Kejutan

39 1 1
                                    

Giyanta duduk di sofa ruang tamu dengan diam. Masih berusaha mencerna bagaimana bisa Juanna menemukan rumahnya.

"Jadi ... yang kasih tau Dewo?" ia memastikan sekali lagi.

"Iya benar. Aku tanya lewat manajerku," sebelumnya perempuan itu memang sudah menjelaskan, tetapi Giyanta mungkin sedikit terkejut.

"Apa aku mengganggu?" tanya Juanna pelan-pelan. Seketika ia merasa idenya untuk membawakan 10 bungkus bubur ayam sudah melewati batas kewajaran. Kalaupun iya seharusnya ia tidak kaget, Erik sudah memperingatkan dirinya. Namun Juanna tetap saja melakukannya.

"Bukan begitu, sungguh. Apakah ini semua baik-baik saja? Maksudku ... kamu ... artis ...," suara Giyanta menjadi lirih karena ia merasa telah membuat teman barunya repot dengan membawakan dia, anak-anaknya, bahkan keluarganya Rahandika dan Eka sarapan pagi ini.

Ini bahkan masih jam 6 pagi!

"Tentu baik-baik saja. Ini ideku sendiri. Aku berusaha membantu temanku," Juanna tersenyum. Namun entah mengapa intonasinya terasa berat ketika menyebutkan kata 'teman'.

"Baiklah, terima kasih banyak. Ini benar-benar membantu juga datang di saat yang tepat," Giyanta juga ikut tersenyum. Ia memang merasa terbantu dengan kehadiran Juanna dengan bubur ayamnya yang tiba-tiba. Sebenarnya pagi ini ia sudah bangun seperti biasa. Sayangnya ia tidak bisa masak karena semua pisaunya hilang entah ke mana. Sementara itu Hera bangun kesiangan dan Rahandika baru saja bangun ketika Juanna datang.

Kamis yang kacau.

Keempat anak Giyanta makan dengan tenang. Jati yang pertama menghabiskan makanan sebelum kembali ke kamar lagi untuk menyiapkan barang-barangnya. Antonio masih duduk di meja makan sembari merenungkan apakah ada udang dibalik batu tentang pemberian kawan baru ayahnya itu. Irawan sedang memperhatikan Marendra yang mengaduk-aduk buburnya.

"Kalau ga doyan jangan dibuat mainan gitu," anak tertua di keluarga ini menegur adiknya.

"Bukan gitu. Bubur ayam 'kan harusnya diaduk," jawab Marendra. Setelah itu, ia langsung memasukkan sesendok bubur ke mulutnya lalu tersenyum pada Irawan yang memberikan pandangan datar.

"Oh, iya aku lupa menyampaikan sesuatu," perkataan Juanna itu tidak hanya membuat Giyanta langsung menatapnya, ketiga anaknya juga diam memperhatikan apa yang selanjutnya akan diungkapkan olehnya.

"Aku menyesal sebenarnya pakai Stagelight buat pre-rilis," perempuan itu menundukkan pandangan. Akan tetapi dengan cepat kembali tersenyum, "Seharusnya aku juga pakai buat MV utamanya juga! Ah, bukan berarti aku ga suka MV-ku. Aku suka 'kok. Hanya saja sepertinya konsep dari Mas benar-benar cocok. Pak Agung juga bilang gitu." Antonio, Irawan dan Marendra mengela napas lega mendengar itu.

"Ah, begitu, ya. Terima kasih," Giyanta tersenyum. Ia dipuji Juanna dan dalam itu bahkan seorang chairman agensi artis besar juga memuji pekerjaan timnya. Tanpa sadar, pipinya memerah saat ini.

Juanna senang bisa membawakan kabar bahagia untuk Giyanta, bahkan ia juga melihat anak-anaknya ikut senang. Akan tetapi ia tidak bisa mengingkari pengelihatannya. Di dalam wajah tersipu itu, sorot mata Giyanta terasa kelam. Tidak ada kilauan, pandangan tulus ataupun perasaan bahagia tercetak.

Pria itu benar-benar sedang menghadapi masa sulit dan entah mengapa Juanna selalu ingin membantunya keluar dari sana.

"Aku akan membayar kesalahan itu dengan merekomendasikannya pada banyak artis dan kalau Mas beruntung, mungkin Noa juga tertarik."

Atas pernyataan Juanna, Giyanta tertawa kecil lalu menunduk, "Terima kasih banyak."

"Kita teman sekarang," perempuan itu tersenyum cerah dan Giyanta memandanginya. Mata kelamnya memandang balik mata Juanna yang berkilau. Sesaat ia hampir saja bertanya sejak kapan bintang malam pindah ke mata kawan barunya itu. Akan tetapi ia masih cukup sadar untuk tidak mengatakannya.

Tak!

"Mas, sepertinya aku harus pergi sekarang. Lihat ini," Juanna tanpa beban memperlihatkan 10 panggilan tidak terjawab dari manajernya yang tertera di jendela ponsel lipatnya pada Giyanta, "Sampai bertemu lagi lain kali." Perempuan itu keluar rumah dan berjalan menuju mobilnya yang diparkir di dekat taman perumahan, bukan di depan rumah Giyanta persis. Ia masih tersenyum pada tiga rumah yang ia lewati sebelum benar-benar menjauh. Giyanta masih termenung di depan pintu beberapa saat sebelum akhirnya tersadar bahwa tamunya sudah pergi.

Pria itu masuk rumah dan kembali mempertanyakan hal yang sama seperti sebelum Juanna datang, "Pisau dapurnya pada ke mana?"

Di kantin kantor agensi, Erik menghela napas dan mematikan ponselnya setelah berhasil menghubungi artisnya.

"Sepertinya aku harus menghadap Pak Agung dan minta kenaikan gaji," ia memulai pembicaraan dengan sesama manajer yang ada di depannya, Toni.

"Memangnya sebelum ini dia belum pernah suka sama orang?"

"Member Westlife kan orang semua."

"Manusia."

"Ya semuanya manusia. Emang mereka anime?"

"Selain artis, astaga, Erik Munandar," Toni sedikit menaikkan nada bicaranya. Akan tetapi hal itu membuat Erik tertawa kecil, kejahilannya di pagi hari berhasil. Lumayan untuk mengusir penat karena mengurus Juanna yang agak sulit diatur belakangan ini.

"Mungkin ini pertama kalinya yang sampai seserius ini. Kadang hanya selewat, sebatas suka," pria itu menjawab dengan sungguhan.

"Jadi ini pertama kalinya serius?"

"Ada saran?" Toni berpikir sejenak sebelum menjawab pertanyaan itu. Memang sebagai manajer ada satu waktu ketika ia menghadapi keadaan bahwa artisnya sedang kasmaran.

"Tapi masalahnya dia ga sebrutal Juanna sih. Aku ga bisa bantu banyak ...," Toni kemudian menyesap teh hangatnya sementara Erik termenung memikirkan kejutan apalagi yang akan diberikan Juanna padanya.

Kembali ke rumah Gardapati. Siang ini Giyanta masih gagal memasak. Untuk meredakan kekesalan ayahnya, Antonio mengaku juga.

"Jadi ... kamu sama Irawan yang nyembunyiin?" pria itu melipat tangannya lalu menghela napas, "Kenapa?"

"Karena disaranin begitu. Lebih baik menjauhkan semua benda tajam dari Papa saat ini," Antonio menunduk, "Sorry, Pa. Aku ga bilang." Giyanta mengangguk dan ikut menunduk sembari melihat tangan kirinya yang masih dibebat perban. Ia tahu alasan dibalik saran itu. Tentu saja, kejadiannya baru 4 hari yang lalu. Mungkin sekarang dirinya merasa baik-baik saja. Akan tetapi mencegah memang jauh lebih baik dari pada mengobati ketika terlanjur terjadi.

"Papa ngerti kok, jangan terlalu merasa bersalah. Sekarang pesan aja. Kamu mau makan apa?" Giyanta meraih ponselnya dengan tangan kanan. Ia langsung membuka aplikasi untuk membuat pesanan.

"Papa mau apa?" Antonio juga mengambil ponselnya. Mereka saling bertukar pandang sebelum tertawa.

"Haruskah aku membuktikan perkatakanku waktu itu? That you know what I really want more than myself?"

"Sure, kalau itu maumu. Kamu pesan buat Papa dan Papa pesan buat kamu." Mereka tenggelam dalam ponsel masing-masing, memilihkan makanan untuk satu sama lain. Setelah selesai memesan, mereka menunggu pesanan datang. Antonio memilih menghabiskan waktu dengan mempelajari materi yang ia lewatkan selama 3 hari belakangan ini. Sementara itu Giyanta menarik salah satu novel dari raknya. Akan tetapi, matanya tidak tertuju pada novel itu, melainkan pada sang anak. Melihatnya serius seperti itu membuat ia teringat akan ayahnya, sekilas.

"Permisi!" seruan itu membuat mereka berdua langsung keluar dari pintu rumah. Dua pesanan mereka datang bersamaan. Setelah mengucapkan terima kasih, mereka langsung menuju meja makan.

"Ini buat kamu."

"Ini buat Papa."

Giyanta membelikan Antonio nasi padang lengkap dengan sayur dan rendangnya. Anak itu tertawa lalu tersenyum, "See. Papa tau aku lagi pengen rendang. Thank you." Setelah merasa anaknya puas dengan apa yang ia beli, pria itu membuka plastik bungkusan miliknya. Ia terdiam ketika tahu itu adalah mi ongklok.

"Papa ga suka kah?"

"Suka kok. Tapi Papa kaget aja kok kamu tahu Papa lagi kangen sama Mbah Ndaru," Giyanta kemudian beranjak untuk mengambil mangkok. Bagaimanapun juga, ini adalah kejutan karena secara tidak sengaja Antonio memesankan makanan yang ia rindukan. Meski rasanya sebenarnya jauh berbeda dari buatan ayahnya dulu.

In a bad way.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Apr 12 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

The CureWhere stories live. Discover now