Arisha (End)

21K 2.3K 51
                                    

Kara meraih sebelah tangan Asha. Ia genggam, lalu ada dorongan kuat untuk ia mengecup telapak tangan itu. Asha tertidur setelah diberi obat oleh dokter. Wanita itu demam tinggi. Meski tadi panasnya seperti ingin membakar kulit yang bersentuhan dengannya, kini suhunya sudah sedikit turun.

Dari mobil tadi, Kara yang menggendong Asha untuk dibawa ke dalam rumah sakit. Asha tidak sanggup bahkan sekadar untuk berdiri. Tubuhnya lemah dengan wajah yang sangat pucat.

"Kamu terlalu mudah diperdaya oleh pria sebrengsek Abib," gumam Kara.

Kara masih ingat dengan jelas bagaimana Abib terang-terangan mengabaikan Asha saat di rumah nenek mereka tadi. Kara yakin posisi Asha saat itu serba salah. Bahkan butuh beberapa menit bagi Kara untuk mempersiapkan diri masuk ke ruang tamu dan bergabung seolah ia tidak mengetahui apa yang terjadi sebelumnya.

Abib memang belum selesai dengan masa lalunya. Wanita yang sudah melahirkan 2 anak untuk Abib adalah mantan kekasih Kara. Mereka menyudahi hubungan asmara yang hampir berlabuh ke pernikahan karena ibu Kara tidak menyetujuinya.

"Mami benar, yang paling lama mengenal belum tentu menjadi yang paling tahu segala hal."

Kara tidak pernah menyesal melepaskan wanita itu. Bahkan ketika wanita tersebut bertunangan dengan Abib, Kara juga tidak menunjukkan sifat bencinya. Kara bahkan terang-terangan memberikan selamat untuk keduanya.

Tapi takdir tidak ada yang tahu. Abib kembali berulah sehingga wanita itu pergi meninggalkannya. Dan fakta lain diketahui selanjutnya ketika wanita itu mengandung anak Abib. Kembar.

"Kara,"

Kara menoleh. Ia meletakkan tangan Asha dengan pelan, lalu beranjak untuk memeluk seseorang yang baru saja masuk ke ruang perawatan Asha.

"Papi gak marah, kan?" tanya Kara.

"Enggak. Papi lagi di bawah sama sopir. Mau ngopi katanya. Kamu tinggal aja biar Mami yang jaga."

"Makasih, Mi. Aku bakal selesain semuanya dengan cepat kok."

Wanita yang melahirkan Kara itu tersenyum sembari menepuk lengan putranya. Ia menatap ranjang pasien saat Kara sudah keluar dari sana.

"Terima kasih karena sudah membuat Kara selalu semangat bekerja."

Ibu Kara tersenyum menatap wajah lelap Asha. Ia bersyukur untuk kehadiran Asha di perusahaan Kara. Entah kapan dimulainya perasaan itu, tapi ibu Kara tahu kalau putra semata wayangnya sedang tergila-gila pada wanita bernama Arisha Luana di depannya ini.

Feeling seolah ibu tidak pernah salah. Ketika ia bertanya pada Kara, pria itu menjawab dengan tegas kalau ia memang menyukai Asha. Hanya saja Kara tidak berani bergerak untuk sekadar mengajak Asha berkencan. Kara terlalu memikirkan ketakutan ditolak dan mereka akan merasa canggung.

"Perempuan baik seperti kamu pantas mendapatkan yang lebih baik. Dan orang itu bukan Abib. Kamu harus membuka mata, Arisha. Kara jauh lebih baik. Bahkan untuk membuat kamu tetap nyaman bekerja dengannya, Kara rela menahan diri dengan perasaan tersiksa selama ini."

Ibu Kara menghela napas. Ia tahu Asha tidak akan mendengar keluh kesahnya. Tapi ia tetap nekat mengutarakan semua yang mengganjal di hatinya selama ini. Sejak lama ia ingin turun tangan langsung untuk membantu sang putra agar mendapatkan wanita pujaannya, tapi ia tahu kalau itu tidak akan disukai oleh Kara.

"Kara bukan pria yang baik dalam berperilaku. Saya akui dia juga kadang membantah perkataan saya. Bahkan pernah adu tinju dengan Papinya. Tapi Kara bukan pria yang tidak memiliki alasan jika melakukan sesuatu. Dia membantah saya karena saya terlalu memaksa ingin menjodohkannya dengan wanita yang bukan tipenya. Lalu berani adu tinju dengan suami saya karena saat itu suami saya juga salah karena membentak saya hingga saya menangis. Kara pria yang penuh cinta. Kalau kamu tidak bisa mendapatkan Kara, kamu benar-benar akan merugi."

SHORT STORY 2021 - 2022 (END)Onde histórias criam vida. Descubra agora