Arum (End)

19.5K 2.2K 116
                                    

Ternyata patah hati berpengaruh besar pada pandangan Arum akan seorang pria. Arum mengira semua pria sama saja kecuali ayah dan abangnya. Hanya 2 pria itu yang Arum anggap tulus dalam mencintai pasangan. Mungkin suami Afiza juga.

Bicara soal Afiza, wanita itu baru saja pergi. Ia datang untuk menjenguk Arum bersama William dan anak mereka. Keadaan Arum memang sudah membaik, tapi ia belum diperbolehkan keluar dari rumah sakit sampai kondisinya benar-benar pulih total.

Sebenarnya bisa saja Arum melalui proses pemulihan di rumah saja. Tapi ibunya yang keras kepala ingin Arum tetap dirawat agar bisa diawasi langsung oleh dokter. Entahlah. Arum merasa ibunya mulai aneh dan semakin konyol.

Karena tadi ada Afiza, maka ibu Arum meninggalkan mereka agar bisa mengobrol. Sedangkan wanita itu pamit pulang sebentar untuk mengambil keperluan Arum selama beberapa waktu dirawat lagi. Dan kini Afiza sudah pulang sehingga Arum tinggal sendirian.

Pintu ruang inap Arum terbuka, lalu masuk seseorang yang membuat Arum menahan napas dengan jantung yang berdetak menggila. Ingatan jahat dan setiap kalimat tak berperasaan yang pernah ia dengar seketika memenuhi benaknya.

"Hai," sapa orang itu dengan senyuman manis.

Lama Arum menatap wajah yang kini entah kenapa membuatnya muak. Ia berdebar bukan karena masih ada perasaan cinta. Melainkan karena benci dan jijik menatap wajah lugu tak berdosa itu.

"Siapa yang mengizinkanmu masuk ke sini?" tanya Arum dingin.

"Aku ingin menjengukmu. Sebagai mantan tunangan, kita gak harus musuhan, Ahza."

Arum benci dipanggil Ahza. Nama depannya memang benar itu. Tapi jika yang menyebutnya mulut sialan pria di depannya, maka Arum tidak sudi mendengarnya.

"Keluar," usir Arum tanpa mengalihkan tatapan tajamnya pada pria itu.

"Aku ke sini hanya ingin menjengukmu. Katanya kakimu patah. Apa--"

"Jangan kurang ajar!" seru Arum menarik kakinya yang hendak disentuh oleh pria berhati iblis itu.

"Ahza Rumaisa. Sekarang aku tahu kenapa gak ada cowok yang mau sama kamu selain aku. Buktinya pacar pertama kamu aku dan putus denganku kamu tidak lagi dekat dengan siapa pun. Gak laku, hm?"

Arum memejamkan mata sembari menarik napas dalam-dalam sebelum ia hembuskan perlahan. Arum tidak mau terpancing emosi hanya karena pria brengsek seperti Zen.

"Selamat sore," sapa seseorang yang baru saja masuk.

Arum menatap Damar yang kini melangkah ke arahnya. Pria itu tidak sedang mengenakan jas dokter kebanggaannya. Damar tampak berbeda dengan setelan kemeja serta celana bahan yang dikenakannya saat ini. Tubuh kekarnya terbalut sempurna. Jika Arum bandingkan dengan tubuh Zen yang tinggi kurus, Damar jelas unggul. Soal tampang juga Damar menang jauh.

"Dia siapa?" tanya Zen sambil menatap Damar.

"Dia--"

"Saya calon suami Arum," jawab Damar memotong ucapan Arum.

Entah apa yang membuat Damar harus berakhir di sini. Ia hanya mengikuti nalurinya. Sejak kejadian kemarin pagi, Damar selalu dihantui oleh wajah Arum. Wanita itu seolah sedang menggodanya dengan halus. Bahkan pikiran liar Damar selalu bekerja dengan baik setiap membayangkan lekuk tubuh Arum. Ditambah lagi dengan kalimat pendukung kemolekan tubuh wanita itu yang di deskripsikan oleh ibu Arum.

"A--apa?" Zen tergagap. Calon suami Arum? Mana mungkin!

"Ahza, kamu gak mungkin--"

"Calon istri saya butuh istirahat. Kalau Anda tidak ada kepentingan apa pun, pintu keluarnya di sana."

SHORT STORY 2021 - 2022 (END)Wo Geschichten leben. Entdecke jetzt