Afiza (2)

16.3K 2.1K 35
                                    

William memasuki kantor dengan langkah lebar nan tergesa. Perasaannya tidak tenang sejak Afiza meninggalkan rumah sakit tanpanya. Wanita itu belum pulih. Suhu panas tubuhnya mungkin sudah turun, tapi kondisinya masih sangat lemah. Apalagi dokter menyarankan agar Afiza istirahat beberapa hari ke depannya.

Afiza tidak ada di balik meja kerjanya. Tempat itu sedikit berantakan dengan tas kerja Afiza di atasnya terbuka lebar. William mendekat untuk melihat isi tas tersebut. Perhatiannya teralihkan dari ponsel Afiza yang ada di dalam tas saat telepon kantor di meja itu berbunyi.

William mengangkat panggilan masuk entah dari siapa. Ia diam dan mendengarkan siapa yang menghubungi Afiza saat ini.

"Selamat pagi, Nona cantik. Bagaimana tidurmu? Apa nyenyak? Aku bahkan tidak bisa tidur membayangkan lekuk tubuh indah milikmu. Kamu sungguh sempurna. Bagaimana kalau malam ini kita--"

Sambungan itu William tutup begitu saja ketika ia mengenal dengan baik siapa pemilik suara di sebrang sana. Rahang William mengeras. Kedua tangannya terkepal erat membayangkan hal gila apa yang sudah Afiza dan pria itu lakukan di belakangnya. Apa Afiza berniat mengkhianatinya?

"Brengsek," umpat William sambil berlalu ke dalam ruangannya.

William menghubungi pihak hotel yang tadi malam menjadi tempat berlangsungnya acara rekan kerja perusahaannya. William menanyakan beberapa hal hingga sebuah fakta terungkap dan hatinya semakin mendidih. Tidak salah jika William mempunyai beberapa orang kepercayaan di sana yang siap melaporkan apa saja.

Usai mendapatkan informasi penting itu, William membuka ponsel dan mengecek kamera pengawas untuk mengetahui apakah Afiza kembali ke kantor atau tidak. Benar saja, wanita itu kembali tak lama sebelum William menyusul.

William bangkit dari duduknya dan berlari kecil menuju toilet karyawan di mana Afiza berada. William harus memastikan wanita itu baik-baik saja dan tidak pingsan lagi di dalam sana. Apalagi ini sudah 20 menit berlalu dan Afiza belum keluar.

Tidak perlu mengetuk atau memberikan kode apa pun untuk orang di dalam toilet. William langsung masuk dan langkahnya terhenti seketika saat Afiza menoleh dengan ekspresi terkejut padanya.

Afiza yang tengah memegang foundation untuk menutupi memar di pipi dan dagunya seketika tersentak sehingga barang yang ia pegang terlepas dan pecah di lantai. Wajahnya baru saja ia bersihkan dan belum terpoleskan apa pun untuk menutupi memar biru di sana.

"Muka kamu--"

"Jangan mendekat!" Afiza mundur selangkah saat William bergerak maju tanpa menghiraukan peringatan wanita itu.

Afiza memilih kabur ke dalam salah satu bilik toilet yang dekat dengannya, ia mengunci pintu dan memejamkan mata saat William menggedor dengan kuat.

"Buka pintunya, Afiza!" seru William.

Perasaan William campur aduk saat ini. Sejak informasi dari hotel tentang Afiza yang hampir dilecehkan oleh rekan bisnisnya, kini mata William harus melihat memar sialan di wajah cantik Afiza.

Sungguh, 3 tahun bekerja di sini dan 2 tahun menjadi rekan penghangat ranjang William, ia tidak pernah sekalipun berbuat kasar pada wanita itu. Apalagi sampai meninggalkan bekas biru seperti tadi. Kecuali bekas bibir mungkin sudah banyak dan sering.

"Afiza!"

Afiza duduk di atas closet. Kedua telapak tangannya ia gunakan menutup wajahnya. Isakan pelannya terdengar menyayat hati. William bisa mendengar itu sehingga ia semakin frustasi ingin segera masuk dan melihat keadaan Afiza dengan lekat.

Tadinya, Afiza hanya ingin memperbaiki make up nya. Afiza juga berencana untuk menyelesaikan pekerjaannya dengan baik hari ini. Hari di mana ia akan bekerja sebagai sekretaris William untuk terakhir kalinya.

Ya, Afiza sudah mengatakan pada Arum kalau ia menerima tawaran wanita itu. Arum senang dan membantu Afiza untuk mengurus beberapa keperluan agar bisa terbang besok pagi. Tapi kedatangan William yang tiba-tiba begini membuat Afiza seketika blank. Afiza lemah jika William sampai kembali menyentuhnya. Pria itu selalu tahu cara membuat Afiza bimbang.

William menghubungi staf kebersihan bersamaan dengan bunyi pintu yang terbuka. William mendorong pintu dan masuk ke dalam bilik kecil itu untuk melihat Afiza.

"Pipi kamu kenapa?"

"Jatuh," jawab Afiza.

William membingungkan. Kadang sikapnya begitu lembut dan perhatian membuat Afiza merasa dicintai. Tapi di sisi lain, pria itu terang-terangan menyukai Aza dan ingin menikahinya. Tapi Afiza tidak tahu kalau William melamar Aza tadi malam. Pantas saja pria itu tidak datang sesuai waktu yang ditentukan dari awal. Afiza sungguh menyedihkan.

"Jangan bohong, Afiza," tekan William pada nama Afiza.

Afiza mengalihkan wajahnya ke samping saat William mengulurkan tangan hendak menyentuh pipinya. Afiza tahu William benci ditolak. Ia pastikan juga pria itu akan marah sehingga yang Afiza lakukan hanyalah memejamkan mata menunggu hal itu terjadi.

"Ke ruanganku," kata William.

William pergi lebih dulu dari sana. Ia akan menunggu Afiza di ruangannya. Banyak pertanyaan yang ingin William tanyakan langsung pada wanita itu.

Melihat William pergi, Afiza menghela napas. Ia meraih masker yang tadi dibawanya, lalu mengenakan benda itu untuk menutupi setengah wajahnya.

Dari dalam ruang kerjanya William bisa melihat Afiza kembali ke mejanya. William masih menunggu dengan sabar. Tapi keningnya mengernyit saat Afiza meraih tas, lalu pergi dari sana dengan tergesa.

William mengerang kesal. Ia berlari keluar dari ruangan untuk mengejar langkah Afiza menuju lift. Dibiarkannya wanita itu masuk lebih dulu sebelum ia ikut menyusul.

Afiza jelas ketakutan. Apalagi wajah William sangat kentara sekali menahan amarah. Pria itu mendekat dan membiarkan pintu lift tertutup dengan rapat. Afiza mundur bersamaan dengan langkah William yang semakin dekat. Punggung Afiza sudah mentok menyentuh dinding lift saat William masih belum menghentikan langkahnya.

"Kamu mau kita selesaikan di sini, hm?" tanya William dengan nada rendah yang membuat tubuh Afiza meremang.

"P--Pak... Ini di kantor..." Afiza menahan dada William tapi disingkirkan oleh pria itu.

Kedua pergelangan tangan Afiza ditahan oleh William di sebelah kepalanya. Afiza menelan ludah. Ia ingin berteriak, tapi siapa yang akan menolongnya? Mereka terjebak di dalam kotak besi kecil yang saat ini hampir mendekati lobi.

"Bukannya kita sering melakukannya di kantor? Hanya di lift saja yang belum," ujar William.

William membuka masker di wajah Afiza dengan giginya. Ia tarik tali masker di telinga Afiza sehingga kini ia bisa melihat wajah polos Afiza tanpa polesan make up. Lebih cantik natural seperti ini. Tapi William kesal melihat memar yang ada di pipinya.

Afiza memejamkan mata. Ia tidak kuat melawan saat ini apalagi ia tahu tenaga William sekuat apa. Bahkan ketika dadanya dan dada bidang William saling bersentuhan, Afiza hanya bisa menahan napas.

"Kamu milik aku, Afiza. Kamu gak akan bisa lari ke mana pun mulai saat ini."

William menekan bibirnya ke bibir Afiza. Tidak ada cumbuan yang ditakuti oleh Afiza. Tidak ada unsur kasar di sana. William sungguh lembut kali ini dan itu membuat Afiza semakin bingung.

Kedua tangan William melepaskan pergelangan tangan Afiza. Sebelah lengan kekarnya membelit pinggang ramping Afiza dan sebelah lengan lagi melonggarkan simpul dasi miliknya.

"Apa kita harus bercinta di sini?" bisik William dalam cumbuannya.

***



Hayoloh... Puasa...

Ending siap buka aja ya. Ini bakal ada grepean tipis🌚💦

Tapi kalo vote sampai 2k sebelum buka, terpaksa di up sih💆🏻‍♀

SHORT STORY 2021 - 2022 (END)Where stories live. Discover now