Seminggu Lagi!

13 3 2
                                    

Pemandangan yang Irawan lihat pertama kali saat membuka mata pagi ini adalah Marendra yang tertidur pulas di atas kasurnya sambil memeluk boneka Kirby. Sebenarnya ia punya banyak pertanyaan, akan tetapi langsung diurungkan setelah melihat adiknya masih pulas. Terlebih sekarang hari Sabtu. Kesempatan untuk bangun siang sebenarnya. Akan tetapi Irawan tetap konsisten dengan alarm otomatisnya.

Bangun jam 5 pagi.

Rutinitasnya juga sama. Berdoa, cuci muka di kamar mandi, minum air putih hangat lalu kembali ke kamar untuk mengambil ponsel.

Ternyata sudah jam 5 lewat 10 menit. Itu artinya Irawan harus menunggu 20 menit lagi agar bisa bertemu ayahnya. Giyanta biasanya bangun paling pagi, tidak peduli walaupun ia sebenarnya baru tidur jam satu pagi. Pria itu menyempatkan diri untuk jogging pagi, mulai jam 5 kurang. Kalau beruntung biasanya Irawan atau Jati ikut dengannya.

Sebenarnya mereka lebih sering tidak ikut karena mereka bangun lebih dari jam lima, terutama di hari Sabtu. Jadi sekarang Irawan memilih duduk di kursi meja belajarnya dan bermain ponsel. Sesekali membuka Instagram, kemudian Twitter, lalu Tik Tok dan bermuara di akun SoundCloud-nya yang masih kosong.

"Hmmm ...," Marendra membuka matanya akan tetapi tidak segera bangun. Ia menatap Irawan tanpa bicara apapun.

"Kenapa kamu pindah dari kamarmu?"

"Ga bisa tidur... tiga hari ke depan aku di sini ya...," balas Marendra.

"Mimpi buruk?"

"Bukan. Ada orang yang bukan orang di kamarku," anak itu perlahan-lahan bangun dari posisi tidurnya. Ia sedikit mengerang sembari memegangi pundaknya lalu kembali menatap Irawan, kali ini dengan senyuman, "Selamat pagi."

"Siapa yang bilang ada hantu di kamarmu?"

"Juna."

"Kamu bisa lihat?"

"Engga." Irawan menghela napas, lalu mengangguk.

"Aneh-aneh aja," Jati yang ternyata sudah bangun, saat ini berdiri di depan pintu kamar kakaknya itu.

"Semalam aku hampir tidur tempat Kak Jati. Tapi ga jadi soalnya Kakak kebo," kini Marendra memicingkan mata ke arah kakak tertua keduanya.

"Kamu berusaha bangunin aku?"

"Ya, tapi ga bangun-bangun," anak termuda itu mendengus dan mengeratkan pelukan ke bonekanya.

"Ada apa ini?" Giyanta yang ternyata sudah pulang ke rumah juga ikut berkumpul di daun pintu kamar Irawan.

"Rumah kita berhantu, Pa," lirih Marendra yang semakin mengkerut.

"Sebenarnya, semua tempat berhantu loh Mar. Kita memang hidup berdampingan dengan mereka. Asal kamu ga mengusik mereka, semuanya aman," pria 39 tahun itu tersenyum pada anak bungsunya.

"Tetep aja serem kalau aku lagi nonton MV Sonyeo Generation terus tiba-tiba ada hantu nongol di belakangku, Pa," Marendra mengeluarkan pembelaan atas ketakutannya.

"Hantunya nge-fans juga kali," sahut Jati yang membuat Irawan berusaha keras menahan tawanya.

"Kalau masih takut ga apa tidur sama kakakmu atau sama Papa dulu," selesai berbicara pada Marendra, Giyanta langsung mengalihkan pandangan pada Irawan, "Irawan, kamu siap latihan seharian hari ini? Hari H-nya seminggu lagi."

"Tentu saja aku siap, Pa," anak itu memberikan jempolnya pada sang ayah.

"Kalau begitu Papa masak sarapan dulu," Giyanta beranjak menuju dapur, "Tadi Papa sekalian beli teri nasi. Menu pagi ini nasi goreng." Di dapur, ternyata Antonio juga sudah bangun. Ia meminum air putih hangat dan kemudian menatap ayahnya, "Pa, jadi beli spakbor depan?"

"Oh, iya kemarin udah beli. Kamu beneran mau pasangin? Ga apa?" Giyanta mengangkat alis.

"Selagi alatnya ada semua why not? Aku kerjakan sekarang." Mereka pun bergerak menuju garasi. Giyanta membuka gudang dan mengeluarkan beberapa peralatan dari sana.

"Are you okay alone here?"

"Kakak ga sendirian kok. Aku mau lihat," Marendra tiba-tiba sudah duduk bersila di sebelah kaki ayahnya.

"Kamu kaya anak kucing," kata Antonio sembari mengerlingkan mata.

"Is that an insult?" tanya adiknya dengan nada bingung.

"Yes, planga plongo, kepoan juga," setelah berkata seperti itu Antonio langsung bekerja tanpa mempedulikan Marendra yang malah tertawa karena ejekannya. Giyanta menghela napas lega melihat interaksi antara Antonio dan Marendra. Setidaknya sekarang mereka jauh lebih baik.

Pagi ini, Rahandika sudah duduk di depan layar komputernya selagi Surajana masih tidur. Seminggu lagi juga hari besar untuknya karena salah satu lagu gubahannya masuk dalam album Juanna. Suatu pencapaian walau bukan title track atau lagu untuk pre-release. Ia memasukkan lagu itu ke dalam set-nya, membuat transisi yang mulus dari lagu sebelumnya. Bahkan ia tenggelam dalam pekerjaannya sampai lupa memikirkan sarapan apa pagi ini.

"Pi," Jana tiba-tiba saja membuka pintu studio dan memanggil ayahnya, "Hari ini Jana mau latihan dari jam 7."

"Jam 7 pagi?" tanya Rahandika, memastikan pemahamannya. Sebagai jawaban, anaknya mengangguk.

"Ah, harus siap-siap sekarang. Kamu mandi dulu, nanti Papi siapkan makanannya," pria berambut merah itu beranjak dari kursinya dan langsung merangkul anaknya, "Hari ini Papi bakal nemenin Jana dari awal sampai selesai."

"Oke, Pi!"

Jam di dinding ruang keluarga Gardapati menunjukkan pukul 6.37. Giyanta yang sudah selesai memasak memanggil Antonio dan Marendra yang ada di garasi untuk makan.

"Sudah selesai? Oh, wow, you really can do it neatly," pria itu sedikit terkejut karena anaknya benar-benar bisa memperbaiki motornya.

"Well, salah satu benefit hidup sama mbah uti dan kakung sepertinya," Antonio mengendikkan bahu. Sejurus rasa bersalah menembus dada Giyanta. Memang benar, karena hidup bersama kedua mertuanya, Antonio jadi bisa memperbaiki barang, bahkan motor sekalipun.

"Oh, benar," pria jakung itu mengangguk, "Ayo sarapan dulu. Kalian berdua."

Matahari terus bergerak naik Sabtu ini. Juanna dan Erik, Manajernya selesai meninjau gedung galeri yang mereka sewa untuk release party seminggu lagi.

Perempuan itu menghela napas lalu tersenyum, "Ah, ga terasa albumnya mau rilis. Dari pada mengkhawatirkan penjualan aku lebih deg-degan sama release party-nya. Oh, aku juga ga sabar mau ketemu lagi sama Mas ...."

"Mas?" Erik langsung menyela sembari mengangkat alisnya.

"Ya, Mas Giyanta, patnernya yang ternyata anaknya, oh dia lupa bilang detail itu, dan Raijin. Mereka yang tampil 'kan? Oh, semua tamu, aku ga sabar ketemu semua tamu," Juanna melebarkan senyumnya setelah menjelaskan.

Erik menghela napas. Juanna selalu tampak ganjil ketika membicarakan Giyanta. Bahkan saat ia memberitahu bahwa pria itu memang punya anak tetapi berstatus duda pada Juanna. Respon perempuan itu di luar dugaan Erik.

Syukurlah? Itu respon yang aneh. Bahkan saat Giyanta mengucapkan selamat lewat akun Instagram-nya, lalu mereka kembali melanjutkan chat dengan membahas back-to-back minggu depan yang ternyata dilakukan oleh pria itu dan anaknya, kata Juanna, Giyanta kira dia sudah menjelaskan kalau patnernya adalah anak sulungnya akan tetapi ternyata tidak, mata Juanna terus berkilau seperti saat ia sedang bekerja. Erik sangat tahu kalau Juanna mencintai pekerjaannya, itulah mengapa matanya berkilau saat kerja.

Tetapi tatapan yang sama hanya karena berinteraksi dengan seseorang?

"Eh, bukannya ada latihan buat musikal?" suara Juanna membuat pria itu berhenti berpikir.

"Memang ada latihan hari ini?" Erik mengerutkan dahinya.

"Kak, you're my manager. Wait, oh, no. Kita terlambat. Latihannya mulai jam sebelas. Ini udah jam 10 lebih," perempuan itu bergegas lari ke mobilnya. Erik juga langsung menyalakan mesin dan tancap gas.

Benar-benar kacau.

The CureTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang