Hari-H

16 2 1
                                    

***
Sebelum lanjut membaca. Bagian ini mengandung trigger warning berupa kecelakaan mobil dan PTSD. Tolong kebijaksanaannya. Terima kasih.

***

Irawan menata rambutnya dan mengeratkan jaket kulit berwarna marun itu sekali lagi sebelum akhirnya menemui ayahnya, "Pa, ini gimana? Bagus?"

"Udah ganteng kok. Oh, ini ada satu lagi," Giyanta kembali masuk ke kamarnya dan keluar dengan headphone berwarna merah di tangannya. Pria itu langsung mengalungkan headphone itu ke leher anak sulungnya, "Selamat ulang tahun ke 17, Anakku."

"Makasih, Pa!" Irawan tersenyum lebar lalu memeluk ayahnya, "Meski ini udah ucapan ke tiga dari Papa sejak tadi pagi, tapi makasih hadiahnya. Bakal aku jaga."

Tin! Tin!

"Giyanta! Udah siap?" Rahandika berteriak dari luar untuk memastikan apakah kekuarga kawannya sudah selesai bersiap.

"Sudah!" Giyanta membalas dari dalam rumah. Ia kemudian menaruh diska lepas dengan gantungan dua manik-manik yang bertuliskan 'GARDAPATI' ke tangan Irawan, "Bawa ini. Kamu duluan sama adek-adekmu sama keluarga Om Rahandika atau Om Eka." Anak itu mengangguk lalu mengajak ketiga adiknya keluar rumah duluan selagi ayahnya mengunci rumah.

"Siapa yang mau ikut Om Rahandika siapa yang mau ikut Om Eka?" Eka pun mencoba mengatur tempat duduk keempat anak Giyanta.

"Aku mau sama Om Rahandika," Irawan memutuskan paling awal. Ia kemudian melihat ke Jati yang mengangguk, "Aku ikut Kak Irawan."

"Berarti aku sama Kak Anton sama Om Eka," Marendra menyimpulkan bagian dirinya dan Anton duduk, "Berarti sama Jinora juga di belakang, Om?"

"Iya kalian berdua sama Jinora. Ga apa 'kan?" Eka mengonfirmasi kesediaan dua anak itu. Anton mengangguk saja dan Marenda menjawab, "Gak masalah kok."

"Sebenernya mobilku masih cukup buat satu orang lagi sih," Rahandika kemudian menopang dagu dan secara tidak sengaja melihat ke arah rumah keluarga Gardapati, "Giyanta! Ayo sekalian naik mobil aja!"

Giyanta menggeleng dan tetap mendekati motornya, "Kalian udah pas 'kan?"

"Sekalian aja berangkatnya. Masa rambutmu udah rapi begitu mau pake helm?"

Pria itu menaruh helm dan mendekati kawannya, "Kalau naik mobil berapa menit dari sini ke tempat?"

"Sekitar 18 menit sih kalau lihat di Google Maps," Rahandika memberi jawaban setelah melihat ponselnya. Mendengar itu Giyanta menghela napas.

Apa ia bisa menahannya untuk 18 menit? Terakhir kali ia mencoba untuk naik di dalam mobil, itu hanya bertahan kurang dari 5 menit.

"Heh, ayo mangkat. Kalian berdua telat loh nanti. Masa artisnya telat," Eka menegur dua pria itu karena acaranya akan dimulai 30 menit lagi.

"Giyanta, ayo." Pria berkucir cepol itu akhirnya menutup gerbang garasinya dan bergabung bersama Jati dan Irawan di bagian kedua mobilnya Rahandika. Ia membiarkan Irawan masuk ke mobil terlebih dahulu baru kemudian Jati dan Giyanta duduk di ujung pintu sebelah kanan.

Begitu duduk, pria tersebut menarik napas dalam dan berusaha mengusir pikiran negatif yang mulai menghantui.

"Oke kita berangkat!" mobil Rahandika jalan terlebih dahulu dan diikuti oleh Eka di bagian belakang. Lima menit kemudian, rasa takut yang sempat ditekan tiba-tiba kembali menyerangnya. Mencekiknya perlahan namun pasti, membuat fokusnya menjadi kabur dan badannya gemetaran. Giyanta kembali mendengar suara klakson yang ia tekan hari itu dan juga tabrakan antara truk dengan mobilnya. Napasnya menjadi semakin berat. Sekarang ia bisa mendengar lagi suara badan mobil berpadu dengan tanah, terguling di lereng gunung. Jantungnya berdegup kencang. Pria itu mencoba memejamkan matanya, akan tetapi ia malah melihat wajah istrinya yang berlumuran darah. Saat kembali membuka mata, menggelengkan kepala, ia melihat tangannya sendiri seakan terluka dan belumuran darah.

The CureOnde histórias criam vida. Descubra agora