Painful Love - Afiza

18.2K 2.1K 40
                                    

Bekerja selama 3 tahun sebagai sekretaris seorang pria bernama William bukanlah hal mudah. Afiza, wanita 26 tahun yang akrab disapa Afi oleh keluarga serta sahabatnya dan Fiza oleh rekan kerjanya.

Afiza menatap pantulan dirinya yang kini terlihat kacau. Pipinya membiru dan sakit digerakkan. Ini sudah ia alami sejak lama. Jika saja dulu ibunya tidak menikah lagi, mungkin sekarang Afiza tidak akan menjadi sasaran kemarahan wanita itu.

"Afi! Keluar!"

Afiza tersentak mendengar seruan keras dari luar kamar. Apalagi kali ini yang akan dilakukan wanita yang melahirkannya itu pada tubuhnya? Apa Afiza akan kembali ditampar? Dicekik? Atau diinjak lagi?

Kadang Afiza ingin sekali pergi jauh dari kehidupan yang menyiksa seperti ini. Tapi mengingat ibunya tidak punya siapa pun selain dirinya, Afiza mengurungkan niatnya.

"Afiza!"

Menghela napas, Afiza keluar dari kamar. Ia menatap ibunya yang kini berkacak pinggang dengan tatapan penuh kemarahan padanya. Entah kenapa wanita itu sangat membenci Afiza sampai rela menyiksanya.

"Kenapa, Ma?"

"Kenapa kenapa! Ini! Tagihan bulan lalu kenapa belum kamu bayar?!"

"Udah Afi bayar, Ma. Buktinya masih Afi simpan kok."

"Jangan bohong kamu! Terus kenapa mereka datang minta uang lagi bawa surat ini?!"

Afiza menghela napas. Ayahnya pasti sedih melihat kondisi dan perlakuan yang Afiza dapatkan semenjak pria itu meninggalkannya untuk selamanya.

"Aku gak pernah bohong, Ma."

Afiza kembali ke dalam kamar untuk mengambil bukti pembayaran yang ia maksud, lalu memberikan bukti itu kepada ibunya. Mata ibu Afiza tajam dan teliti membaca setiap deretan kata yang tertulis di sana. Kepalanya mengangguk dan ia bedecak.

"Sialan. Pasti si brengsek itu ingin menipuku," desisnya.

Afiza membiarkan saja sang ibu berlalu pergi entah ke mana. Ia masuk ke dalam kamar, lalu mengunci pintunya. Afiza lelah. Setelah tadi datang sendirian pada acara rekan kerja William tanpa pria itu, lalu hampir dilecehkan oleh si pembuat acara, sampai di rumah pun Afiza malah kena tampar hingga membekas di pipinya. Ibunya memang temperamental dan ringan tangan.

Ponsel Afiza di atas kasur berdering nyaring. Panggilan masuk dari sahabatnya, Arum. Afiza tersenyum. Semoga saja ini kabar baik yang Ahza bawa.

"Halo, Rum?"

"Afi, gue ada kabar baik! Abang gue yang di Bali buka lowongan karyawan butik punya istrinya. Kalau lo mau, lo bisa langsung kerja di sana."

Awalnya Afiza bersyukur mendengar kata kabar baik yang Arum sampaikan. Tapi saat tahu tempatnya sangat jauh, berbeda pulau pula, Afiza jadi sedih.

"Jauh banget, Rum. Mama--"

"Afi, plis. Ini kesempatan lo buat hidup lebih baik lagi. Lo mau disiksa terus kayak gitu? Walaupun dia ibu kandung lo, tapi gue benci sama perlakuan kasarnya ke elo, Fi! Sekali aja lo kasih dia pelajaran. Biar dia tahu arti penting lo di hidupnya."

Arum memang benar. Afiza juga lelah disiksa terus. Tapi meninggalkan ibunya seorang diri di sini akan sangat berbahaya. Apalagi ayah tirinya pasti akan datang dan meminta uang pada ibunya. Atau yang lebih parah lagi bisa menyiksa wanita itu.

"Gue tahu maksud lo baik, Rum. Gue bakal pikirin dulu. Nanti gue kabarin lagi. Makasih ya," kata Afiza akhirnya.

"Oke. Kalau ada apa-apa langsung telpon gue, Fi. Jangan sembunyiin sendiri."

Afiza tersenyum tipis. Arum sangat perhatian sejak awal mereka berkenalan hingga menjadi sahabat sampai saat ini. Arum cukup beruntung, tidak seperti Afiza.

***

"Mbak Aza," Afiza memanggil Aza, rekan kerjanya sesama sekretaris sekaligus sepupu William.

Afiza merasa pusing sejak tiba di kantor. Perutnya juga mual dan beberapa kali terasa ingin muntah. Afiza tidak mau ia malah merepotkan nantinya jika terus bertahan di sini. Afiza ingin izin langsung pada Willia, tapi ia tidak punya kekuatan untuk sekadar melangkah mendekati ruangan sang bos.

"Hm."

"Saya titip ini boleh, Mbak? Saya pusing dan--"

"Saya juga pusing, Fiza! Kamu kira kamu sendiri yang--"

Afiza tidak lagi mendengar kelanjutan kalimat Aza karena pandangannya menggelap seketika dan kakinya tidak bisa menopang tubuhnya lagi. Afiza tidak sadarkan diri.

Saat ia kembali membuka mata, hal pertama yang Afiza lihat adalah langit-langit sebuah ruangan dan bau obat-obatan. Afiza meringis pelan sebelum berusaha duduk.

"Baring aja," ujar sebuah suara.

Afiza menoleh. Ia menemukan William tengah duduk di sofa yang tak jauh darinya. Kedua tangan pria itu bersidekap di dada. Matanya lurus menatap ke arah Afiza.

"Saya kenapa?" tanya Afiza.

William beranjak, lalu mengambil sesuatu dari atas nakas di sebelah ranjang pasien yang Afiza tempati. Ia memberikan sebuah kertas pada Afiza. Dengan tangan yang sedikit ragu Afiza meraihnya.

Afiza menghela napas lega. Ia hanya kelelahan dan banyak pikiran. Merasa tidak lagi pusing dan mual, Afiza turun dari ranjang pasien, lalu berjalan ke kamar mandi.

"Kapan terakhir kamu haid?" tanya William saat Afiza keluar dari kamar mandi.

Afiza mengernyit. Bukankah William harusnya tahu? Mereka sudah 2 tahun menjalani hubungan diam-diam. Bukan hubungan spesial di mana William mencintainya. Tapi hubungan yang saling menguntungkan.

William dapat kepuasan. Afiza dapat pemasukan keuangan tambahan.

"Saya lupa, Pak," jawab Afiza malas berpikir kapan terakhir ia mendapatkan tamu bulanannya.

"Kamu ingat perjanjian awal kita, kan?" tanya William lagi. Nada suaranya begitu dingin menusuk pendengaran Afiza.

"Ya."

William mengangguk. "Semua risiko kamu tanggung sendiri kalau sampai kamu lalai," ujarnya sembari beranjak dari ruang perawatan Afiza meninggalkan wanita itu dalam kesakitan yang tak kasat mata.

Afiza mengusap sudut matanya. Ia memilih duduk di kursi dekat ranjang pasien dengan kedua siku yang bertumpu di kasur. Telapak tangannya menjambak rambutnya dengan perasaan campur aduk.

Apa ini saatnya Afiza meninggalkan semua yang ada di sini dan memulai kehidupan barunya jauh dari sini? Afiza mencintai William. Entah sejak kapan perasaan gila itu bersarang di hatinya. Meski William hanya menggunakan tubuhnya untuk kepuasan semata dan tidak pernah ada perasaan apa pun untuknya, Afiza tetap nekat mencintai pria dingin bermulut tajam itu.

Afiza beranjak, ia mengulurkan tangan meraih gagang pintu saat suara orang yang ia kenali terdengar begitu tenang mengalun di luar sana. Afiza menggenggam gagang pintu semakin erat bersamaan dengan satu tetes bulir bening jatuh dari matanya.

Ya, Afiza menjadi sangat yakin saat ini untuk meninggalkan semuanya. Termasuk sang ibu dan kesakitan yang tercipta di sini. Karena sampai kapan pun Afiza berharap agar William melihatnya sebagai seorang yang pantas diberi ruang dalam hatinya, hal itu tidak akan pernah terjadi.

'William benar-benar melamar Mbak Aza,' batin Afiza dengan tangan yang tanpa sadar sudah membuka pintu, lalu kakinya juga melangkah keluar.

"P--Pak, saya duluan," pamitnya.

***







Di pdf nanti hubungan nananinu Afiza sama Will di ruang rapat yang gak sengaja diliat Aza bakal aku jelasin wkwk

Sabaaaaaarrrr yaa sultonah yang ikutan PO🌚

Ntar sahur up lagi.
Tapi kalo udah 1,5K sebelum sahur sabilah up cepet💆🏻‍♀

Btw, ada promo tuh di IG!
Berlaku dari tanggal 5 sampai 7 April. Jangan kelewatan ya sayang ya.

Gudnaik!

Hujan nih enak bgt kalo...

SHORT STORY 2021 - 2022 (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang