Ke Mana Emosi Itu Pergi?

19 3 1
                                    

Giyanta menghela napas sekali lagi. Matanya memandang langit-langit putih dari ruang inap yang digunakannya sekarang. Memang kamar ini lebih luas dari kamarnya, akan tetapi ia merasa lebih nyaman tidur di kamar kecilnya dari pada di sini. Terlebih lagi Eka masih ada di sini.

Ah, bukan masalah lingkungannya. Ini masalah kepalanya yang benar-benar berisik. Sangat berisik sampai ia tidak tahu apa yang sebenarnya ia pikirkan.

"Om, no offense," Anton tiba-tiba saja bersuara dan menatap Eka yang duduk agak jauh dari dirinya dan ayahnya, "Tapi om mending berangkat daripada bikin boros oksigen di sini. Yang ada Papa gak sembuh-sembuh."

"Oh?" Eka sedikit terkejut karena nada anak itu terdengar agak ketus baginya. Kontras dengan cara ayahnya yang berbicara dengan lembut pada saat mereka masih asing. Giyanta yang memperhatikan kecanggungan itu langsung berbicara, "Wes rapopo, Pak. Berangkat aja. Hasil screening-nya juga udah keluar 'kan? Percaya aja sama anakku."

"Tenan ki?" Jempol diberikan oleh Giyanta sebagai jawaban atas pertanyaan Eka.

"Yo wes, Senin pagi tak jemput. Nggo motor."

"Matur nuwun, Pak." Eka akhirnya menyusul berangkat ke tempat pesta, meninggalkan Giyanta hanya bersama anak kandung termudanya, Antonio.

"Kamu ga ikut berangkat?" akhirnya Giyanta mengeluarkan salah satu pertanyaan yang ada di kepalanya pada sang anak.

Antonio menggeleng dan menjawab, "Buat apa? Lagian di sana paling aku cuma makan dan pasang senyum palsu di depan orang-orang asing." Senyum palsu. Tentu saja, bagaimana anak-anaknya bisa tersenyum bebas dalam keadaan seperti ini?

"Jati ...," Giyanta menatap langit-langit kamar lagi. Terbayang di sana ekspresi Jati sebelum keluar kamar. Ekspresi yang terus mengusiknya sehingga ia bertanya dengan lirih pada angin, "Jati marah ya?"

"Pasti," Antonio menjawab pertanyaan ayahnya itu dengan realistis. Ia kurang lebih bisa menangkap ekspresi kakaknya tadi.

"Kamu engga?"

Anak itu menggeleng dan kembali berkata, "Kesal. Sedikit. Papa keterlaluan berarti kalau Kak Jati sampai seperti itu."

Benar. Ia keterlaluan. Menyembunyikan ini semua dari anaknya sendiri selama 9 tahun.

Keterlaluan.

"Apa benar? Apa benar aku keterlaluan kalo mau ambil sendiri stage yang seharusnya buat Papa sama aku?" Irawan meletakkan kepalanya di atas meja, tidak berani menatap Rahandika yang duduk tepat di sampingnya.

"Siapa yang bilang begitu? Staff? Tamu?" pria berambut merah itu langsung mengedarkan pandangan, mencari-cari pelaku yang sudah melukai hati anak kawannya.

"Bukan," anak itu menggeleng, "Pikiran terburukku yang bilang begitu."

Rahandika menarik napas, kemudian merangkul pundak Irawan pelan, "Percaya diri saja. Kalau kamu mampu dan mau nanti Om urus semuanya."

"Setidaknya aku harus naik panggung biar Juanna ga kecewa," ia menimang keputusannya sembari memainkan diska lepas yang punya gantungan nama 'GARDAPATI' di tangannya, "Ini memang back-to-back seharusnya. Kenyataannya aku harus back up semua permainan Papa."

Irawan menatap kedua adiknya bergantian. Marendra tampak tersenyum sambil bermain ponselnya. Ia baru saja mendapat kontak desainer yang ia bantu saat merancang salah satu kostum Juanna dan dijanjikan pembagian penghasilan sesuai apa yang telah ia kerjakan. Pemandangan itu terlihat kontras dengan Jati yang hanya duduk diam memandang panggung dengan kosong. Kalau saja Jati tidak terlihat sesuram itu, mungkin Irawan akan mengajaknya ke panggung karena sejauh ini adiknya itu selalu menonton sesi latihan mereka dan menunjukkan ketertarikan yang sama. Akan tetapi ia mengurungkan niatnya dan kembali mempertimbangkan satu pilihan tersisa. Irawan harus maju sendirian.

The CureWhere stories live. Discover now