Alasannya Belum Diketahui

16 6 1
                                    

Kali ini mata Marendra dan  Antonio benar-benar saling bertemu setelah sebelumnya anak yang lebih muda menangkap beberapa kali lirikan tajam kakaknya. Ia segera melemparkan tanya, "What?"

"Kamu ambil kelas tambahan apa?" akhirnya Antonio memutuskan untuk bertanya. Dia butuh informasi dan belum punya seseorang yang dekat. Mosha? Tidak, setelah sadar latar belakang anak yang entah bagaimana sering muncul di hadapannya sejak hari pertama, Antonio memilih untuk menghindarinya.

"Kelas seni, desain. Sebentar," Marendra kini melihat ke layar jam tangan yang sudah menampilkan jadwalnya, "hari Kamis." Mendengar jawaban itu, Antonio hanya mengangguk. Sampai sekarang ia belum memutuskan akan ikut kelas yang mana. Lingkungan baru, sebaiknya ia mengenal sekitarnya dahulu sebelum benar-benar terjun.

"Kenapa ga tanya aja sama teman kakak yang itu?" pertanyaan tiba-tiba Marendra membuat saudaranya itu terdiam lalu menatapnya.

"Untuk apa? Aku gak penasaran sama pilihan orang lain." Sebagai respons, Marendra memiringkan kepala lalu menunjuk dirinya sendiri. Antonio berdecak dan mengerlingkan mata, "You think you are stranger in my eyes?"

"Probably," anak paling muda di keluarga Gardapati itu mengangguk, "Aren't we supposed to act like that?"

"You're annoying," kakaknya membalas dengan nada sebal.

"Yeah, you too ... more," Marendra memberikan balasan dengan nada rendah.

"Weird."

"U too."

Seperti hari-hari lainnya, setelah makan di meja yang sama, Marendra dan Antonio pergi ke arah yang berbeda. Antonio langsung bergerak ke perpustakaan sementara Marendra berjalan ke arah ruang kesenian. Keadaan mereka jelas berbeda jauh dengan Irawan dan Jati. Dua anak tertua Giyanta makan bakso bersama di kantin sebelum mereka melanjutkan kelas. Mereka duduk di meja yang sama, saling berhadapan.

"Dia belum masuk juga?" Irawan bertanya pada Jati setelah menelan baksonya.

"Siapa?" Jati menelan makanannya sebelum lanjut menebak nama yang ditanyakan kakaknya, "Willy?"

"Hmm, kalian 'kan satu kelas tiap jadwal musik."

"Dia bolos."

"Lagi?"

"Lagi," Jati mengangguk sebelum menggigit bakso lagi, "Mungkin itu artinya dia ga bisa kakak temui kedepannya. Lagian kenapa kakak kerja sama dia juga sih? Bukannya udah bagus buat aransemen orkestra sama Kak Yohan?"

"Kalau dia janji bakal selesaikan itu, pasti akan selesai," Irawan mengutarakan alasannya tetap mempercayai si Pembolos tersebut, "Sembodo sih."

"Sistem sekolah sudah milih pelajaran sendiri sesuai keinginan, tapi masih ada yang bolos. Bukannya kebangeten ya?" anak kandung pertama Giyanta itu memainkan garpunya di udara sembari tangan lain menopang dagu dan menatap lawan bicaranya dengan sorot mata yang meminta persetujuan atas pernyataannya barusan.

"Kita cukup beruntung sih dididik sama Papa yang cukup bebas soal pilihan kita. Sayangnya ga semua orang tua begitu ...," anak tertua di keluarga Gardapati itu menghela napas lalu menatap mangkoknya yang sudah kosong, "dan juga ga semua anak ngerti apa tujuan mereka kedepannya."
Ia kembali tenggelam dalam pikirannya dan menelusuri keinginan terdalamnya.

Sebenarnya, ia ingin ke mana setelah ini?

Antonio saat ini tidak banyak bicara, akan tetapi tangannya terus bergerak di atas jam tangan layar sentuhnya. Karena masuk dipertengahan semester, ia tidak sempat mempelajari semua fungsi yang ada di sana. Ia juga kurang mengerti mengapa sebuah sekolah memfasilitasi anak didiknya jam tangan digital yang hanya aktif di area sekolah.

Apa istimewanya?

Sudah ada 5 menit ia duduk di sana. Antonio perlahan dapat memahami kalau aplikasi yang ada di sana akan terintregasi ke sistem sekolah. Jadwal, panggilan darurat, catatan buku pinjaman, catatan kemajuan belajar, rapor digital dan masih banyak fitur yang memang khusus ada untuk keperluan pendidikan.

"Menarik," gumamnya sembari terus mempelajari semua yang ada di sana.

"Kak Antonio?" sapaan yang terdengar pelan ditengah keheningan perpustakaan membuat Antonio melirik sebentar. Setelah tahu siapa yang memanggilnya, ia mengerlingkan mata, mendengus, lalu kembali melihat ke arah jamnya.

Anak itu lagi.

Ia sudah berharap akan melalui satu hari tanpa melihat wajah Mosha. Sepertinya itu sia-sia karena Mosha sudah berdiri di seberang tempat duduknya.

"About that ... you can read all the features on the manual book inside the box. Wait, kelihatanya belum baca. Oh, you ...."

"I know, there is a tutorial mode on the setting. Shut up, please?" Antonio tetap berbicara dengan pelan walau agak tegas di akhir, "Kita ada di perpustakaan."

"Yeah, right, sorry. It just ... usually I sit there, Kak," Mosha menjelaskan dengan lirih alasannya berdiri di sini. Akan tetapi penjelasan itu tidak membantu banyak. Antonio berhenti melihat jam tangannya dan kini menatap lawan bicaranya tajam sembari mengangkat alis.

"I see, memang ga ada bedanya anak-anak konglomerat itu, termasuk kamu. You're the son of Danendra of course you can have everything you want including this place. Who am I to resist your wish, Prince?" meski pelan, Mosha bisa merasakan kebencian yang menguar dari Antonio. Ia benar-benar tidak menyangka bahwa lawan bicaranya akan merespons seperti itu.

"Eh, that's not what I meant it. You just can sit there, Kak. Actually , I'm fine with anyone sitting there," anak itu kemudian duduk di kursi lain yang tidak jauh dari sana sembari menundukkan pandangan. Antonio mendengus dan kembali melihat jam tangannya sementara Mosha membuka buku sembari mencicit, "Sorry." Sepuluh menit berlalu dengan tenang. Hanya ada suara kertas buku yang dibolak-balik serta detak jam. Akan tetapi setelah perdebatan kecil tadi, baik Antonio maupun Mosha tidak benar-benar fokus dengan apa yang ada di hadapannya. Mereka menyimpan pertanyaan satu sama lain tetapi terlalu malas untuk mengungkapkannya.

Sampai akhirnya Antonio berdeham, "Kenapa kamu selalu ikut campur urusan orang?" Suasana hening karena Mosha, yang sebenarnya target pertanyaannya, hanya melirik. Karenanya anak kandung termuda Giyanta itu menghela, "You won't answer it?" 

"Oh? Aku? Sorry, I'm not. I just want to help. Itu bukan ikut campur," Mosha akhirnya menjawab sembari kembali menatap mata lawan bicaranya.

"Really? Just that?" lagi-lagi Antonio mengangkat alis, kali ini karena sangsi terhadap jawaban lawan bicaranya.

"Yeah. Why? Did you accuse me of stalking you?" Mosha tertawa kecil, "Nah. Our meet is fate. Ini ga seperti aku sengaja buat ketemu kaka di sini. But, hey, I just want to help, once again." Antonio mengerutkan dahi. Bisa-bisanya anak di depannya ini bilang bahwa pertemuan mereka adalah takdir.

Oh, dia jadi merinding. Takdir apanya?

"Well, I have said all the truth. I'm not that person who always bump into other people's problem. I guess yours it's a special case, Kak." Mosha tersenyum dan menutup bukunya.

"Special case?"

"Jam istirahat telah berakhir. Anak-anak dimohon untuk segera kembali ke kelas masing-masing."

"Oh, gotta go," Mosha berdiri dari tempat duduknya dan menatap Antonio, "and in case you haven't read the manual book yet, don't ever try to take off that watch inside the school zone or you will get a problem with loud beep noise. See ya." Senyum Mosha sebelum menghilang dari pandangan Antonio terasa hangat dan familar. Seyuman itu mampu membuat Antonio membeku ditempat. Selama ini ia tidak melihat ekspresi itu ditujukan padanya oleh orang-orang selain ayah, kakek, nenek dan kakak-kakaknya.

Mungkin dalam sejarah hidup Antonio, Mosha adalah orang pertama, selain mereka, yang memberikan senyuman tulus padanya.

Tetapi, mengapa?

The CureWhere stories live. Discover now