Potongan yang Hilang

29 4 0
                                    

"Kalau aja aku ga pasang silent mode, huh," Giyanta mendengus sambil menaruh helmnya di atas motor, "Semoga aku ga lupa balikin helm ini ke kantor besok. Sekarang aku harus lari." Sebelumnya, ia menerima panggilan telepon dari mertuanya yang harusnya ia terima satu jam yang lalu. Karena terlalu tenggelam dengan pekerjaannya sampai bahkan tidak sadar kalau baterai ponselnya habis dan dihubungi mertuanya berkali-kali, jadilah pria itu baru menerima pesannya saat jeda makan sore.

Ia malah belum jadi makan pada sore ini.

"Dia sudah berangkat dari tadi. Sejak kami meneleponmu pertama kali. Sudah satu jam berlalu, seharusnya hampir sampai." Kata-kata dari mertuanya terus terngiang di telinga ketika Giyanta berlari menembus kerumunan di stasiun. Ia tidak mau kehilangan jejak, jadi mau tidak mau pria itu harus berlari sebelum keretanya sampai.

"Huh, keretanya baru saja sampai. Untungnya," pria itu mengatur napas sembari melepas jaket hitamnya karena gerah, "Aku tahu hari ini cepat atau lambat akan datang juga. Anak itu ...."

"Just say it, Pa. Anak itu nyusahin 'kan?" sosok anak laki-laki berambut hitam pendek berusia 13 tahun yang membawa tas ransel besar itu langsung menatap Giyanta dengan pandangan datar sembari melipat tangan. Ia baru saja berada di dekatnya.

"Papa ga mau bilang itu."

"Ha, I know, kalian ga pernah bilang but maybe I am," anak yang memiliki mata identik dengan Giyanta itu kemudian mengangkat tas jinjingnya, "Padahal aku ngarepnya Papa lagi sibuk jadinya ga bisa jemput."

"Terus, kamu mau ngapain kalau ga pulang ke rumah Papa?" Giyanta mengambil alih tas jinjing dari tangan anak laki-laki itu setelah kembali mengenakan jaket hitamnya, "Jangan nekat. Ayo pulang." Setelah menghela napas panjang, ia mengikuti jejak pria 39 tahun tersebut ke parkiran. Selama perjalanan pun tidak ada yang mencoba untuk saling berkomunikasi. Giyanta fokus pada jalanan walau sesekali pikirannya berkelana meninggalkan realitas.

Hari ini bukanlah hari ulang tahunnya, tetapi mengapa dia diberi kejutan seperti ini?

"Karena malam nanti deadline-nya, kita pastikan kalau semuanya sudah bagus," Irawan menatap Jati yang sedang berdiri di belakang meja dengan alat DJ mixer di atasnya.

"Huh, sepertinya sudah bagus semua bagiku, Kak. Apa lagi yang harus diubah?" ia menjawab pertanyaan tersebut tanpa menatap wajah penanyanya karena sibuk menelusuri alat yang ada di depannya.

"Iya, ya. Ga ada sih. Cara kamu deliver liriknya juga bagus. Sesuatu yang aku belum bisa," Irawan menganggukkan kepala karena setuju tidak ada lagi yang perlu diubah dari pekerjaan mereka berdua.

"Kirim aja. Administrasinya juga udah lengkap bukanya, Kak?" sekarang Jati mendekati meja kakaknya.

"Udah semua, tinggal kirim."

"Kirim aja sebelum Papa balik. Aku bantu doa deh."

"Oke." Irawan berbalik ke monitor untuk mengisi semua data yang diperlukan untuk kontes sementara Jati menjadi yang meneliti data-data itu. Apakah sudah sesuai dengan kolomnya atau belum.

"Sudah semuanya! Tinggal kita tunggu," anak tertua Giyanta itu berdiri dari posisi duduknya dan berjalan ke arah meja. Rupanya ia juga tertarik dengan alat yang ada di sana.

"Ini buat nyalain pencet yang mana, ya?" kedua mata Irawan menelusuri semua tombol yang ada di sana.

"Entahlah, Kak. Aku juga ga tau. Jangan deh, nanti kalau meledak gimana? Kayaknya mahal deh," Jati juga ikut mengamati alat itu.

"Mahal iya, tapi ... kayaknya ga sampai meledak. Rusak bisa jadi sih," Irawan mengangguk-angguk.

Tok! Tok! Tok!

The CureWhere stories live. Discover now