Giyanta Mode Demam

20 5 0
                                    

"Mas Giyanta kenapa sih hari ini?" Dewo menelusuri Giyanta dari ujung kepala sampai ujung kaki kemudian menatap wajahnya, "Semua orang yang lihat Mas hari ini tahu kalau Mas Giyanta lagi sakit."

Giyanta mengangkat alis kemudian memiringkan kepala, "Apa sejelas itu?" Rekan kerjanya menghela napas. Ia akan beradu argumen dengan sisi keras kepala dari pria berambut panjang ini sebentar lagi.

"Iya. Sangat jelas. Sangaaaat jelas. Wajah pucat, suara saja parau begitu. Nekat banget dateng ke sini," Dewo menjelaskan keadaan Giyanta yang saat ini terpampang di hadapannya.

"Aku masih bisa menahannya. Ini ga separah kelihatannya kok."

Here we go again, pikir Dewo sembari memasang senyum. Ia tidak suka ketika rekannya tidak terlihat baik-baik saja tetapi tetap memaksakan diri untuk kerja. Percayalah, memilih untuk bekerja waktu sakit tidak membuat mereka cepat sembuh, yang ada sakitnya akan makin parah. Maka dari itu, untuk memastikan klaim Giyanta, pria berbadan besar tersebut mencoba menyentuh keningnya.

Seperti perkiraan, kawannya sedang demam.

"Aku serius, Mas pulang aja atau mau minum paracetamol?" Giyanta menggeleng sebagai respon dari perkataan dengan nada mengancam dari Dewo.

"Huh, sebaiknya aku pulang saja," ia memutar badan hendak pulang, akan tetapi kembali lagi pada temannya ketika teringat tujuan awalnya masuk kerja, "Tapi pembuatan storyboard-nya bagaimana?"

"Arahan dari Mas udah sangaaat jelaaas, jangan dibawa khawatir berlebihan. Kalau gak sesuai dia selalu siap untuk merevisi dan di sini ada aku," sang pemilik PH sendiri meyakinkan Giyanta bahwa proyeknya akan baik-baik saja walaupun ia mengambil satu hari untuk istirahat.

"Ah. Oke. Terima kasih," setelah yakin, ia benar-benar memutar balik badannya untuk menuju pintu keluar. Tidak bisa disembunyikan memang, Dewo bisa melihat kawannya berjalan sempoyongan.

"Perlu aku antar pulang naik mobil?"

"Engga perlu. Makasih banyak ...," Giyanta menjawab tawaran itu dengan lirih.

"Tapi sepertinya bahaya kalau naik motor."

"Aku ga bisa naik mobil. Lagipula ini masih bisa ditahan," Pria itu menolak tawaran Dewo untuk diantar naik mobil.

"Baiklah, hati-hati. Nanti akan aku sampaikan ke yang lain."

"Aku menunggu laporanmu."

Mendengar Giyanta mengatakan kalimat yang biasa ia katakan, Dewo terkekeh, "Hati-hati Pak Sutradara. Oh, astaga, kenapa mukamu jadi merah?" Pria itu berlari kecil ke parkiran. Itu pasti karena dirinya tersipu, bukan demam. Selanjutnya, ia berkendara dengan perlahan kembali menuju rumah.

Sejujurnya, ia ingin mempercepat motornya karena ingin segera merebahkan kepalanya ke bantal tetapi demi keselamatan dirinya, lebih aman seperti ini.  Lagipula Dewo benar, seharusnya dia tidak perlu nekat masuk. Maka, begitu ia sampai rumah, Giyanta langsung merebahkan diri ke sofa, tentunya setelah cuci tangan dan cuci kaki. Pria itu juga tidak berniat melepas hoodie abu-abunya karena merasa kedinginan.

Waktu telah menunjukkan pukul 13.15. Marendra turun dari bus sekolah sendirian karena kedua kakaknya punya agenda sendiri dan Surajana, ia tidak melihatnya naik bus arah sini, sepertinya pulang bersama ayahnya.

"Marendra!" Hera yang sedang merapikan kebun menyapa anak itu.

"Siang, Tan," Marendra pun membalas dengan nada cerah, "Permisi, ya."

"Silakan, silakan." Perempuan berambut panjang pirang tersebut juga membalas senyumannya. Saat ia berjalan masuk, suatu pemandangan ganjil membuat kakinya berhenti melangkah sebentar.

The CureWhere stories live. Discover now