Darah, Peluh, Air Mata

28 2 1
                                    

***
Sebelum lanjut membaca. Bagian ini mengandung trigger warning berupa self harm. Tolong kebijaksanaannya. Terima kasih.

***

Suasana kamar inap Giyanta sangat tenang. Tidak ada banyak orang berlalu-lalang. Tidak ada sinar matahari yang menembus jendela. Tidak ada obrolan. Hanya ada udara dingin dari AC dan juga langit gelap dengan sedikit bintang tampak di jendela. Sangat berbeda dengan keadaan kepalanya yang kacau, berisik, tidak teratur. Semuanya berebut atensi. Membuat pria itu tidak bisa memejamkan mata barang semenit pun.

Matanya kini tertuju pada Antonio yang tertidur di sisi kiri tempat tidurnya. Rasa bersalah kembali menyesakkan dadanya. Semua yang terjadi saat ini adalah kesalahannya. Kalau saja saat itu ia tidak pergi bersama istrinya ke puncak gunung dini hari. Mungkin keluarga mereka masih lengkap. Tidak akan ada kecelakaan yang membuat istrinya meninggal di tempat.

Antonio, anak itu mungkin membenci dirinya jauh di dalam hatinya karena sudah membuat ibu mereka tiada. Pasti itu alasannya. Kalau bukan, mengapa anaknya seperti menghindarinya selama ini?

Jati sekarang juga marah dengannya. Ia telah mengubur semuanya selama 9 tahun ini agar anaknya tidak tahu dan menjadikan keadaannya sebagai beban. Akan tetapi mengapa begini jadinya?

Irawan mungkin kecewa dengannya saat ini. Giyanta merusak hari ulang tahunnya, tepat di tahun yang ketujuh belas. Ia mungkin akan kembali membenci ulang tahunnya dan semuanya adalah kesalahannya.

Marendra terluka, bahkan bukan hanya sekadar luka fisik. Itu semua juga kesalahannya. Bagaimana bisa ia tidak menyadari ada sesuatu yang salah dari anak termudanya? Mengapa ia tidak bisa mencegah anaknya dirundung? Bahkan kejadian kemarin bukan untuk pertama kalinya. Dahulu Irawan juga dirundung dan ia tahu karena Jati melawan mereka.
Jati dan Antonio rupanya lebih baik dari dirinya dalam hal melindungi Irawan dan Marendra.

"Bapak macam apa aku ini ya Gusti?" pria itu melirih, meringis sembari memukul dadanya yang terasa seperti tersayat oleh amarah, kesedihan dan penyesalan yang menumpuk. Ia menyetujui salah satu hinaan Ayah Reihan yang dituduhkan kepadanya.

Ia ayah yang buruk. Sangat buruk. Lebih dari itu, Giyanta adalah seorang pendosa.

Juga pembunuh.

Tangan kirinya perlahan meraba liontin salib yang tergantung pada kalungnya dan menariknya dengan kencang sampai putus. Pria itu menggoreskan ujung tajam liontin pada kulit lehernya. Akan tetapi, ia segera urung ketika melihat Antonio tertidur dengan tenang di sampingnya. Giyanta menggenggam erat liontin itu dan menatap langit-langit kamar.

Perlahan air mata mengalir begitu saja selagi ia kembali berkata dengan lirih, "Gusti, ini kah hukuman-Mu untukku? Aku pendosa, Gusti. Istriku meninggal karena diriku. Aku gagal mendidik anak-anakku sendiri tapi dengan angkuhnya mengangkat dua anak lain. Malah aku gagal melindungi mereka, membiarkan mereka terluka seperti itu. Bahkan sesaat tadi ... aku hendak kabur begitu saja. Oh, apa masih bisa ... apa masih ada pengampunan-Mu untukku?" Giyanta larut dalam emosinya sampai ia tidak sadar bukan hanya air mata yang mengalir keluar dari dirinya, akan tetapi darah juga.

Antonio perlahan bangun karena ia mendengar isakan sang ayah dalam mimpi. Ketika anak itu membuka mata, ternyata apa yang ada di dalam mimpi memang sedang terjadi di dunia nyata. Bahkan lebih buruk, ia melihat darah menetes dari tangan kiri ayahnya menodai kain putih di atas tempat tidur.

Perlahan anak itu mendekati ayahnya, "Pa? Ada apa?" Jejak air mata terlihat jelas di wajah Giyanta. Antonio segera merangkul ayahnya perlahan. Akan tetapi saat tangannya tidak sengaja menyentuh leher ayahnya, ia langsung menariknya kembali. Cairan kemerahan yang menempel di tangan kanannya membuat anak itu segera memencet tombol untuk memanggil perawat di bangsal psikiatrik. Ia berusaha keras untuk tenang demi ayahnya meski sebenarnya ia sedang panik.

Perlahan matahari pun menyinari seluruh isi kota siang ini. Marendra dan Irawan bersama dengan Rahandika sudah berada di depan pintu kamar tempat ayahnya menginap sementara ini.

Antonio membukanya perlahan, "Papa baru tidur jam 9 tadi. Pelan-pelan." Kedua anak Giyanta masuk dan memperhatikan wajah pucat tapi tenang milik ayah mereka. Rahandika tidak sampai hati untuk mendekat dan hanya melihat dari jauh. Tanpa bertanya pada Antonio, ia tahu betapa kacaunya keadaan kawannya dini hari tadi dari tangan kirinya yang dibebat perban juga luka gores kecil di lehernya. Semua orang di ruangan itu menatap ke arah yang sama, ke Giyanta, tetapi isi pikiran mereka semua berbeda.

Antonio mempertanyakan di mana Jati sekarang.

Marendra bertanya-tanya bagaimana bisa tangan ayahnya sampai terluka.

Irawan merenungi alasan ayahnya bisa sampai sekacau ini.

Rahandika berandai-andai apabila ia tahu lebih awal tentang keadaan kawannya dan tidak memaksanya naik mobil waktu itu. Akankah semuanya berubah?

Ting!

Sesi hening mereka buyar karena ponsel Rahandika berbunyi. Setelah melihat isi pesannya, ia langsung pamit, "Anak-anak, nanti kalau mau pulang bilang Om ya."

"Om mau tempat lombanya Jana, ya?" tebak Marendra.

"Iya, acaranya udah mulai. Semoga Papa kalian cepat baikan," pria berambut merah itu tersenyum pada anak-anak Giyanta lalu keluar kamar. Sekali lagi ia menekan perasaan sedih dan kesalnya. Ia harus kembali tersenyum saat menemui anaknya.

"Kak Jati ke mana?" Antonio menjadi yang pertama berbicara lagi sejak Rahandika keluar. Ia langsung mengeluarkan salah satu isi kepalanya.

"Aku debat sama dia setelah pulang dari Gereja. Jati kayaknya benar-benar ga mau lihat Papa dulu," Irawan menghela napas mengingat betapa sengit perdebatannya dengan Jati. Ia berusaha membuat adiknya itu mau menemui ayahnya yang akan berada di rumah sakit sampai Rabu besok, hal itu diputuskan setelah melihat adanya tendensi pria itu untuk menyakiti dirinya sendiri.

"Kakak sekesal itu ternyata," balas Antonio sembari menyandarkan tubuhnya ke dinding.

"Haruskah aku gantikan kamu jagain, Papa?" tawaran Irawan itu dipertimbangan dengan baik oleh anak termuda Giyanta. Kakaknya itu lebih sabar dari dirinya, kemungkinan ia tidak cepat kesal karena hal kecil seperti tadi. Kalau saja tidak ingat ayahnya sedang sakit Antonio akan marah besar saat Giyanta menolak untuk meminum obat.

Pada akhirnya dia bisa melewati itu tanpa menaikkan nada bicaranya sedikitpun. Ia masih bisa menghadapi ayahnya.

"Kakak sekolah aja. Lagipula udah kelas 3," Antonio memutuskan tetap untuk menjaga Giyanta, "Aku masih bisa."

"Jadi Kakak mau absen dari sekolah sampai Rabu?" tanya Marendra. Anak itu menjawab dengan anggukan, "Mungkin lebih."

"Papa udah mau cerita?" Irawan bertanya pada Antonio.

Adiknya itu menggeleng pelan, "Belum. Habis ditangani sama perawat dan psikiater tadi pagi Papa minta maaf sama aku, beberapa kali. Hanya itu." Suasana kembali hening. Marendra mengeluarkan boneka Kirby kecil dari tas dan menaruhnya di tangan kanan ayahnya. Akan tetapi tingkahnya itu membuat Giyanta terbangun, "Marendra ...."

"Oh, hehe, maaf. Itu buat Papa. Biar ada temen selain Kak Antonio di rumah sakit." Pria itu kemudian melihat boneka yang ada di tangan kanannya dan tersenyum kecil. Ia kemudian melihat Antonio dan Irawan yang ada di sebelah kirinya.

Ketiga anaknya ada di sini kecuali satu, "Jati?" Irawan menggelengkan kepalanya lalu menunduk. Saat itu Giyanta tahu, dosanya tidak dapat diampuni lagi.

Sementara itu, di tempat yang lain, sore hari, Rahandika berusaha keras menahan emosinya yang sebenarnya.

"Selamat anak-anak!" ia tersenyum, bertepuk tangan, menutupi semuanya dengan rasa bangga pada Jana. Anaknya sedang berdiri di atas panggung mengangkat piala dan tersenyum karena grupnya telah memenangkan juara satu dalam lomba dance kali ini dan akan lanjut bertanding di Jakarta minggu depan. Ia bertingkah seperti ayah Jinora, Yodha dan Sentana, Rahandika memang bangga karena peluh anaknya dan teman-temannya selama dua minggu ini terbayar sudah. Akan tetapi ia memiliki pemikiran berbeda. Kebahagiaannya bercampur dengan rasa kesal. Mengapa juga finalnya harus diadakan di Jakarta tepat di hari ulang tahun orang yang sangat ia hindari?

Takdir sudah menjebaknya dan akan mengirimkan dirinya kembali ke sangkar. Saat itu Rahandika menyadari, ia tidak bisa berlari lagi.

The CureWhere stories live. Discover now