Sushi yang Kacau

20 7 0
                                    

Rahandika berdiri di samping sahabatnya sembari memperhatikan setiap gerak-geriknya saat memasak ayam teriyaki untuk isian sushi.

"Jadi, tadi itu ... aku harus mendiamkan ayam di kulkas selama 30 menit?" pria berusia 35 tahun itu bertanya juga.

"Iya, biar bumbunya meresap. Masak butuh kesabaran juga. Jangan-jangan selama ini kamu masaknya ga sabaran," jawab Giyanta tanpa melirik sedikitpun karena fokusnya terkunci pada ayam teriyaki agar makanan itu tidak gosong.

"Kayaknya belum ada 15 menit udah aku masak aja deh," Rahandika kemudian mengeluarkan cengiran yang tidak digubris lawan bicaranya.

"Pantesan Jana protes," balas Giyanta sembari tertawa tipis mengingat tujuan awal temannya mengunjungi rumahnya adalah untuk diajari cara membuat sushi karena ia sudah berusaha membuatnya tetapi yang didapat adalah tanggapan kurang mengenakkan tapi jujur dari anaknya sendiri.

"Memang gak mudah hidup begini. Tapi aku juga ga tertarik menikah lagi," Rahandika mendengus kemudian menatap ayam teriyaki di wajan dengan kosong.

"Mungkin hanya belum, bukan gak tertarik," pria berusia 39 tahun itu ikut terdiam sejenak. Ia tidak memikirkan tentang pernikahan ulang, pikirannya mengelana pada terakhir kali dirinya membuat segulung sushi yang merupakan makanan kesukaan salah satu anaknya. Sudah lama ia tidak membuat itu lagi sejak liburan Natal kemarin.

Ah, dia berpikir terlalu dramatis. Liburan Natal 'kan baru setengah tahun kemarin.

"Gosong! Gosong!" Rahandika yang tiba-tiba berseru membuat Giyanta kembali ke dunia nyata, meninggalkan lamunannya. Segera ia melihat ayam yang ada di wajan dan membaliknya untuk memastikan tidak ada yang gosong.

Untungnya saja memang tidak ada.

"Salah satu tips dalam masak kayaknya ga boleh ngelamun, ya?" Giyanta mengeluarkan cengiran sebagai tanggapan dari sindiran sahabatnya. Kini ayam teriyaki itu sudah berpindah ke mangkok dari wajan.

"Okay, selanjutnya kita gelar sushi mat, begini. Tutupi dengan plastik. Taruh selembar nori di atasnya baru nasi dan ketan yang udah dimasak tadi. Diratakan gini, kasih cuka sama penyedap rasa. Baru disusun begini, dagingnya, irisan wortel, timun dan beri mayonaise. Baru digulung," karena sudah berulang kali melakukannya, Giyanta dengan mahir menggulung sushi itu. Hasilnya pun rapi, seperti harapan.

"Setelah ini bisa dipotong," sebelum memotong, pria tersebut membasahi pisau dapurnya dengan sedikit air. Potongan yang dihasilkan juga bagus.

"Udah berapa kali bikin sushi? Kayaknya resepnya di luar kepala," puji Rahandika.

"Dalam hidup? Berkali-kali. Anakku suka, jadi, ya, hapal," jawab Giyanta sembari menata potongan sushi di piring.

"Siapa yang suka? Irawan? Jati? Atau ...."

"Kamu jadi belajar atau engga?" tiba-tiba perkataan Rahandika dipotong oleh Giyanta dengan tegas, "Coba gulung sushi sendiri dong."

"Haduh, Jana ada benernya juga, ck," keluh bapak satu anak itu sembari mencuci tangannya.

"Bener soal apa?"

"Kamu kayak Chef Juna, galak," dengan memasang senyuman lebar, Rahandika berkata seperti itu. Ia pun sudah kebal dengan tatapan tajam sabahatnya yang mengerikan menurut orang lain. Dia hanya sedang bermain-main, bukan kemarahan asli. Rahandika sangat tahu bagaimana temannya saat marah sungguhan dan itu memang tidak menyenangkan untuk diingat kembali.

Selanjutnya, mereka berdua tenggelam dalam kegiatan menggulung sushi. Rahandika sangat fokus untuk membuat sushinya tidak hancur dan Giyanta memastikan bahwa temannya tidak menghancurkan sushinya. Setelah semua selesai, mereka memutuskan untuk memakan sushi dengan bentuk gagal dan yang baik disimpan untuk anak-anak mereka.

The CureWhere stories live. Discover now