Teguran Untuk Rahandika

15 5 0
                                    

Rahandika yakin ingatannya benar. Seharusnya pada hari Jumat Surajana sudah pulang jam setengah satu tadi. Anehnya, saat dia masuk ke rumah, dirinya tidak menemukan tanda kehadiran anak semata wayangnya.

"Jana? Surajana? Kamu ga lagi main petak umpet sama Papi 'kan?" pria berambut kemerahan itu mencari-cari anaknya dengan berkeliling rumah. Sekali lagi melihat ke dapur, ruang tamu, kamar Surajana sendiri kemudian kembali melihat ke kamarnya sendiri. Hasilnya nihil, panggilannya pun tidak bersahut.

Di mana sebenarnya Surajana?

"Jana, ayolah, jangan jahil seperti ini. Kamu ga mau keluar makan 'kah? Papi beliin apa yang kamu mau deh sekalipun itu sushi lagi," kali ini ia menambah helaan napas karena tentu saja, siapa yang akan tenang kalau belum melihat batang hidung anaknya sejak pertama menginjakkan kaki setelah seharian mengurus pekerjaan?

Rahandika terdiam sebentar untuk menggali kembali ingatannya tentang Surajana, apakah anaknya berpesan sesuatu padanya.

"Ah astaga! Benar juga. Dia tadi bilang bakal pulang sore," sejurus kemudian ia menepuk jidatnya dan merutuki diri.

Mengapa ia perlahan jadi seperti Giyanta yang pelupa? Selanjutnya, ayah Jana itu kembali menyambar kunci mobilnya untuk berkendara lagi ke sekolah Jana. Sementara itu, Surajana sedang bersandar pada pagar pembatas sekolahnya. Setelah selesai menunjukkan gerakan dance pada Yodha, temannya itu langsung dijemput oleh supir dan pergi untuk menghadiri les. Sebenarnya, Yodha menawarkan tumpangan pada Jana, hanya saja sebelumnya dirinya sudah berpesan pada ayahnya agar dijemput sore. Kebetulan sekali! Ayahnya memang tidak bisa menjemputnya pada siang hari karena harus bertemu dengan Pak Agung, ayahnya Sentana, dan sudah berjanji akan menjemputnya jam 3. Akan tetapi sekarang sudah jam setengah 4, mungkin harus menunggu sedikit lagi.

Sedikit lagi sampai dia jadi sendirian di sekolah.

Sekali lagi Jana menghela napas. Ia mempertimbangkan harus meminta bantuan pada satpam atau tidak.

Tin!

Tiba-tiba mobil Range Rover putih berhenti di seberang tempatnya berdiri. Untuk memastikan siapa pemilik mobil itu, ia segera mengecek plat nomornya.

"Ah, bukan AB 6287 RH. Bukan Papi," gumamnya sedikit kecewa.

Saat itulah, sang pemilik mobil sebenarnya menghampiri Jana, "Surajana lagi nunggu ayahmu?"

Tentu saja Surajana sangat mengenali suara perempuan itu. Lagi-lagi Tante Hera menemukannya sendirian di balik pagar sekolah. Segera ia menjawab, "Iya Tan. Harusnya udah dijemput setengah jam lalu."

"Oh, astaga, ayahmu lupa?" Hera menaruh perhatian pada Jana.

"Entah Papi lupa atau memang belum pulang," anak itu menghela napas.

"Mau ikut tante aja? Nanti di mobil telepon Papimu dan bilang kalau udah pulang," perempuan berambut pirang itu menawari bantuan lagi pada Jana. Tentu saja bersambut baik, Surajana yang sudah lelah menunggu memilih pulang bersama Hera.

"Ayo masuk." Setelah dibukakan pintu, Jana langsung masuk ke mobil kemudian menutup pintu. Hera masuk ke bagian kemudi dan mengarahkan layar head unit mobilnya yang terhubung dengan ponselnya untuk menelepon Rahandika.

"Ketikkan nomor ayahmu di sini. Kita langsung pulang ya?" Jana mengangguk dan mulai mengetikkan nomor telepon ayahnya sesuai ingatannya. Setelah menunggu beberapa lama, yang ia dapat adalah telepon yang tidak tersambung.

"Ah, sepertinya dia ga mengangkat telepon dari orang asing. Tante lupa ayahmu ga punya nomor tante, ya," Hera baru menyadari kalau nomor teleponnya tentu masih asing bagi orang yang ingin dihubungi, "Coba telepon lagi."

The CureWhere stories live. Discover now