Ada yang Salah

16 8 3
                                    

Antonio memperhatikan Marendra yang sedang makan dengan lahap di depannya. Ia menghela napas lalu bertanya, "Kok bisa uangmu ilang?"

"Mungkin jatuh di suatu tempat," jawab anak itu.

"Ceroboh," desis Antonio.

"Yeah, I am. But, thanks. Aku ganti uangmu besok. I promise," Marendra tersenyum dan menyodorkan jari kelingkingnya.

Akan tetapi, kakaknya menolak, "No need. I do that because I don't want to carry your unconscious body to home."

"Padahal kalau aku pingsan, ya udah, pingsan aja. Nanti juga bangun sendiri," anak itu kemudian kembali mengigit bakso.

"Not today."

"Because you will attend a robotic class and can't keep your eyes on me? How sweet."

Balasan dari Marendra malah membuat Antonio mengerlingkan mata, "Menggelikan. Obviously bukan karena itu. I can't call myself human while ignoring your pale face."

"All those humans doing that every time to other people," anak termuda keluarga Gardapati itu menghela napas kemudian tersenyum miris.

"And you're not just random people for me or at least ... not for my Papa," Antonio mengendikkan bahu.

"Are you really the same Antonio who hide my Nintendo in our very first meet?" Marendra memicingkan matanya karena masih merasa aneh dengan sedikit kebaikan saudaranya itu.

"Did you just assume I do this because I care for you?"

"Apalagi yang mungkin?"

"Karena aku ga ingin kamu nyusahin orang lain. Siapa yang tahu nanti kamu tiba-tiba pingsan gara-gara belum makan siang," Antonio memberikan alasannya.

Suatu alasan yang ditelan mentah-mentah oleh Marendra sehingga anak itu mengangguk, "Oke, terima kasih sudah peduli sama teman-temanku di kelas desain. That's really Antonio who I had known." Tentu saja, frasa 'peduli Marendra' tidak ada di kamus Antonio Gardapati.

"I should go," setelah melihat semua bakso yang ada di dalam mangkok depan Marendra habis, Antonio langsung berdiri.

Namun, sebelum ia benar-benar beranjak, Marendra memanggilnya, "Kak, would you like to hide this from Papa?"

"Our fight? He will find out anyway."

"No, Papa juga tahu kalau kita jarang akur," anak itu mendengus, "jangan bilang soal uangku hilang."

"Well, it wasn't my problem, it's yours. Tanpa kamu bilang aku juga ga akan cerita. But, he will find out too, right?"

"Papa lagi sibuk, ga akan bener-bener ngecek. Kalau aku bilang aku udah makan siang, he wouldn't find out before my money back," kata Marendra yakin.

"Okay, then. Whatever," kini Antonio benar-benar pergi ke kelas robotik meninggalkan adiknya yang kemudian mengosongkan kuah di mangkok bakso sampai kering.

Ting. Ting. Ting.

"Apa sekarang? Soal Willy, Kak? Dia ga nyelesaiin kerjaannya?" Jati memperhatikan Irawan yang masih mengaduk-aduk es tehnya tanpa semangat.

"Selesai kok. Selesai. Tapi aku ngantuk. Bentar, 5 menit," anak tertua di keluarga Gardapati itu memberikan ponselnya yang sudah diatur untuk menyalakan alarm 5 menit kedepan pada adiknya dan menaruh kepalanya di meja kantin.

"Tidur macam apa lima menit doang?"

"Aish, diam," Irawan melarang Jati berkomentar saat ia istirahat sebentar. Akhirnya, anak kandung tertua Giyanta hanya bisa melihat kakaknya tertidur 5 menit. Tanpa tahu pasti apa yang sedang dikerjakan oleh Irawan, ia tahu kakaknya lelah saat ini. Masih mengurusi orkestra sekolah ditambah menghadapi beban masa depan tentunya tidak terdengar mudah. Terlebih juga ia tahu kakaknya benar-benar berusaha membayar kembali semua kebaikan ayahnya di saat beliau sebenarnya tidak pernah mengungkit itu.

"Sepertinya kakak banyak pikiran, ya?" Jati menghela napas melihat kakaknya yang sudah tidur, "mana bentar lagi selesai 5 menitnya." Selagi anak itu masih mempertimbangan niatnya untuk memperpanjang hitungan alarm menjadi 10 menit, ternyata sudah ada 5 menit berlalu. Ponsel Irawan mengeluarkan suara yang membangunkan pemiliknya dengan segera.

"Euhh, okay, sepertinya sudah cukup," anak laki-laki itu bangun dan langsung meminum es tehnya yang sudah mencair sedikit, "Nah, sekarang aku mau bicara sesuatu." Jati mendekatkan kepalanya untuk memberi perhatian pada kakaknya.

"Kamu ngerasa ga akhir-akhir ini Marendra jadi beda?"

"Hm, sepertinya karena dia ga akur sama Antonio," Jati mengangguk-angguk.

"Tapi beda, ga kaya tiap kita pulang tempat Mbah. Ga gitu. Rasanya kaya ada yang disembunyikan dari kita," tebak Irawan, "Kamu tahu ga? Atau kamu juga ngerasa kalau dia bohong sesuatu?"

"Kak, jangankan tau dia bohong atau engga ... aku aja ga bisa bedain orang yang beneran baik atau baik di depan doang," Jati menggeleng, ia benar-benar tidak tahu apa maksud kakaknya.

"Itu lebih susah dari tahu Marendra bohong atau engga. Kita sudah hidup bareng dia lama," Irawan kemudian menunduk, "aku juga sering dimanfaatin orang."

"Jadi intinya menurut kakak, ada yang salah sama Marendra?" anak kandung pertama Giyanta itu mempertegas lagi perkataan kakaknya.

"Curiganya gitu. Semoga salah. Bahkan lebih baik kalau aku salah."

Di tempat yang berbeda, Giyanta juga sedang menyesap teh bersama Rahandika yang mengajaknya makan di luar setelah memberi tahu bahwa ia berada di sekitar kantor kawannya itu.

"Jadi, sekarang kamu mau pindah studio juga?"

"Iya, aku ga bisa menaruh semua barang dari studioku di Jakarta di studioku yang di rumah. Terlalu sempit. Bahkan gudang juga ga muat," jawab Rahandika.

"Kenapa kamu pindah dari Jakarta? Bukannya semua sudah baik? Gimana kalau kamu dapet job lagi di Jakarta?" tanya Giyanta penasaran, "Nama panggungmu udah besar juga 'kan?"

"Lumayan. Tapi di sini jauh lebih bagus. Aku lebih suka dengan kota yang menghargai seni juga dari pada hanya pestanya. Kota ini bukan pusat seni tanpa maksud 'kan? Bahkan Agung memilih untuk mendirikan agensi di sini dari pada Jakarta," pria itu menjelaskan alasannya.

"Ga nunggu sampai Jana selesai SD dulu?"

"Dia akan baik-baik saja di sekolah yang sekarang," Rahandika tersenyum seperti tidak memiliki beban sama sekali.

"Jadi setelah itu, kamu langsung ke Jakarta?"

"Iya, setelah istriku meninggal. Kembali ke rumah."

"Itulah kenapa kita ga pernah ketemu," Giyanta mengangguk setelah memahami bahwa selama ini mereka bekerja di wilayah yang berbeda, "Sejujurnya aku beberapa kali mendengar soalmu, Raijin, Rising DJ di Jakarta. Selewat."

"Kamu mikirin 4 anak, wajar kalau lupa sama aku."

"Bukan gitu. Beberapa kali aku ingin mengambil tawaran job di Jakarta dengan harapan bisa bertemu kamu."

"Tapi kamu ga pernah mengambilnya."

"Aku ga bisa pergi ...," setelah itu Giyanta lanjut makan.

"Kalau begitu, sekarang, ayo kita satu acara lagi. Seperti dulu," Rahandika menyodorkan ponselnya dan memperlihatkan percakapannya dengan Agung, "Dia butuh satu DJ performer lagi. Pastikan aja kamu kosong 10 September besok."

"Good, bulan ini sepertinya aku harus ambil job," pria itu mengangguk, setuju dengan tawaran kawannya.

"Project-mu sudah selesai?"

"Akan selesai. Tapi sudah selesai ambil gambar dan kamu tahu, sepertinya aku kehilangan barangku di hari terakhir. Anehnya aku ga menemukan barang itu dimana-mana." Giyanta menghela napas kemudian kembali berbicara, lebih ke pada diri sendiri, "Yah, nanti juga barangnya muncul sendiri. Selalu seperti itu saat aku kehilangan barangku."

The CureTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang