Perang Dingin Dimulai!

15 5 0
                                    

Surajati yang sudah berpakaian seragam rapi membawa termometer dan mengejar ayahnya. Pria itu terus bergerak ke sana kemari sembari berdendang kecil.

"Pa, berhenti dulu," Jati dengan terpaksa menahan badan ayahnya untuk mengukur suhu badannya pada pagi ini. Anak kandung pertama Giyanta itu tidak bisa percaya begitu saja pada sang ayah yang pagi ini bilang ia baik-baik saja dan akan kembali berangkat bekerja setelah seharian kemarin terserang demam tinggi.

"Kamu ngapain?" Giyanta dengan mudah mengelak karena dirinya memang lebih besar dan kuat secara fisik dibanding anaknya. Akan tetapi, Jati sudah mendapatkan apa yang ia mau.

"Papa istirahat dulu deh hari ini. Lihat, masih 38 derajat. Bisa 'kan, Pa?" Surajati benar-benar menahan ayahnya.

"Ini karena Papa banyak gerak dari tadi pagi. Kalian siap-siap berangkat aja, Papa juga mau berangkat," Giyanta menepis kekhawatiran anaknya dengan kembali bergerak dan mengambil helm.

"Aku bilang sama Om Rahandika biar Papa ga keluar rumah atau Om Dewo biar dipulangin lagi nanti," Jati kembali mengancam.

"Atau kita panggil ambulan biar Papa dijemput terus opname di rumah sakit," Irawan menyambung ancaman tersebut.

"Astaga, kalian ini," Giyanta meletakkan kembali helmnya lalu mendengus.

"Hari ini agendanya apa, Pa?" Marendra giliran bertanya.

"Masih sama, ya, storyboard ga mungkin selesai sehari. Baiklah Papa akan bilang ke Om Dewo, kalau sudah selesai bisa kirimkan ke sini. Kalian bisa berangkat sekarang ...."

Honk! Honk!

"Busnya udah sampai," Giyanta pun mengantar anaknya sampai halaman depan.

"Kami semua berangkat dulu, Pa," Irawan pamit. Kedua adikknya mengikuti sembari melambaikan tangan. Ayahnya membalas dengan anggukkan kecil.

Di seberang rumah Surajana juga berpamitan dengan ayahnya, "Pih, Jana berangkat dulu, ya?"

"Iyaa, belajar yang bener," Rahandika menepuk rambut Jana perlahan sembari tersenyum.

"Jana, ayo!" Marendra rupanya menunggu Jana keluar dari pagar rumah. Setelahnya, anak itu mengikuti teman sekaligus tetangganya seberang rumah.

"Om Rahandika, titip Papa ya. Masih sakit itu, Om, jangan sampai kabur," Marendra berceletuk sembari tertawa kecil. Rahandika juga membalasnya dengan tawa dan kemudian mengunci pandangan pada sahabatnya yang sedang berdiri di seberang.

Karena seruan Marendra, Hera yang sedang menyapu halaman rumah pun juga mendengarnya. Perempuan berambut pirang itu segera melempar pandang pada Giyanta, "Masih sakit?"

"Sedikit," pria itu menjawab singkat sembari mengangguk dan tersenyum.

"Sepertinya benar, wajahnya memerah. Benar 'kan Raijin-sama?" Hera melempar pertanyaan pada Rahandika yang sedari tadi mengamati Giyanta.

"Aku setuju. Kamu benar-benar masih sakit dan sepertinya masih sama seperti dulu, suka memforsir diri," Rahandika berseru dari seberang. Giyanta menghela napas sebagai balasan.

Akan tetapi, tunggu sebentar, apa suhu tubuh 38°C cukup untuk membuat wajahnya memerah? Rasanya bukan karena demam? Entahlah, Giyanta jadi bingung sendiri. Meskipun hari ini masih sakit, ia masih punya tenaga untuk berdendang dan melakukan pekerjaan rumah.

Oh, juga mengapa ia tiba-tiba tersenyum ketika melihat Hera?

Itu bukan apa-apa. Standar keramahan tetangga. Bukankah begitu? Bukankah ia juga tersenyum pada Rahandika?

Itu pasti karena malu! Iya, dia pasti malu karena kejadian kemarin sore. Oh, demam sialan.

Tunggu, sebaiknya dirinya kembali tidur. Isi otaknya yang berisik membuat kepalanya jadi berat lagi.

The CureWhere stories live. Discover now