Punya Teman

16 9 11
                                    

Marendra menghela napas di depan pempek lenjernya. Ia melihat ke sekeliling kantin sebelum akhirnya makan.

"Tapi kamu harus banget ada di depanku begini?" protes anak itu dengan mulutnya yang sudah tidak penuh dengan makanan.

"Harus. Aku ga mau susah-susah bawa kamu yang pingsan pulang," jawab Antonio cepat.

"Oh." Setelahnya keadaan di meja makan mereka sangat dingin. Tidak ada yang saling berbicara lagi. Lagi pula menurut Marendra, tidak ada topik yang bisa dibicarakan mereka dengan tenang karena apapun topik awal mereka pasti muaranya adalah pertengkaran.

"But, did you find it already?" Antonio kembali membuka percakapan dengan adiknya itu.

"Uangku? Belum. Kenapa? Bakal aku kembalikan kalau udah ketemu. Tenang aja," Marendra menjawab kemudian kembali memasukkan sepotong pempek lenjer ke mulutnya.

"Ga perlu! I've said that," lagi-lagi kakaknya itu menegaskan bahwa dia tidak minta pengembalian uang dari adiknya.

Sementara itu Marendra mengangkat alisnya dan mengangguk, "Okay then." Sekali lagi mereka jatuh ke dalam keheningan. Mereka kembali fokus ke makanan masing-masing. Antonio menghela napas sejenak sebelum memakan bakminya lagi.

"Juna! Sini!" seketika Marendra yang tadinya diam menunjukkan ekspresi semangat. Bahkan mungkin itu pertama kalinya Antonio melihat adiknya sesemangat itu selama di sekolah. Anak yang ia panggil pun duduk tepat di sebelah Marendra sambil menaruh pangsit rebusnya di meja.

"Gak sama Mosha?" tanya Marendra segera karena melihat temannya itu sendirian.

"Itu, dia ke arah sini," begitu membalikkan badan, mereka berdua bisa melihat Mosha yang membawa sepiring ayam geprek berjalan ke arah mereka. Antonio yang sudah melihat duluan kehadiran anak itu mendengus lalu kembali berfokus pada bakminya.

"Oh, there you are," Mosha pun duduk di sebelah Antonio, satu-satunya kursi yang tersisa, "Kalian saling kenal ternyata."

"Iya, Kak Marendra bakal ngurus kostumku," anak laki-laki beralis tebal yang duduk di sebelah Marendra menjelaskan pada Mosha tentang bagaimana mereka mengenal satu sama lain, "Aku ga heran kalau kamu kenal Kak Marendra juga."

"Aku kenal Mosha karena kakakku. Nah, Arjuna, ini kakakku, Antonio," Marendra memperkenalkan temannya pada Antonio.

Tanpa menunjukkan ketertarikan sedikitpun, anak kedua Giyanta itu menjulurkan tangannya pada Arjuna, "Aku Antonio Gardapati."

Meskipun disambut dengan dingin, Arjuna tetap berusaha tersenyum dan terlihat ramah di depan kakak temannya, "Arjuna Zahera." Antonio mengangguk-angguk dan kembali makan. Sepertinya ia tidak perlu terlalu memperhatikan Marendra, dia punya teman.

Ia harus lebih memperhatikan dirinya sendiri yang tidak punya teman sama sekali di sekolah ini.

"So, how it feels to be the main character?" Mosha memulai pembicaraan.

"Aku ga tahu apakah diriku deserve that. Aku cuma anak tahun pertama," Juna mengendikkan bahu lalu memakan pangsitnya.

"Tapi suaramu bagus loh. Aku kemarin lihat latihannya," Marendra memuji kawan di sampingnya. Suara tulus, sesuatu yang jarang Antonio dengar ketika anak itu berbicara dengannya.

"Sepertinya aku benar-benar mewarisi Ayah," anak itu mengangkat alis kemudian tertawa kecil. Antonio menatapnya cepat, mungkin penilaian pertamanya benar anak itu bukan hanya mirip, tetapi memang anak dari salah satu penyanyi legendaris yang sudah tiada karena sakit.

Kalau memang benar begitu, maka artinya ia sekarang hidup sendirian. Namun, mengapa nama belakangnya Zahera?

"Nanti jadi ke rumahku 'kan? Pulangnya ke asrama gimana?" pertanyaan tiba-tiba Marendra itu membuat pandangan Antonio berubah menuju ke adiknya. Ia tidak pernah mendengar rencananya untuk membawa orang asing ke rumah.

The CureTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang