Dan Pertunjukan Harus Berlangsung

14 4 0
                                    

"See ... itu bukan masalah besar," Yodha bertepuk tangan setelah Jana menunjukkan tariannya, "Bayangkan saja tidak aja juri atau penonton. Kamu bisa mengatasi rasa malu itu."

"Sekarang sih iya, bisa. Karena memang ga ada siapa-siapa di sini," anak semata wayang Rahandika kemudian menatap pantulan dirinya di cermin besar, "Ga tahu deh besok kalo lihat Tante Hera beneran gimana?" Sesaat, semburat kemerahan muncul di telinga Jana.

"Kamu benar-benar fotokopi ayahmu," komentar Yodha karena teringat bagaimana telinga ayah Jana memerah waktu insiden itu.

"Semoga aku ga mewarisi sifat ayahku. Malu-maluin," saat ini mereka berdua duduk di lantai ruang tari.

"Sayangnya, memang sifat anak biasanya mewarisi sifat ayahnya sih. Entahlah, aku pernah baca sesuatu yang seperti itu," anak laki-laki dari keluarga Danendra itu mengendikkan bahu, membuat Jana menghela napas, "Kesalahan kemarin harusnya bisa dimaafkan, menurutku."

"Iya menurutmu. Aku gatau gimana tanggapan Pak Ekachandra tapi," Jana kembali menghela napas.

"Ayahmu sudah pernah mencoba minta maaf 'kah?" tanya Yodha sembari mencondongkan badan pada kawannya.

"Entahlah," kini anak semata wayang Rahandika itu menghela napas, "Aku belum pernah lihat. Mungkin Papi udah berusaha."

Pada saat yang bersamaan, di Gang Truntum, Eka sedang mengeluarkan motornya saat kebetulan sekali Rahandika sedang keluar, berdiri di halaman rumah, untuk mencari angin segar setelah berjam-jam mengurung dirinya di studio pribadi. Setelah terdiam untuk beberapa saat, ia sadar bahwa dirinya belum pernah meminta maaf sekalipun pada tetangga barunya sejak insiden memalukan itu.

"Oke, harus dicoba," pria berambut merah itu mengumpulkan keberanian dan menebalkan muka untuk mendekati Eka.

"Selamat siang, Pak Eka. Mau ke mana?" sapanya dengan nada ceria. Sayangnya, orang yang disapa hanya meliriknya seraya mengenakan helm.

Swoosh~

Sapaan Rahandika dijawab oleh angin yang berhembus.

"Ah, maaf, soal yang kemarin. Kami tidak memperebutkan istri Anda, sungguh," ayah Jana langsung menembak dengan permintaan maaf.

"Sudah tahu teman Anda itu pakai shampoo apa?" balasan Eka di luar perkiraan Rahandika.

"Maaf?" pria berambut merah tersebut mengerutkan kening.

"Teman bertengkar Anda yang rambutnya panjang. Dia pakai shampoo apa?" ulang Eka.

"Oh, dia pakai shampoo Kelir," jawab Rahandika dengan nada bingung terlihat. Ia tidak menyangka Eka ingat alasan jeleknya.

"Jangan pakai itu. Sepertinya buat rambut kusut. Tangan Anda saja tersangkut di sana," setelah mengatakan itu secara datar, Eka menyalakan motornya dan pergi begitu saja. Ia tidak menerima permintaan maaf Rahandika. Memang, ayah Jana hanya bisa menghela napas. Akan tetapi, siapapun yang melihatnya saat ini bisa jadi mengira telinganya kelunturan rambut merahnya.

Di kantor PH, Giyanta memegangi kepalanya sembari bertumpuan pada meja dengan pandangan kosong.

"Waduh, kalo dia begini di tempat angker bisa kesurupan," bisik Dewo lebih pada dirinya sendiri. Setelahnya, ia mengambil langkah untuk mengageti kawannya, "Dor!"

"Hm," jawaban singkat dan lemas malah membuat Dewo lebih kaget. Bagaimana bisa pria itu tidak kaget sekarang?

"Kenapa lagi, Mas?"

"Biaya ke dukun berapa, ya?" Apa yang keluar dari mulut Giyanta membuatnya lebih kaget dan menaikkan alis.

"Mau ngapain, Mas? Nyantet orang?"

"Engga. Mau ngehapus ingatan orang. Kalau bisa sih, membuang satu kejadian di masa lalu. Aduh, aku ga bisa kerja kalau begini." Ini dia kesempatan Dewo untuk memancing Giyanta bercerita.

"Emang ada apa sampai harus banget gitu?"

"Aku berantem, engga juga, Rahandika mulai duluan ngejambak rambutku. Refleks aku bales. Terus ga dilepas. Aku bilang deh, 'kamu kayak gini karena Hera?'"

"Karena Hera?"

"Iya, istrinya Pak Eka. Terus, mereka berdua lihat kita jambak-jambakan. Mungkin itu kenapa Pak Eka kesal padaku," sesaat Giyanta terdiam, tetapi langsung memberikan konfirmasi, "Tapi sumpah, waktu itu aku sama Rahandika ga tau kalo Hera sudah punya suami." Suasananya jadi hening bersamaan dengan pria itu perlahan menatap Dewo.

Sial! Dia terpancing bercerita soal insiden memalukan itu.

Apa boleh buat? Selanjutnya ia harus jujur tentang ini semua.

"Udah minta maaf?" Dewo terus bertanya, mengabaikan wajah lawan bicaranya yang mulai memerah. Lagi pula kalau tidak dipancing dan dipaksa bicara seperti ini, mana bisa Dewo memahami apa yang terjadi antara Giyanta, Eka, Hera bahkan melibatkan Produser Jayantaka.

"Ya, ya, belum. Pak Eka sepertinya menghindariku. Sangat menghindariku. Rumah kami sebelahan tapi belum pernah bicara lagi sejak itu. Tiap aku mau menyapa, dia memalingkan wajah seakan-akan ada yang salah di sana," kali ini pria berambut panjang itu bercerita dengan menggebu-gebu, seakan sedang melepaskan beban yang selama ini mengikatnya.

"Karena kamu memang salah," balas Dewo.

"Karena ... iya," Giyanta menghela napas, "Bajigur, hoo meneh."

"Hera bilang dia mau ngomong sama Eka. Mungkin sekarang udah. Jadi kalau kalian ketemu hari ini harusnya lebih baik suasananya," Dewo menebak situasi kedepannya antara Giyanta dengan Eka akan lebih membaik.

"Pasti bagus ya, punya avatar yang seukuran manusia. Aku suruh dia gantiin buat ketemu Eka, pasti ga bakal malu," lagi-lagi Giyanta menghela napas, "Semoga tiba-tiba ada sinkhole kebuka di sini terus avatarku muncul dari sana buat bantuin."

"Yang masuk akal aja, Mas. Hadapi dong," Dewo menaruh segelas kopi dingin di hadapan kawannya itu, "Minum ini terus kita cabut."

"Cabut rumput?"

"Cabut, berangkat," Dewo mengerlingkan mata. Melihat respon kesal temannya Giyanta malah tertawa kecil, "Iya, iya. Ya sudah, gimana lagi. Masa mau berhenti cuma karena ini?"

"That is! The show must go on, Jana," Yodha tampak puas dengan latihan mereka dan juga Jana yang bisa menekan perasaan malunya.

"Ya, semoga bisa gini di panggung. Karena perlombaan makin dekat, kita harus mikirin kostum juga ga sih?" tanya Jana, "Harus minta saran siapa, ya?"

"Kayaknya harus yang sesuai tema. Nah, katamu ini artinya invasi, makannya nyaranin koreografi berantem," Yodha melemparkan pertanyaan pada kawannya.

"Papi yang bilang sih. Haruskah kita minta saran sama Papi juga?"

"Ini kata-kata dari bahasa apa?"

"Jepang."

"Jepang? Ga mungkin kita pake Yukata," kawan dari Jana itu terdiam dan menggosok dagunya, membayangkan mereka berdua menari dengan pakaian seperti itu.

"Bakal sulit. Sepertinya kita harus pakai celana. Maksudku, bukan sesuatu yang mirip jarik gitu, susah," anak dari Rahandika itu menimpali dengan serius.

"Ya udah, dipikir nanti. Kita latihan sekali lagi lalu pulang," Yodha bangkit dari posisi duduknya.

"Besok jadi latihan di rumahku?" Jana memastikan rencana mereka selanjutnya.

"Oh, jadi dong! Jumat kok, aku sudah bilang sama Papi. Tapi kamu ga apa 'kan, pulang sore terus dan rumahnya dipakai?" tanya kawannya, memastikan bahwa ia tidak apa-apa dengan semua itu.

"Ga apa kok! Papiku juga ngizinin selama ga merusak barang di rumah."

"Gampang sih, kita ga merusak apapun 'kan kemarin?" Yodha mengendikkan bahu dan menatap Jana yang juga sudah berdiri.

"Aman. Ya sudah, kita mulai lagi," Jana bergerak menuju player musik yang ada di ruangan itu dan menyetel musik. Enam belas hari sebelum hari perlombaan tidak bisa dibuang dan jadi sia-sia.

The CureWhere stories live. Discover now