VOL.2 ABIYAN

24.6K 2.2K 86
                                    

Menginjak usia 28 tahun, Abiyan akhirnya tahu kenapa dulu kakeknya memiliki 2 istri. Sejarah keluarga mereka juga membuat Abiyan sadar kalau uang tidak menjamin segalanya bisa berjalan sesuai kehendak yang diinginkan.

Dari pengamatan Abiyan selama ini, beberapa saudaranya memiliki banyak uang tapi susah mendapatkan keturunan. Berbagai cara sudah mereka lakukan untuk mendapatkan itu. Bahkan mencoba ke luar negeri juga untuk segala proses yang mendukung.

Kalau Tuhan bilang 'belum saatnya' untuk hal itu, manusia bisa apa? Berusaha? Iya. Tapi tetap tidak akan membuahkan hasil kecuali memang sudah dikehendaki Sang Pencipta.

Sama seperti yang Abiyan dengar saat ini. Para ibu-ibu sedang berbicara di area dapur rumah kakeknya. Kebetulan hari ini mereka berkumpul untuk merayakan ulang tahun kakeknya yang entah ke berapa tahun.

"Nah, benar. Dia ngejar karir terus sampai lupa kalau umurnya udah mau kepala tiga."

"Gak kasihan dia sama ibunya yang udah gak ada ya. Padahal pas masih hidup, ibunya udah merengek mau dia nikah. Masih aja gak diantepin. Sekarang lihat, pasti nyesal dia."

"Iya, Mbak. Kalaupun nanti dia nikah, kasihan banget gak ada ibunya. Ayahnya juga gak tahu ke mana."

Abiyan mengerutkan kening mendengar obrolan ibu-ibu itu. Abiyan tahu siapa yang mereka bicarakan saat ini. Aneisha. Anak dari sepupu Akio, ayah Abiyan. Lebih tepatnya Akio dan ibu Ane terbilang cukup dekat dulunya. Akio menyayangi ibu Ane seperti pria itu menyayangi Nania, adiknya.

Menghela napas, Abiyan mengubah haluan langkahnya menuju lantai atas. Padahal ia ingin mengambil beberapa camilan dan minuman untuk menemaninya, tapi area dapur terasa kotor dan harus dihindari karena obrolan yang ada di sana.

"Mas Iyan, Bunda minta tolong boleh gak?"

Abiyan menoleh, lalu memutar tubuhnya menghadapi si pemanggil. Ia sudah menaiki undakan tangga dan turun kembali. Abiyan mengangguk dengan senyuman kecil di bibirnya.

"Acara Kakek ditunda karena ada beberapa kendala. Mungkin nanti malam baru dimulai. Nah, Ayah bikin ulah. Ayah nyuruh Bunda bikin--"

"Belanja?" potong Abiyan. Ia tahu kalau wanita di depannya itu lebih banyak merasa tidak enak menyuruhnya membeli ini dan itu. Padahal Abiyan lebih suka jika sang ibu terus terang dan bersikap biasa saja.

"Maaf ya, Sayang. Bunda repotin. Soalnya bahan-bahan yang dibutuhkan gak ada juga. Kamu cuma nemenin kok. Yang belanja nanti Ane," ringis ibu Abiyan, Alina.

"Oke. Aku tunggu di mobil kalau gitu," kekeh Abiyan sembari mendekat dan mengecup pipi Alina.

Alina tersenyum lebar memperhatikan Abiyan yang kini melangkah keluar rumah. Anak lelakinya itu sudah tumbuh dewasa. Rasanya sungguh cepat dan Alina tidak bisa mengulang momen menyenangkan menimang bayi di gendongannya lagi.

Setelah melahirkan Abiyan, Alina sudah berjanji pada dirinya sendiri kalau ia akan memberikan banyak anak untuk Akio. Tapi Tuhan berkata lain. Setiap Alina hamil kembali, selalu ia kehilangan janin di rahimnya. Kandungannya lemah dan mudah keguguran. Bahkan Alina hampir merengut nyawa di keguguran terakhirnya.

Masih jelas di ingatan Alina bagaimana ia selamat dan tersadar saat itu. Wajah kacau Akio menjadi pemandangan menyakitkan untuknya. Ditambah lagi Akio memohon kepada Alina untuk mensterilkan rahimnya. Akio lebih baik tidak punya anak lagi daripada bertaruh harus kehilangan Alina.

"Tante, jadi?"

Alina tersentak mendengar seorang wanita bertanya padanya. Lamunan Alina buyar. Bisa-bisanya ia melamun di saat seperti ini. Alina tersenyum menatap wanita di depannya.

SHORT STORY 2021 - 2022 (END)Where stories live. Discover now