Revisi

13 4 1
                                    

Giyanta bertepuk tangan melihat hasil akhir dari video musik pendek yang ia kerjakan bersama timnya.

"Semoga Juanna dan agensinya juga puas sama hasil ini. Makasih banyak semua atas kerja samanya," pria jakung itu kemudian membungkukkan badannya di depan orang-orang yang bekerja bersamanya.

"Semoga ini revisian terakhir dari pihak agensi," celetuk salah satu wanita yang bekerja sebagai editor video tersebut.

"Ini pertama kalinya aku bekerja dengan mereka walau ga sebagai sutradara. Ternyata masih ada yang lebih perfeksionis dari pada Giyanta," Dewo juga ikut menanggapi sembari merangkul kawannya itu.

"Wajar 'kan? Dari pada kesalahannya ditemukan oleh netizen, lebih baik revisi berkali-kali," balas Giyanta yang disambut sorakan kecewa dari tim editing.

Mereka hanya bercanda, makanya pria itu hanya tertawa sebagai tanggapan sebelum kembali berbicara, "Ga ada revisi lebih baik."

"Kirim dulu file-nya ke pihak agensi, Mas. Biar kalau misal ada revisi ga mepet. Ini udah tanggal 15, besok sore sudah harus diunggah ke YouTube," Dewo mengingatkan Giyanta langkah selanjutnya.

"Oh, iya, benar. Jangan bahagia dulu," Giyanta kembali duduk di mejanya dan menatap laptopnya. Ia pun mengirim kembali konten musik video promotional pada tim Juanna dan berharap mereka sudah puas seperti dirinya.

Giyanta menghela napas kemudian menatap tim editing yang belum angkat kaki dari ruangan Dewo dan dirinya, "Kalian ga makan sore dulu? Jangan ditungguin balesan dari mereka. Tinggal makan aja dulu." Dengan itu, satu persatu dari mereka memutuskan untuk pergi mencari makan hingga akhirnya tersisa dua pria di ruangan tersebut.

"Wah, aku belum melihat Mas mengeluh sedikit pun dari awal pengerjaan sampai hampir final. Padahal dari pihak agensi minta revisi 4 kali dari Selasa lalu," Dewo kini berdiri tepat di depan meja kawannya, "Itu rekor untuk kita. Biasanya 3 kali sudah paling banyak."

"Aku malah suka kalau mereka benar-benar teliti. Arahannya juga jelas, bukan hanya asal suruh revisi. Kalau ada proyek lain buat mereka, aku ga akan keberatan ambil," Giyanta menjawab sembari tersenyum. Dewo mengangguk, lalu tersenyum juga, ia tahu bahwa dirinya sudah benar dengan memberi kepercayaan pada Giyanta dari awal. Sekarang ini jika pihak agensi puas, maka production house mereka akan menjadi salah satu jajaran yang dipercaya.

"Mungkin ga suatu saat kita kerjain MV-nya Noa, Mas?" angan-angan Dewo itu langsung disambut senyuman besar oleh Giyanta.

"Dilihat dari saat ini, mungkin aja bisa. Secara realistis," pria itu mengendikkan bahu lalu tertawa. Noa seorang diva besar di negara ini, lebih senior dari Juanna juga. Tentu itu suatu kebanggaan bisa bekerja dengannya.

Bisa bekerja dengan Juanna saja tadinya Giyanta tidak berani memimpikan itu, apalagi Noa.

"Tapi Mas cepet deket sama Juanna ya? Ga biasanya. Kemarin sama Pak Eka aja lama bisa deket," pertanyaan dari Dewo itu membuat Giyanta langsung menatap lawan bicaranya.

"Oh, ya? Kelihatan gitu, ya? Tapi Juanna sendiri memang ramah kok sama semua staff dan orang yang bekerja sama dia."

"Iya. Hm, tapi kata manajernya ada yang beda waktu sama Mas Giyanta. Entahlah tapi aku juga ga paham maksudnya gimana," Dewo mengendikkan bahu. Sebagai respons, pria berambut panjang itu tertawa dan menggeleng. Menurutnya Juanna memang ramah dengan semua orang. Ia tidak melihat ada yang beda saat perempuan itu berinteraksi dengannya atau dengan orang lain.

"Perasaan dia aja mungkin. Ah, kita harus cari makan dulu sambil nunggu kabar," Giyanta menyambar kunci motornya lalu kembali menatap Dewo, "Mau titip? Aku mau beli kwetiau."

"Aku titip juga. Nanti aku kabari kalau ada balasan dari Swara Mahardhika." Pria itu memberikan jari jempolnya pada temannya dan melangkah ke luar.

Rahandika melangkah ke dalam lorong tempat ruangan studio tari yang dipakai oleh anaknya bersama teman-temannya. Pintunya masih tertutup rapat sehingga ia menggunakan keuntungan, badannya yang tinggi, untuk mengintip.

"Mereka masih latihan, ya?"  pria itu menghela napas. Ia baru saja hendak berbalik arah ketika Eka membuka pintu, "Pak Rahandika! Masuk aja sini." Rahandika langsung masuk ke ruangan studio dan menatap satu-satu teman-teman anaknya yang sedang berlatih sendirian, lalu tersenyum.

"Istirahat sebentar anak-anak," Eka menghentikan kegiatan mereka, "Om Rahandika bawa sesuatu buat kalian."

"Ah, iya, Om bawa pizza buat kalian," pria berambut merah itu masih tersenyum dan mengangkat bawaannya berupa dua box pizza yang ada dalam satu plastik.

"Makasih, Om!" Sentana, Yodha, Jinora langsung duduk di dekat Rahandika. Sementara itu Jana memeluk ayahnya sebelum ikut bergabung dengan teman-temannya.

"Cuci tangan dulu sebelum ambil makanan," Eka menegur mereka yang hampir saja mencomot pizza tanpa cuci tangan.

"Ayo, Kak," Jinora berdiri lebih dulu menuju kamar mandi diikuti teman-teman satu timnya yang tersenyum dibelakangnya karena melihat tingkah anak itu yang imut.

"Aku ga akan lama di sini. Ada janji temu lain, tapi bagian Pak Eka udah ada di kantor kok," tanpa melunturkan senyumnya, Rahandika sekarang memulai perbincangan dengan Eka.

"Walah, repot-repot tenan, Pak," ayah dari Jinora itu tertawa kecil, "Maturnuwun, Pak." Sebagai respons, ayah Jana mengangguk dan tersenyum.

"Oh iya, nanti selesai jam berapa? Biar tak jemput."

"Pulang sama Jinora ga apa. Nanti tak anter pulang. Banyak kerjaan, Pak?" Eka bertanya pada lawan bicaranya.

"Habis ini mau ke gedungnya Swara Mahardhika. Ada panggilan," jelas Rahandika.

"Papi abis ini kerja lagi?" bukan sahutan dari Eka, melainkan Jana yang ia dapat. Anaknya itu berdiri sambil menatap wajahnya.

"Iya, ga apa 'kan? Nanti Papi jemput."

"Revisi terus," Jana menekuk bibirnya sambil melipat tangan di depan dada. Ia menerka alasan yang dipakai oleh ayahnya untuk tidak bisa menemaninya latihan kali ini.

"Bukan, kali ini meeting," Rahandika meluruskan lalu menyejajarkan diri dengan anaknya, "Papi bakal buat meetingnya cepat. Ayahnya Sentana pasti paham."

"Oke," Jana mengangguk dan duduk bersama teman-temannya setelah mengambil sepotong pizza. Rahandika menghela napas, ia lega kini anaknya bisa mengerti keadaanya.

"Nanti aku kabari," Eka menepuk punggung tetangganya kemudian kembali fokus pada empat anak yang ada ruangan itu. Rahandika pun keluar dari ruangan itu dan langsung menuju mobilnya. Ada hal yang harus didiskusikan dengan Agung Acalapati sore ini.

Dua sutradara Stagelight Production House itu tampak makan dengan tenang. Akan tetapi sebenarnya mereka tidak setenang itu. Baik Dewo maupun Giyanta masing-masing melirik layar laptop mereka untuk memeriksa pesan yang masuk.

"Mm, mereka sudah mengirim email balasan," Dewo langsung memberi informasi setelah menelan makanannya. Giyanta bergerak cepat untuk membuka email dan membacanya. Setelah memahami keseluruhan email, pria itu menghela napas sembari menangkupkan kalung dengan liontin salib ke dalam kedua tangannya, "Puji Tuhan. Kita sudah selesai."

"Oh! Iya, mereka menerimanya tanpa revisi lagi," Dewo menyahut.

"Ayo kasih kabar ke anak-anak. Mereka udah balik ke ruangan mungkin," ide Giyanta itu disambut baik Dewo. Mereka berdua memberi kabar pada tim editing bahwa pekerjaan mereka sudah selesai. Kini tinggal menghitung 24 jam lagi, video musik promosional untuk lagu 'Prolog' oleh Juanna akan dirilis di kanal YouTube Swara Mahardhika Entertainment.

The CureWhere stories live. Discover now