Akhir Pekan Biasa

15 5 1
                                    

Marendra menatap ayahnya yang sudah bersiap di atas motor dengan tatapan sedikit ragu, "Papa beneran ngajak kita ke mall?"

"Ya beneran lah," pria berusia 39 tahun itu menjawab sambil tertawa, "Papa butuh liburan juga sebelum benar-benar kerja keras."

"Memang yang kemarin itu belum kerja keras?" sebagai balasan untuk pertanyaan Marendra, Giyanta menggeleng lalu tersenyum.

"Pa, tapi ga apa kah kalau aku yang naik motor sama Papa?" lagi-lagi Marendra bertanya.

"Ya ga apa-apa, lah. Kakak-kakakmu biar naik bus kota. Ayo naik, Mar."

Klak!

Mesin motor menyala, meraung seakan memanggil Marendra untuk turut serta. Sebenarnya anak itu meragu karena ia tidak ingin dianggap sebagai anak angkat yang manja oleh Antonio, setidaknya hanya narasi itu yang bisa ia pikirkan saat ia melihat sorot mata si kakak ketiga padanya beberapa saat lalu. Tetapi sudah lewat juga, saat ini Antonio sudah sampai di halte bersama Irawan dan Surajati. 

"Mereka sudah dapat bus. Kita berangkat!" Anak bungsu Giyanta itupun menyerah dalam pergelutan pikirannya, ia naik ke atas jok motor dan segera berpegangan pada sang ayah. Sementara itu, di dalam bus, Irawan, Antonio dan Surajati duduk sejajar, akan tetapi semuanya diam. Irawan melempar pandangan pada Surajati yang duduk di ujung yang lain. Sebagai respons atas tatapan kakaknya, anak itu mengangkat alis.

"Kalian berdua kalau mau bicara ya lakukan saja," tiba-tiba Antonio bersuara tanpa melirik kedua kakaknya sekalipun.

"Ah, engga kok," Irawan kembali duduk bersandar di kursinya lalu melihat ke arah jalan. Surajati menarik napas dan menatap ke arah Antonio. 

Ia tahu kakaknya itu tidak begitu pandai memulai pembicaraan dengan adik kandungnya, jadi Jati yang akan memulai, "Honestly, I thought we'll meet again next Christmas."

"Honestly, I thought last Christmas will be the last time I see you. Coming home wasn't my first choice," Antonio menjawab tanpa melihat wajah kakaknya, "I want to ... I don't know. Maybe live alone?"

"Why?" Jati makin mendekatkan dirinya pada adiknya.

"No family wants to raise a troublemaker, right? Meskipun Mbah Uti sama Mbah Kakung terlihat baik-baik saja, guess I caused a lot of trouble. Huh, it just ... there are no schools that believed me. People with connections and wealth always win," anak kandung kedua Giyanta mengendikkan bahu lalu berdecak, "I don't surprised that Papa running to pick me up but the system of my new school ... quite interesting... semoga aku ga terlalu cepat menilai."

"Sepertinya sekolah-sekolah dibawah yayasan itu memiliki sistem yang berbeda dari sekolah lain. Mereka punya sistem penanganan masalah antar siswa yang sangat baik," Irawan tiba-tiba saja bergabung dalam percakapan mereka berdua. Sontak saja hal itu membuat Antonio dan Jati secara bersamaan melempar pandangan pada kakak mereka itu.

"Huh? Oh, sorry, maaf, aku ga bermaksud me ...."

"Sekolah itu milik keluarga konglomerat, ya?" Antonio memotong permintaan maaf Irawan dengan pertanyaan, "Tepatnya keluarga Danendra." Irawan dan Surajati memberikan anggukan sebagai balasan.

"Kalau begitu aku memang terlalu cepat menilai."

"Perhentian selanjutnya, Halte Grand City Mall." Suara perempuan dari pengeras suara dalam bus mengumumkan perhentian selanjutnya.

"Sepertinya itu tujuan akhir kita?" tanyan Antonio yang sudah berdiri terlebih dahulu pada kakak-kakaknya.

"Ya, benar," sahut Irawan yang juga berdiri kemudian disusul oleh Surajati. Saat bus berhenti di halte dan pintunya terbuka, mereka bertiga turun. Giyanta dan Marendra yang mengendarai motor juga sudah sampai di tempat. Mereka sedari tadi mengikuti bus tersebut.

The CureWhere stories live. Discover now