Menyatakan Kenyataan

10 2 0
                                    

Marendra mengayunkan kakinya dan memandang es krim cone vanila yang ada di tangan kanannya, "Rasanya jujur gini ya? Aku lega banget." Setelah menyelesaikan sesi konseling dari pihak Yayasan Bharatayuddha yang menaungi SD, SMP dan SMA Pandawa, Marendra, Antonio dan Giyanta duduk di gazebo pinggir lapangan di taman kompleks sekolah.

"Marendra masih mau sekolah di sini?" dengan hati-hati Giyanta bertanya pada anak bungsunya.

"Masih dong Pa. Kenapa juga aku mau pindah? Lagipula dia langsung dikeluarin dari sekolah. Aku puas," anak itu tersenyum. Senyum yang sangat lebar dan cerah. Bahkan menurut Antonio, ini pertama kalinya ia melihat Marendra secerah itu dari sejak pertama kali dirinya tinggal satu rumah dengannya.

"Sungguh? Tapi setelah ini kalau ada yang ganggu kamu, bilang sama Papa, ya?"

Sebagai jawaban pertanyaan ayahnya, dia mengangguk mantap, "Tenang aja. Abis ini aku ga akan memendam lagi kaya kemarin. Tapi setelah ini ga akan ada lagi yang menggangguku. Kak Anton udah ngeluarin bosnya, orang itu." Giyanta langsung mengalihkan tatapan ke Antonio yang sedang menikmati es krim cokelatnya. Anak itu mengangguk pelan sebagai respons dari perkataan adiknya. Ia memang menjadi salah satu faktor, akan tetapi keputusan sekolah yang tegas jelas adalah ujung tombak utamanya.

Baru kali ini Antonio tidak dipandang sebagai pembuat masalah karena memukuli seorang perundung. Baru Bruna Zahera, kepala sekolah barunya yang sama sekali tidak menaruh prasangka buruk padanya. SMP barunya tidak seburuk dugaan awal.

"Kalau begini gimana caranya kostumku bisa selesai ya? Kayaknya ga mungkin dikerjain pake satu tangan," Marendra menatap tangan kirinya yang berada dipenopang karena retak akibat melindungi perutnya dari tendangan kemarin. Untung saja tidak ada luka yang lebih parah dari itu di badan Marendra.

"Aku bantu menjahit. Kamu arahin saja," Antonio tiba-tiba menyahut.

"Tiba-tiba? Emang bisa?"

"Bisa, tapi aku belajar dulu," kata Antonio santai sebelum kembali memakan es krimnya, "Kamu yang ajarin nanti."

Marendra mengangguk, "Well, apapun itu aku berusaha menyelesaikan tugasku. Jadi opsi ngajarin Kakak ga buruk juga."

"Now you calling me like that? Kakak?" anak kandung termuda Giyanta memicingkan mata pada adiknya.

"Sometimes I called you like that. You just don't pay attention to it," Marendra mengerucutkan bibirnya, "Kakak juga berubah. Aneh. Terang-terangan mau bantu aku. What a strange phenomenon."

"I'm always helping you, Mar."

"Terang-terangan?" Marendra tertawa setelah melihat sang kakak sedikit merenungi perubahannya. Antonio tiba-tiba membuang mukanya, ia bisa merasakan panas merayap di wajahnya.

Setelah mengendalikan diri, ia kembali menatap Marendra, "Nah, it's for a deal. Aku ajarin kamu menghadapi pengganggu, nanti kamu ajari aku menjahit."

"Coba ajari aku sekarang," anak laki-laki yang lebih muda itu turun dari gazebo. Ia sudah selesai memakan es krimnya dan siap menerima pelatihan dari kakaknya. Antonio juga ikut berdiri persis di depan Marendra.

"Ikuti aku. Pertama kamu harus tegas. Ga perlu mukul juga. Pake tatapan, gini," Antonio mencontohkan tatapan tajam pada adiknya itu.

"Wow, Kakak tatapannya mirip banget sama Papa. Oke, aku coba," Marendra mencoba menatap balik Antonio dengan tajam.

"Itu tatapan tajam? Kenapa kaya kucing ilang minta diangkut?"

"Aku kalau marah gini, ya!"

"Kebangetan tuh orang kok bisa-bisanya ...."

Giyanta hanya tersenyum melihat mereka berdua saling melempar candaan. Ia teringat 7 tahun lalu saat Jati terlibat pertengkaran dengan kakak kelasnya waktu masih SD karena Irawan diganggu. Sekarang itu terjadi lagi, bahkan lebih parah. Juga lagi-lagi ia tidak bisa menghentikannya sebelum salah satu anaknya terluka. Mengapa rasanya ia seperti mengulang kesalahan yang sama?

Ayah macam apa yang gagal melindungi anaknya sampai dua kali?

"Papa! Papa! Coba lihat aku! Aku bisa marah 'kan?" tepukan Marendra di tangannya membuat pria itu langsung menatap anak termudanya yang sedang memasang wajah marah buatan.

"Semua orang bisa marah, kok," Giyanta menatap anak laki-lakinya itu lembut lalu tersenyum.

"Masa kata Kakak ga bisa." Aduan Marendra itu disahut tepukan lembut di kepalanya dari sang ayah.

"Oh, how'd you live in the school before I come?" Antonio menyampaikan keheranannya.

"Aku mulai dipalak waktu naik kelas dua. Jadi waktu itu ya, I just ... live in quiet? Kalo dipalak ya kasih aja. Kalo dicubit ya terima aja. Kalo ditoyor juga terima aja. Lagi pula aku masih bisa handle itu," Marendra menjawab itu semua dengan santai.

" 'I can handle it' my ass."

"Antonio," Giyanta menggeleng mendengar perkataan anaknya tadi.

"Sorry, Pa."

"Oh itu, Kak Irawan sama Kak Jati ke sini juga. Kak! Sini!" setelah berseru Marendra tiba-tiba mengaduh sambil memegangi perutnya. Giyanta yang panik langsung mendekati anaknya.

"Eh, ga apa ini. Cuma nyeri dikit karena teriak," Marendra langsung berdiri tegak lagi dan tersenyum pada kakak-kakak serta ayahnya yang memasang wajah khawatir untuknya.

"Astaga, aku beneran khawatir kamu kenapa-kenapa," Irawan menghela napas sembari memegangi dadanya.

"Oke, kita berpisah di sini. Papa sama Kak Irawan mau gladi resik buat besok. Kalian bertiga pulang. Papa pesankan taksi online-nya." Setelah yakin ketiga anaknya diantarkan dengan selamat oleh taksi daring yang ia pesan. Barulah Giyanta berangkat ke tempat release party besok berlangsung.

"Kak. Kakak tau ga sih kenapa Papa ga mau beli mobil? Padahal kan enak kalau kita berlima satu mobil begini. Adem pula," Marendra yang duduk di sebelah Anton persis di barisan kedua tiba-tiba saja memberikan pertanyaan yang tidak bisa dijawab oleh dirinya.

"Papa ga bisa nyupir mobil kayaknya sih," jawab Jati yang duduk di depan.

"Ah, iya. Mungkin gitu," adik bungsu mereka pun terdiam dan melihat ke luar melalui kaca jendela. Jati dan Anton juga ikut terdiam. Mata mereka memperhatikan sisi yang berbeda dari jalanan. Akan tetapi mempertanyakan hal yang sama.

Apa benar ayah mereka tidak bisa menyetir mobil?

Jati bahkan membawa pikirannya lebih jauh lagi. Ia tidak pernah melihat ayahnya naik mobil ataupun bus. Pria itu selalu menaiki motornya kemanapun mereka pergi. Bahkan saat pulang kampung, ketika mereka berempat turun dari kereta dan melanjutkan perjalanan ke rumah Simbah, Jati, Irawan dan Marendra selalu naik mobil atau taksi. Sementara ayah mereka sendirian naik ojek motor.

Setelah dipikirkan seperti ini, Jati merasa ada sesuatu yang ganjil. Tetapi ia tidak bisa memahaminya.

Apa yang ganjil?

"Aku besok mau berangkat ke release party. Boleh?" sekarang Marendra mengganti topik pembicaraan.

"Oh? Tapi kamu udah baik-baik aja 'kan?" Jati menyahut untuk mengusir keruwetan pikirannya.

"Udah kok! Aku mau lihat Juanna langsung," anak itu mengatakan motivasinya dengan terang-terangan.

"Pasti mau makanan juga," sambung Antonio.

"Itu sudah pasti," Marendra tersenyum.

"Tapi besok kamu duduk aja ya? Jangan banyak gerak. Kalau mau ambil makanan bilang aja sama Kakak. Ngeri juga abisnya kalau kamu kesenggol-senggol orang banyak," Jati tertawa tipis, "Aku penasaran sama penampilan Kak Irawan sama Papa sih. Bakal jadi debut Kakak, pas hari ulang tahun lagi."

"Semoga Kak Irawan ga ngaco," anak termuda di mobil itu kemudian memberikan senyum antusias. Ia tidak sabar menunggu Sabtu sore datang.

"Iya," Jati mengiyakan kemudian berharap acara besok berjalan dengan baik tanpa halangan.

The CureWhere stories live. Discover now