Hot Lecturer

29.9K 2.1K 42
                                    

Langkah seseorang terdengar mendekat sehingga wanita yang awalnya fokus pada layar ponsel kini mendongak. Senyum tipisnya terbit saat melihat siapa yang datang. Ia menggeser tubuhnya sedikit untuk memberi ruang agar seseorang itu bisa duduk di sebelahnya.

"Kamu udah lama?" tanya orang itu.

"Lumayan. Tadi acaranya lebih cepat selesai. Jadi aku milih nunggu di sini ketimbang balik ke rumah."

Orang itu mengangguk, lalu menghadapkan tubuhnya ke lawna bicaranya. Raut wajahnya berubah serius meski bibirnya menyunggingkan senyum lembut.

"Ly, Papa kamu minta ketemu."

Lily, wanita 28 tahun yang menjadi lawan bicaranya seketika membuang muka dan menghela napas panjang. Lama Lily terdiam sebelum ia menatap ke arahnya.

"Papa masih gangguin Ibu?" tanya Lily.

Orang itu menggeleng pelan. "Gak. Bukan saya yang ketemu Papa kamu. Tapi Davin. Papa kamu mau ketemu kamu sebelum dia berangkat besok."

Lily kembali menghela napas. Meski pernikahan ayahnya dan ibu tirinya sudah usai, tapi mantan istri ayahnya itu yang masih setia memperhatikannya hingga sekarang. Padahal wanita itu sudah menikah dan kini tengah mengandung anak kedua.

"Papa jadi pergi?" gumam Lily dengan nada sedih.

Willy, wanita yang duduk di sebelah Lily seketika menatap iba pada wanita itu. Meski Lily bukan anak kandungnya, tapi ia tidak bisa membohongi diri kalau rasa sayangnya terhadap wanita itu jelas ada. Lily tidak bersalah. Semua kejadian yang membuat Willy dendam bukan salah Lily. Melainkan kesalahan orangtua wanita itu di masa lalu.

"Saya gak mau maksa kamu. Tapi, semua orang berhak meminta maaf dan dimaafkan. Papa kamu sudah terbukti gak bersalah. Dia dijebak. Kamu seharusnya bisa--"

"Aku tahu. Tapi aku masih belum bisa terima semuanya. Aku bingung. Aku gak tahu kehidupan yang seperti apa yang aku jalani sekarang. Aku selalu mikir kalau ini karma yang harus aku terima karena ulah Papa dan Mama."

"Hei, kamu gak boleh mikir begitu, Lily. Karma gak pernah salah alamat. Siapa yang berbuat, dia yang mendapatkan hasil. Kesalahan mereka, gak akan pernah berimbas pada kamu. Percaya sama saya, kamu berhak mendapatkan kehidupan yang jauh lebih baik ke depannya. Bersama pria idaman kamu. Saling mencintai. Hidup bahagia. Gak ada yang perlu kamu khawatirkan."

"Gak akan ada keluarga yang mau nerima wanita cacat seperti aku, Bu. Orangtuaku gak ada. Keluargaku gak jelas. Orang-orang pasti malu menerima aku."

Willy meraih kedua tangan Lily. Ia genggam tangan kurus nan dingin itu dengan hangat. Willy memaksa Lily untuk menatap matanya. Wanita itu harus kuat dan tidak boleh lemah.

"Ada. Kalau kamu mau, saya bisa kenalkan kamu dengan keluarga itu," kata Willy dengan yakin.

Lily menggeleng pelan, "gak mungkin. Aku pasti ditolak. Gak akan ada--"

"Ada, Lily. Kamu hanya perlu yakin dan percaya semua hal sudah Tuhan rencanakan dengan sempurna melebihi rencana makhluknya."

Lily terdiam. Meskipun ia ragu dengan harapannya, tapi kalimat Willy sedikit meyakinkannya. Apakah benar Lily punya harapan untuk bahagia? Ia butuh 3 tahun untuk bisa menerima takdir kalau sekarang ia hidup tanpa orangtua. Di mana saat itu ia tahu ayahnya masuk penjara dan berita kematian ibunya menyusul setelahnya. Dunia Lily benar-benar terguncang parah.

***

Lily memasuki sebuah ruangan asing. Ia baru sekali masuk ke sini dan itu tepat saat baru memulai pendidikannya di strata 2. Kini Lily kembali masuk lagi ke sini saat ia memulai strata 3 nya tapi dengan tujuan berbeda. Jika dulu karena panggilan beasiswa, maka kali ini karena urusan pribadi.

SHORT STORY 2021 - 2022 (END)Where stories live. Discover now