasi Cumi Hitam tidak terjadi. Saat ini kawannya sedang duduk berhadapan dengan Eka dan istrinya. Tadinya Dewo ingin membiarkan mereka berdua membicarakan bisnis, lagipula keduanya sudah dewasa. Akan tetapi, setelah merasakan betapa dinginya aura yang dikeluarkan kedua pria ini, Dewo dan istri Eka, Hera, berada di satu meja dengan mereka.

Tidak lucu kalau mereka berdua saling menerkam jika dibiarkan berdua dalam satu ruangan sendiri atau malah sebenarnya, situasi ini lebih terlihat seperti Eka ingin menerkam Giyanta.

Sesuatu terjadi di antara mereka.

"Dalam waktu tiga minggu saya bersedia menyiapkan koreografi dan penari saya sebanyak 18 orang dengan rincian 11 wanita dan 7 pria. Perjanjian pembayaran akan dilanjutkan kemudian hari dengan anggaran tertera," masih dengan nada datar, Eka menyetujui semua proposal yang diajukan Giyanta dan membubuhkan tanda tangan. Selanjutnya, ia menyerahkan kembali kertas itu pada lawan bicaranya, "Saya sudah setuju dan sebaiknya segera mempersiapkan mereka. Anda bisa segera melanjutkan kegiatan lain." Serentak Hera dan Dewo menatap ke arah Eka. Sementara Giyanta menaikkan alis, kemudian mengangguk, "Ya, saya punya kegiatan lain. Kalau begitu terima kasih dan permisi."

"Terima kasih, Eka. Hera juga. Kami permisi dulu," mengikuti Giyanta yang sudah berdiri duluan, Dewo mengekor gerakannya. Mereka langsung keluar dari ruang kerja dan berjalan menuju lobi. Hera mengikuti dan memberi pesan, "Hati-hati ya di jalan."

"Baiklah," Giyanta mengangguk dan menjawab dengan singkat sebelum berjalan menuju area parkir. Dewo yang masih mencoba mencerna perilaku aneh kawannya, berbeda dari bagaimana cerahnya dia waktu di Warung Nasi Cumi Hitam, mematung di samping Hera, sama-sama melihat ke arah Giyanta yang makin menjauh.

"Ini harusnya ga terjadi, dia bukan orang yang sedingin itu. Mungkin baterai sosialnya minus ya setelah kerja ke sana, ke sini, sama orang banyak," pria berbadan besar itu mencoba menganalisis kelakuan kawannya, "Sepertinya aku harus minta maaf atas kelakuannya."

"Oh, tidak perlu, aku tahu penyebab semua ini. Nanti aku akan bicara sama Eka," Hera menghela napas lalu memasang senyuman, "Mas Dewo ga perlu tahu."

"Loh?"

"Kalau suamiku udah melunak pasti Pak Giyanta ga bakal gitu juga. Ya, demi nama baik dia, sebaiknya Mas ga perlu tahu. Sudah ya," perempuan itu kemudian kembali ke ruang kerja suaminya membuat Dewo mau tidak mau menyusul Giyanta ke parkiran dengan kepala yang penuh pertanyaan.

"Nah, dari tadi aku nunggu. Ga enak kalo aku tiba-tiba bablas pergi belum pamitan," Giyanta tersenyum pada Dewo kemudian menepuk pundaknya, "ya sudah, aku mau lihat progress di wardobe dulu. Hati-hati." Setelahnya, Dewo menghela napas.

Seberat apa masalah antara Eka dan Giyanta sampai itu mempertaruhkan nama baik kawannya?

The CureWhere stories live. Discover now