Di Bawah Lampu Sorot

25 9 9
                                    

"Beneran mau berangkat sendiri?" Rahandika memperhatikan Giyanta yang sudah siap dengan motornya.

"Iya, ga apa. Selama ini juga aku naik motor terus," sahut pria itu sembari tersenyum.

"Padahal mobilku masih selo banget."

Sekali lagi Giyanta menggeleng lalu menunjukkan senyumnya, "Wes, rapopo. Oh, Surajana gimana? Mau di rumahku aja?"

"Udah dari tadi siang dia di rumahnya Yodha," jawab Rahandika dengan santai.

"Rumah keluarga Danendra?" Giyanta memastikan apa yang ia tangkap benar.

"Iya, benar. Rumah keluarga mereka. Bahkan aku ga perlu nganter karena ia dijemput dan supirnya kasih live tracking bahkan juga foto Jana yang sudah disambut anak Yudhistira yang lain. Sepertinya yang kembar itu."

"Nakula dan Sadewa?" jawab Giyanta, karena kedua anak itu teman anaknya juga di sekolah.

"Nah iya, mereka. Jana juga mengirim foto tadi dia lagi nonton Iron Man sama ... oh iya, Sadewa," Rahandika melihat ponselnya untuk memastikan nama anak Yudhistira yang tadi sedang bersama anaknya, "Ga ada masalah kecuali kalau dia tiba-tiba tanya lore Marvel."

"Tinggal tanya aku nanti," sahut Giyanta sembari tertawa kecil.

"Ah, benar juga. Aku memang harus tanya sama orang yang paham," Rahandika tertawa sebelum melihat jam tangannya yang sekarang menunjukkan pukul 3 sore, "Ya sudah, aku berangkat dulu. Kamu ikut jejakku, jangan sampai nyasar."

"Aku tahu lokasinya. Seharusnya kamu yang dibelakangku dan kamu yang jangan sampai nyasar," pria 39 tahun itu mengoreksi perkataan temannya.

"Aku ada Google Maps. Ga akan mungkin nyasar," balas Rahandika yang kemudian masuk ke mobilnya.

Sementara itu Giyanta langsung menyalakan kembali mesin motornya, "Duluan!" Ia berangkat mendahului mobil temannya.

"Udah berangkat ya, Papa sama Om?" tanya Marendra yang hanya membuka sedikit pintu kamarnya agar kepalanya bisa keluar.

"Udah, beberapa menit yang lalu. Tapi aku juga bisa buat pertunjukan sendiri," Irawan mengangkat flashdrive putih dan menggoyangkannya, "Aku juga punya set."

"Ayo, Kak! Di studio 'kan?" Marendra malah dengan semangat merangkul kakaknya dan berjalan menuju studio. Sementara itu Jati berjalan ke kamar Antonio yang tertutup rapat.

Tok! Tok! Tok!

"Antonio, kamu mau ikut kami ke studio?" tanya Jati dengan sedikit mengeraskan suaranya agar adiknya yang ada di dalam dapat mendengar.

"Hm, nanti aku nyusul," jawab Antonio tanpa membuka pintu kamarnya.

"Baiklah," Jati yang tidak ingin memaksa adiknya, kemudian beranjak dari depan pintu, "Aku di studio ya!"

Jauh dari rumah mereka, di stadion kota setempat, Juanna bersama manajernya sedang mencari tempat yang baik untuk melihat festival EDM itu.

"Aku ga tahu kamu juga tertarik EDM," pria itu mengawali pembicaraan sembari melihat ke sekeliling, "atau kamu datang ke sini hanya demi mengembalikan barangnya Pak Giyanta?"

"Oh, aku suka genre house. Lumayan," Juanna kemudian memicingkan mata, "Ini misi sekali mendayung, dua pulau terlampaui."

"Kalau begitu kita lihat dari samping panggung saja, CAT 0," manajernya memberi saran.

"Akan terlihat seperti aku menggunakan privilege-ku."

"Bukankah tujuanmu juga buat ke backstage? Lagian semua orang udah tahu kalau yang punya acara itu agensi yang menaungimu," pria itu membantu Juanna membuat pertimbangan.

The CureWhere stories live. Discover now