58. Are You Ready?

1.1K 150 100
                                    

[Sorry for typo(s)]

***
I wish... I could see my dad
***

Louis POV

"Aku turut berduka cita, Louis."

Aku memaksakan diri untuk tersenyum walaupun ini terasa begitu sulit.

"Thanks."

Aku kembali menatap kosong lantai rumah sakit. Bau obat yang terhirup oleh indra penciumanku buatku muak berada di tempat ini.

"Louis?"

Aku menegakkan kepalaku, melihat Lottie dan Fizzy yang menatapku dengan mata memerah. Tanpa fikir panjang, aku langsung bangkit dari dudukku dan memeluk mereka. Aku memeluk keduanya begitu erat karena kini hanya mereka yang menjadi penyemangatku.

"Aku tak bisa kehilangannya. Ia bahkan belum melihat cincin yang kubeli untuknya. Mengapa semua orang meninggalkanku?"

Aku tak dapat membendung air mataku yang mengalir begitu deras. Lottie dan Fizzy melepas pelukanku, mereka menatapku dengan nafas yang tersengal karena tangis.

"Kau harus mencoba untuk mencari penggantinya, ia ingin kau bahagia."

"Tapi kebahagiaanku adalah mereka."

"Maka temukan dia."

Aku menatap Lottie yang baru saja bicara.

"Jika kau mencintai El, jika ia adalah kebahagiaanmu, kau tak akan menyerah untuk menemukannya."

"Aku tak pernah menyerah. Hanya saja -"

"Hanya saja kau berhenti berharap? Begitu? Louis, mom memintamu untuk mencari pengganti El karena ia ingin kau bahagia, mom ingin melihat kau bahagia bahkan setelah... Setelah ia.... Ehem... Setelah ia tiada. Sekarang ia telah pergi, Louis. Namun ia tetap ingin melihatmu bahagia."

Aku terdiam di tempatku, tak tahu harus apa. Ini terlalu banyak untuk ku.

"Aku tak pernah menyerah," ucapku dengan suara parau. "Ia yang memintaku untuk tak menemukannya."

Aku memejamkan mataku. Sekelebat memori kembali bermain dalam fikiranku. Memori yang mengingatkan ketika ia pergi, memori yang mampu membuatku hancur berulang kali hanya karena kepergiannya. Aku terus bertahan, tak ada sedikitpun keinginan untuk menyerah, dia harus tau jika aku sedang berjuang untuk membuktikan bahwa aku layak untuknya, dia harus tahu jika ia pantas untuk dinanti dan diperjuangkan.

Namun harapanku sedikit demi sedikit mulai pupus karena hingga kini, tak ada sedikitpun kabar darinya.

Tiga tahun ini terlalu banyak untuk aku tangani. Kehilangan El dan meninggalnya ibuku adalah yang terburuk dari semuanya.

Aku menggelengkan kepalaku ketika memori kehilangan El tergantikan dengan senyum ibuku yang terbaring di rumah sakit. Aku tak mengerti bagaimana bisa ia sekuat itu. Bertahan dengan penyakit yang menyerangnya, mengurus keluarganya, dan yang paling penting, ia masih mampu tersenyum di atas semua kesakitan yang ia rasakan.

Jangan kau kira aku tak hancur setiap kali mendengarnya mulai merintih kesakitan. Jangan kau kira aku tak ketakutan setiap mendengar kabar jika ia masuk rumah sakit.

Dan di sinilah aku sekarang. Di depan kamar rawat mom yang baru saja pergi 30 menit yang lalu. Ini lucu karena seorang anak laki - laki tertua tak bisa berhenti menangis karena kehilangan ibunya, bahkan aku ragu apakah aku memiliki kaki atau tidak karena kini aku tak mampu meraskan kakiku.

Change My MindWhere stories live. Discover now