Selasa Bersama Marendra

21 6 0
                                    

Srak... Srak...

Giyanta memimpin paling depan dalam penyusuran lokasi untuk pengambilan gambar video musik. Saat ini mereka mengunjungi hutan pinus dan mencari bagian mana yang paling cocok dengan konsepnya.

"Jika kita mau membuat konsep 'dari panggung teater ke dunia nyata' sepertinya setting panggungnya yang akan mengikuti setting dunia nyata. Jangan mempersulit diri, kita cari view yang paling mudah di re-create saja," pria itu mengarahkan tim yang bekerja bersamanya.

"Kami ngikut Pak Sutradara aja yang bagus di mana," salah satu anggota tim properti yang berada di belakang Giyanta menyahut.

"Jangan ngikut aku, kalian susah nanti," ia tertawa tipis mengingat orang-orang yang akan bekerja bersamanya bisa jadi terpelanting sendiri kalau mengikuti ego perfeksionisnya. Dia tetap perfeksionis, tapi realistis dan tidak membuat timnya kapok bekerja dengannya itu juga penting.

Kalau tidak, mungkin Giyanta bisa saja tidak ikut semua acara hunting lokasi mereka.

Saat ini, masing-masing dari mereka menyalakan fitur kamera di ponsel. Giyanta juga melakukannya karena ingin mendapat bayangan bagaimana nantinya kamera mengambil gambar dan juga transisinya dengan lokasi yang berada di panggung teater nanti. Ia mengarahkan ponsel ke satu titik.

"Oh? Ini bagus," ia menggumam selagi mengagumi pemandangan di hadapannya. Cahaya terik matahari masuk melalui celah dauh pinus. Dramatis! Ini lokasi yang dia inginkan. Akan tetapi, belum juga Giyanta bisa mengabadikan lokasi tersebut, panggilan telepon dari anak bungsunya menginterupsi.

Untungnya, ia punya stok kesabaran yang banyak.

"Ada apa, Nak?" ia langsung saja mengangkat panggilan itu. Giyanta sangat tahu Marendra akan berujung merajuk kalau dirinya tidak segera menjawab. Sementara itu, beberapa anggota tim agak terkejut mendengar Giyanta menyapa anaknya. Rupanya mereka lupa sesaat kalau sutradara mereka adalah duda yang memiliki anak lebih dari satu.

Rupa dan tingkah Giyanta yang seperti laki-laki berumur 20 tahun kadang menipu sekitarnya.

"Pa, aku mau ikut Papa kerja boleh? Kalau aku pulang juga ga ada siapa-siapa di rumah," Marendra mengatakan itu dengan ceria. Tadinya Giyanta mau menolak karena jarak hutan pinus dan sekolah Marendra bisa dibilang sangat jauh. Namun, setelah meresapi nada ceria anaknya ia tidak bisa menolak. Selain itu dirinya tidak ingin membuat Marendra merajuk seharian.

"Tapi kamu nunggu agak lama ga apa 'kan? Nanti Papa jemput. Kamu bisa ikut Papa nanti lihat rancangan kostum," Giyanta membalas keinginan anaknya dengan memberikan pengertian juga bahwa dia mungkin akan sangat terlambat dalam menjemput Marendra.

"Oke, ga apa, Pa. Aku tunggu." Pria 39 tahun itu lega ketika anaknya bisa memaklumi keterlambatannya nanti.

"Iya, tunggu ya nanti."

"Iyaaa, Papaku yang paling ganteng sedunia." Giyanta tidak bisa menahan senyumnya ketika mendengar pujian anaknya, walaupun ia tidak tahu Marendra benar-benar tulus atau karena anak itu mendapatkan apa yang ia inginkan darinya. Setelah Anak Bungsu Giyanta menutup sambungan, barulah ia kembali fokus pada pekerjaan. Cepat-cepat pria tersebut mengambil beberapa gambar dari titik yang nantinya ingin ia jadikan sebagai lokasi pengambilan gambar. Setelahnya, Giyanta berkumpul bersama tim untuk mendiskusikan pemandangan yang paling bagus dan bisa dibuat ulang oleh tim penata panggung dan properti.

"Bagian yang diambil Pak Sutradara bagus. Sepertinya bisa dikerjakan, kita masih punya banyak waktu," koordinator tim properti membuka suara setelah berdiskusi juga dengan timnya.

"Kalau begitu benar kalian setuju dengan view ini? Tim setting panggung bagaimana? Sepertinya panggung gedung teater yang kemarin kita setujui cukup luas dan cocok untuk ini," Giyanta berusaha mengomunikasikan semuanya dengan tim. Ia tidak mau kalau saat ini mereka 'iya-iya' saja tetapi kesulitan di belakang.

The CureTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang