Naskah Kejujuran

23 6 4
                                    

Surajati menarik napas, mengacak rambutnya sesekali, kemudian kembali melihat tab-nya. Tangannya kembali mencorat-coret di kertas buramnya, mengalikan, mengurangi serta mencari akar dari angka yang tertera. Namun, tidak ada jawaban yang sama dengan hasilnya.

"Jati, Irawan, kamu mau minum teh?" tanya Giyanta dengan berseru dari dapur. Sontak kedua anaknya yang sedang berada di ruang keluarga karena sedang belajar bersama langsung menengok ke arah yang sama.

"Kamu mau minum dulu?" tanya Irawan pada adiknya yang rambutnya terlihat acak-acakan efek mengerjakan soal matematika.

"Boleh deh, baru setelah itu kembali ke soal ini. Aku heran kenapa ada matematika peminatan di dunia ini sedang aku ga bener-bener minat," Jati mengeluh, kakaknya tertawa melihat kekesalan adiknya.

"Ga ada teh tarik, Pa?" Marendra yang sudah siap di meja makan memesan varian lain pada ayahnya.

"Teh tarik agak sulit ya. Papa buat milk tea aja. Kalian berdua mau?" Giyanta tidak lupa menawarkan pada dua anaknya yang baru saja duduk.

"Oke, milk tea ga buruk, kok," Marendra menyetujui tawaran ayahnya.

"Aku mau," Jati menjawab dengan antusias.

"Aku teh biasa aja, Pa. Mau aku bantu?" Irawan berniat untuk bangkit dari posisi duduknya.

"Ga perlu. Kalian duduk aja," setelah berkata seperti itu, Giyanta sibuk menyiapkan dua gelas milk tea dan dua gelas teh.

"Kamu di kamar belajar 'kan? Bukan main game?" Irawan menginterogasi adik bungsunya yang memang sedari tadi berdiam di kamar.

"Aku belajar kok. Tapi tadi aku sambil chatting-an sama teman-temanku," Marendra menjawab dengan jujur.

"Kamu belajar sambil main HP?" si Anak Sulung menatap Marendra lekat-lekat sambil mengernyitkan dahi.

"Mereka punya info bagus. Katanya ada DJ cewek mau pindah ke perumahan kita Parangkusumo, di gang Truntum. Satu-satunya rumah kosong tentu yang ada di sebelah kita. Aku sudah lihat fotonya, cantik banget. Jadi ga mungkin minder sama Papa yang kadang cantik juga," rupanya info itu bisa mengubah ekspresi kedua kakaknya. Mereka memajukan badan ke arahnya.

"Kalian penasaran ya? Aku ga mau nunjukkin," Marendra menjulurkan lidah dan tertawa setelahnya, "kalian lihat sendiri. Mungkin besok."

"Sejak kapan kamu jadi bandar gosip gini?" Surajati tertawa. Hal tidak biasa mendengar Marendra yang cuek tiba-tiba mengantarkan berita seperti malam ini.

"Ini bukan gosip. Di kelasku 'kan ada anak pemilik perumahan. Dia sendiri yang bilang," Marendra membela dirinya dan informasi yang ia bawa.

"Iya deh, iya," setelah mendengar itu, Jati tertawa kecil. Ia menahan diri untuk tidak mencubit pipi adiknya yang saat ini sedang cemberut.

Dalam hal ini, Irawan dan Jati setuju kalau Marendra malah menggemaskan saat ia merajuk. Bahkan Giyanta harus memiliki rasa tega untuk menolak rajukan anak bungsunya.

"Ada apa? Kenapa kamu cemberut Mar?" ayah mereka datang dengan dua gelas milk tea di saat percakapan mereka terhenti.

"Kita bakal punya tetangga di sebelah rumah persis," Marendra jadi semangat dan menanggalkan wajah cemberutnya ketika ayahnya bertanya, "Oh, makasih tehnya, Pa."

"Berarti rumah tepat sebelah kita yang udah lama kosong? Oh, pantas tadi kayaknya ada yang bersih-bersih rumah itu," Giyanta mengingat-ingat apa yang terjadi tadi siang di rumah sebelah sembari memberikan gelas berisi milk tea pada Jati, "Ini punyamu."

"Makasih, Pa. Ini enak," komentar Surajati setelah mengicipi minumannya. Pria itu kembali ke dapur untuk mengambil gelas berisi teh untuk Irawan.

"Ini punyamu," Giyanta memberikan itu pada anak sulungnya.

The CureWhere stories live. Discover now