Mimpi Buruk

16 7 0
                                    

Siang yang terik ketika Marendra melangkahkan kaki keluar gerbang SMP-nya. Sinar matahari menyoroti wajahnya tanpa permisi sehingga ia harus menghalanginya dengan tangan, kalau tidak sebentar lagi pasti wajahnya memerah seperti kepiting rebus. Tiba-tiba dari arah kiri, ia mendengar sayup-sayup suara seorang bocah memanggil namanya.

"Kak Marendraaaaa!" sosok itu mendekat dan makin jelas. Sesungguhnya dari suaranya saja Marendra sudah tahu siapa pelakunya.

"Nanti kita bisa ketemu di bus. Kenapa harus ketemu aku di sini?" tanyanya pada Surajana yang kini berdiri dihadapannya dengan semangat, berbeda dengan dirinya yang sebenarnya sudah sangat ingin merebahkan diri di lantai ubin rumahnya yang dingin.

"Aku ga mau Kak Marendra kabur," jawab anak itu masih bersemangat. Marendra jadi heran, bagaimana bisa ada anak yang masih punya energi setelah hari-hari melelahkan di sekolah.

"Tenang aja, aku ga akan kabur ke mana-mana. Aku selalu pulang ke rumah kok," anak bungsu dari keluarga Gardapati itu tersenyum pada lawan bicaranya. Begitu bus berwarna kuning berhenti di depan halaman SMP. Tanpa kata, Surajana menarik tangan Marendra untuk mengajaknya berlari masuk ke bus. Ia bahkan yang mengajaknya duduk langsung di kursi yang dekat dengan pintu keluar. Sementara anak yang lebih tua mengatur napas, anak laki-laki yang lebih muda malah duduk tenang sembari memeluk tasnya juga tidak lupa menjaga senyumnya. Sebelumnya mereka memang sudah memiliki janji, Marendra akan berkunjung ke rumah Surajana untuk bermain PlayStation. Jana sangat bersemangat karena Marendra adalah orang pertama yang menyanggupi ajakannya untuk bermain. Apa lagi ia tahu tetangga barunya memang suka video game.

Sepanjang perjalanan, Marendra lebih banyak diam dan melihat ke luar jendela. Jana yang tidak suka ketenangan canggung di antara mereka mulai mencari topik pembicaraan, "Kakak dari kapan suka Kirby?" 

"Dari kapan ya ...," Marendra tidak langsung menjawab. Ia memanggil kembali ingatannya sejak kecil sampai pada suatu titik, "Mungkin sejak aku mendapatkan Nintendo pertamaku. Hadiah pertama dari Papa. Waktu itu karena aku ga bisa ke mana-mana dan masih canggung sama Papa jadi cukup membantu sih."

Jana mendengarkan dengan saksama, kemudian mengerutkan kening pada kalimat terakhir, "Masih canggung? Ada apa?" 

Anak bungsu Giyanta membelalakkan matanya, tersadar bahwa ia memberikan terlalu banyak informasi pada Jana. Berbohong itu tidak baik, maka karena sudah terlanjur keceplosan dan kedepannya ia akan berteman baik dengan anak itu, tidak ada salahnya mengatakan yang sebenarnya. 

"Aku anak angkatnya," Marendra mengatakan itu sambil tersenyum. Jana mengangguk-angguk tanda memahami informasi yang barusan masuk ke otaknya.

Oke, jadi, Marendra bukan anak kandung Pakde Giyanta.

"Jadi itu awal mulanya. Selain Nintendo bisa main apa lagi?" tanya Jana.

"Aku belum pernah main PlayStation sih. Mungkin nanti kamu bisa tunjukkan aku beberapa game?" anak yang tadinya tidak bersemangat kini menunjukkan ketertarikannya pada permainan di PlayStation, "Tapi tetap pegang janjimu."

"Kakak yang harus pegang janji buat pinjamkan aku Nintendo-nya," Jana memutar perkataan Marendra dan itu membuat dirinya tertawa kecil.

"Aku bagus dalam menepati janji. Tenang saja."

Begitu bus menurunkan mereka di depan gang rumah. Baik Marendra maupun Jana cepat-cepat mengganti seragam mereka dengan pakaian rumahan, kaos dan celana pendek. Sebelum keluar rumah lagi Marendra mengambil Nintendo Switch-nya di atas meja belajar.

"Kamu mau keluar lagi? Udah makan siang?" Giyanta yang menangkap gerak gerik anaknya segera menegur.

"Nanti aku makan di rumah Surajana! Aku main dulu, Pa," setelah melambaikan tangan pada ayahnya, Marendra langsung keluar rumah dan menuju depan pintu rumah keluarga Jayantaka.

The CureWhere stories live. Discover now