Makan Malam Sempurna

22 7 0
                                    

Ting-Tong!

Bel pintu rumah keluarga Gardapati berbunyi dua kali membuat fokus Giyanta pada masakannya buyar. 

"Oh, apa mereka sudah datang? Masa satu jam sebelum janjian udah dateng," pria itu hendak pergi membuka pintu sebelum Surajati menghentikannya.

"Papa masak aja, biar aku bukain pintu," si Anak Tengah segera bergerak membuka pintu dan menyambut dua tamu mereka, Rahandika dan Surajana, "Om Dika sama Surajana datang lebih cepat ya?"

"Aku ingin sedikit membantu dan ada sesuatu yang ingin aku berikan pada papamu," Rahandika menggoyangkan kardus balok di tangan kanannya sembari memberikan senyum lebar pada Surajati.

"Kalau begitu silakan masuk, silakan masuk," anak laki-laki itu mempersilakan pasangan bapak dan anak yang nyaris identik masuk ke rumahnya.

"Terima kasih," mereka berdua membalas secara bersamaan dengan tidak lupa menyunggingkan senyuman.

"Om sama Surajana bisa duduk sini. Papa sama Kak Irawan masih masak," Marendra menyiapkan kursi serta meja makan untuk mereka.

"Ah, iya. Seharusnya aku yang mengundang kalian ke rumahku karena jadi tetangga baru kalian. Rasanya terbalik gini," Rahandika tersenyum tidak enak pada dua anak Giyanta.

"Itu ide Papa, jadi, bukan masalah besar kok Om," Surajati duduk di sebelah kanan Surajana dan Marendra duduk di kirinya.

"Aku harap Surajana bisa dekat dengan kalian. Aku mau menemui Giyanta dulu," pria 35 tahun itu segera bergerak menuju dapur yang terlihat dari bagian ruang makan setelah tersenyum pada anak semata wayang dan dua teman barunya.

"Kamu datang terlalu cepat, belum ada makanan yang siap," Giyanta langsung menyapa setelah berhenti sebentar dari kegiatan coating daging yang sedang ia kerjakan.

"Apa ada yang bisa aku bantu?" tanya Rahandika ramah.

"Tamu melihat saja. Gak perlu repot-repot," balas Giyanta sembari tersenyum,"Setelah ini aku akan memanggangnya kemudian membantu Irawan yang sudah selesai sama capcai rebus." Sementara itu, setelah Surajati, Marendra dan Surajana saling melempar lirikan selama semenit, Surajana memutuskan untuk membuka percakapan.

"Kak Surajati, namanya sama kayak aku. Ada 'Sura'-nya juga," anak itu berkata sembari tersenyum dan menatap Surajati, berusaha memasukkan visual tetangga barunya ke ingatan.

"Iya, kita sama-sama Sura," karenanya Surajati juga tersenyum dan membalas dengan ramah. Marendra hanya mengamati percakapan dalam diam, ia tidak berniat untuk membuka percakapan. Karena tidak pandai mencari topik, jadi ia akan membalas apapun yang Jana lontarkan padanya.

"Kalian juga hidup sama ayah kalian aja, ya?" Jana kembali bertanya setelah mengamati seluruh orang yang ada di rumah ini.

"Ah iya," Jati menjawab dan Marendra ikut mengangguk.

"Sama dong! Mamiku ga ada waktu umur tiga tahun karena sakit," anak dari Rahandika itu dengan mudah bercerita, sembari tersenyum pula, tentang bagaimana ia kehilangan ibunya pada kedua teman barunya. Hal itu membuat Jati dan Marendra mematung, bingung harus memberikan respon seperti apa.

"Ah, maaf, kamu harus mengalami hal seperti itu," lirih Marendra menunjukkan simpati sementara Jati menghela napas.

"Ga apa! Aku yang sukarela bercerita. Lagian, aku ga begitu ingat saat itu. Rasanya saja seperti tiba-tiba aku besar bersama papiku ... sebentar," Jana menghentikan perkataannya untuk mengendus bau sedap di udara, "Baunya sih enak. Ayah kalian jago masak, ya?"

"Jago, kalau masaknya santai," Marendra menjawab dengan semangat mengingat makanan enak yang sering dibuat Giyanta.

"Ah, makannya waktu pertama lihat aku merasa ayah kalian mirip seseorang. Bener aja," anak berumur 11 tahun itu menatap Giyanta sambil tersenyum sumringah, "mirip Chef Juna."

Sontak celetukan itu membuat Jati dan Marendra melihat ke arah Jana sementara yang ditatap masih meneruskan celotehannya, "Badannya besar, rambutnya panjang, bisa masak. Mirip banget. Galak juga ga? Kayaknya galak ya? Tapi ga apa, papiku sepertinya ga bisa masak seenak ini. Baunya aja beda."

"Memang bau masakan Om Rahandika kayak apa?" tanya Marendra.

"Kayak ... apa ya ...," Jana berpikir sebentar sebelum menjawab, "Arang."

"Itu sih gosong," sahut Jati yang kemudian disambar oleh gelak tawa Jana.

"Iya! Mendingan makan di luar deh kalau udah gitu. Berarti ayah kalian ga pernah gosong kalau masak?" Jana kini mencondongkan badannya lebih dekat dengan Marendra dan Jati.

"Kemarin Senin. Goreng nugget aja gosong. Satu wajan gosong semua," anak bungsu Giyanta bercerita dengan semangat soal insiden nugget gosong.

"Kenapa kakak kalian ga bantu waktu itu? Dia juga bisa masak, woah, kenapa kalian punya dua chef?" kini mata Jana tertuju pada Irawan yang sedang menumis potongan labu siam.

"Kamu pengen kakakku ya?" Marendra menatap Jana sembari memicingkan mata, "Dia kesal sama kamu abis dibilang pendek kemarin. Padahal fakta."

"Marendra," Jati menggelengkan kepala setelah mendengar perkataan adiknya. Marendra hanya tertawa kecil sebagai tanggapan.

"Ayah kalian suka koleksi mainan kah? Aku lihat lego di atas TV," Jana membuka topik baru setelah melihat susunan lego Avengers di rak.

"Itu punya Papa," Marendra membenarkan.

"Tapi ga sebanyak Papi. Ah, Papi tuh kayak ga bisa hidup tanpa Shinchan. Tiap sudut rumah ada," meski nadanya kesal, di mata Jati dan Marendra, Jana menyampaikan kekesalannya dengan bahagia. Ia terus tersenyum ketika berbicara. Bahkan sesekali Jati tertawa karena suara Jana yang lucu. Rahandika tidak perlu khawatir anaknya sulit untuk bergaul karena pada kenyataannya dia yang mencairkan suasana di meja makan.

"Makanan sudah siap! Side dish-nya capcai sama oseng waluh jipang," Irawan menaruh dua piring olahan sayur beda jenis di atas meja makan.

"Main course-nya rack of lamb with garlic and herbs," kini giliran Giyanta yang menaruh piring.

Mata Surajana tampak berbinar melihat itu semua, "ini beneran kaya MasterChef ya."

"Masih hebat mereka sih," sang Tuan Rumah sedikit tersipu mendengar pujian dari anak tersebut.

"Untuk minumnya aku yang bawa," Rahandika menurunkan dua gelas wine milik Giyanta yang ia ambil di rak. Kemudian membuka kardus berisi sebotol Cru Beaujolais.

"Sebenernya... gak perlu repot-repot tapi, makasih banyak! Oke, akan aku buka," Giyanta pun membuka botol itu dan kawannya menuangkan isinya dengan perlahan. Jelas jangan sampai terlalu banyak atau mereka akan mabuk di depan anak-anak.

"Gak ada wine nih buat kita?" Marendra yang dari tadi melihat proses penuangan wine merah menjadi iri.

"Gelasnya saja ya? Isinya tentu bukan wine," Giyanta kembali ke dapur untuk mengambil 4 gelas wine berisi sirup anggur untuk anak-anak mereka.

"Apa aku harus cepat masuk usia legal biar bisa kayak Papa sama Om?" Marendra yang ternyata penasaran dengan wine mengeluarkan pernyataan itu. Irawan, Surajati, Surajana dan Rahandika sampai serempak menatap Marendra karena terkejut mendengarnya.

Giyanta berdecak dan menggelengkan kepala lalu tersenyum pada anak bungsunya, "Jangan mau kamu menggadaikan masa mudamu cuma buat tahu rasa wine aja. Mungkin tumbuh dewasa akan terasa pahit. Nikmati dulu masa muda kalian, gak bisa diulangi." Marendra mengangguk-angguk mendengar perkataan ayahnya.

"Tapi kita bisa bersulang bareng," usul Irawan yang kemudian disambut dengan lampu hijau oleh semua yang duduk di meja makan malam itu.

"Kamu bisa memimpin Kak," kata Giyanta setelahnya, meminta anak sulungnya memimpin.

"Baiklah," Irawan tersenyum lebar dan memajukan gelasnya, "Bersulang!"

Tring!

The CureWhere stories live. Discover now