Sebenarnya, Yang Lain

20 6 4
                                    

"Ini beneran?" Irawan mendekatkan mukanya ke layar laptop, "Jati, cubit aku."

"Ga mau, nanti kakak sakit," Jati menolaknya mentah-mentah dan ikut mendekatkan wajahnya ke layar laptop, "Tapi aku juga ga menyangka sih."

"Jadi beneran ya? Agak too good to be true," anak laki-laki tertua itu menghela napas lalu tersenyum.

"Kita harus bilang Papa, Kak. Ini nominalnya lumayan besar." Setelah mendengar perkataan Jati, Irawan mematung.

"Harus, ya?"

"Kalau ga bilang terus gimana kita ambilnya, Kak? Ayolah, Papa ga mungkin juga marah karena kita tertarik sama musik," si anak sulung mengangguk setelah mendengarkan Jati.

Akan tetapi ia menghela napas tidak lama kemudian. "Kita pake studio Papa ga izin, Ti."

"Karena udah menang kayaknya Papa ga marah deh, Kak," Jati mengusap dagunya.

"Eh, aku sebenarnya sering," Irawan tiba-tiba mengeluarkan cengiran, "Jujur saja, enak composing di sana."

"Dan Papa ga tahu file-file, Kakak?"

"Aku enkripsi, seperti pekerjaan kita kemarin."

"Oh, Kak Irawan emang udah pantes masuk Jurusan Ilkom tapi Jurusan Musik sepertinya lebih cocok. Hm,gimana lagi, sepertinya kita juga harus jujur ... di bagian fakta kalau selama nyiapin lomba, kita pake studio-nya Papa tanpa izin." Mendengar perkataan saudaranya terkait calon jurusan kuliahnya membuat Irawan agak tersentak. Hal itulah yang membuatnya terusik akhir-akhir ini karena diam-diam ia punya keinginan lain. Bukan Jati yang belum tahu, tetapi ayahnya. Seakan memutus keheningan, Jati mengendikkan bahu dan kembali berkata, "Tapi kok aku belum pernah denger instrumental Kakak yang dibuat di sana? Kalau yang di laptopnya Kakak sih aku tau."

"Soal itu ...," Irawan langsung meraih ponselnya dan mengetikkan sesuatu di sana. Setelahnya musik bermain dari ponsel.

"Oh? Tunggu sebentar. Bukannya itu musik yang dipakai Jana buat lomba dance kemarin? Itu ternyata buatan Kakak?" Jati melebarkan matanya sembari tetap menatap kakaknya.

"Iya. Aku upload musiknya di Youtube pake nama lain, bukan nama asliku."

"Ah, bener juga. Kalau aku cermati lagu yang ini juga ada kemiripannya sama instrumental itu," Jati kemudian memberikan tepukan tangan, "Keren. Bahkan Kakak udah punya ciri khas sendiri."

"Aku pemula."

"Pemula yang banyak belajar. Juara 2 juga udah bagus buat kita buat sekarang, Kak. Melihat lawannya," anak sulung Giyanta itu menggoyangkan badan kakaknya, "Kita sudah menang dengan usaha sendiri di lomba nasional dan salah satu lawannya adalah Kak Nakula dan Sadewa."

"Ah, padahal aku kira mereka akan ada di atas mereka. Jujur saja, jingle buatan mereka bagus."

"Tapi itu artinya punya kita yang dibuat sama Kakak, itu lebih bagus. Ya sudah, jangan insecure terus, nanti kalo Papa udah pulang aku bilang," Jati keluar kamar dengan senyuman penuh sementara Irawan menatap saudaranya dengan pasrah.

Ya, bagaimana pun juga, prestasi sebesar ini ga akan bisa ditutupi.

"Tapi, kayaknya Papa sampe malem ya nanti? Eh, ini sudah malem tapi maksudku lebih malem lagi, " Jati berhenti di depan pintu karena teringat sesuatu.

"Bisa jadi sampai pagi bahkan. Kadang itu terjadi," Irawan menyahut dan berdiri dari kursinya, "coba lihat ada apa di kulkas." Mereka berdua keluar dari kamar dan langsung menuju dapur. Marendra dan Antonio tidak terlihat sama sekali, jelas sekali mereka berada di kamar sendiri-sendiri. Surajati langsung membuka kulkas dan mencari bahan yang mungkin dimasak.

The CureWhere stories live. Discover now