Epilog

1.4K 125 59
                                    

[Sorry for typo(s)]

***
Its not how big the house is, its how happy the house is.
***

Louis' PoV

Senyum kecil tercetak tipis di wajahku ketika menatap figur mungilnya yang terlelap dalam pelukanku. Jemariku dengan lembut begerak mengikuti bentuk wajahnya, mengagumi bagaimana seorang malaikat sepertinya bisa berada dalam pelukanku. Aku mencondongkan tubuhku, mencium keningnya dalam dan penuh perasaan yang tak mampu kujelaskan.

Nafasnya kini telah teratur, tak lagi memburu seperti satu jam yang lalu. Hanya jejak keringat yang nampak samar - samar lah yang menjadi tanda pergulatan kami malam ini.

Tanganku bergerak perlahan, mengusap lembut rambut coklat bergelombangnya  yang tergerai dengan sempurna menyelimuti lenganku sembari menyisir rambutnya yang setengah basah dengan jariku. Aku menahan nafasku ketika Eleanor mengerang kecil, ia merubah posisinya menghadapku. Tangannya bergerak memelukku sedangkan kepalanya mencari lekuk leherku dan mengistirahatkannya di sana.

"Kau tak tahu betapa aku mencintaimu. Tak ada yang dapat menjelaskan seberapa dalam aku mencintaimu. Kau duniaku dan kau adalah alasan kebahagiaanku di dunia," bisikku tulus. Aku kembali merasakan ia bergerak dalam pelukanku hingga buatku mengeratkan pelukanku padanya.

"Sshh... It's alright. I'm here." Aku kembali menggerakkan tanganku dan mengusap lembut rambutnya.

"Lou..."

"Yes love?" Kedua matanya terbuka perlahan, memperlihatkanku kedua iris coklatnya yang menatapku sayup - sayup.

"Jam berapa ini?" Aku menggerakkan kepalaku untuk melihat jam digital di nakas yang menunjukkan setengah tiga dini hari.

"Setengah tiga. Kembalilah tidur, Els." Eleanor memejamkan matanya sesaat bersamaan denganku yang kembali mencium keningnya.

"Mengapa masih terjaga?" Tangan El kini bergerak mengusap wajahku, menyingkirkan rambut yang menutupi keningku serta menyisirnya lembut dengan jarinya.

"Aku takut," jawabku buat El menghentikan usapannya.

"Ada apa?"

Aku menghembuskan nafas kasar sebelum menepuk dada telanjangku, memintanya agar membaringkan kepalanya di sana. Eleanor menuruti keinginanku, ia berbaring di sana dan mulai membuat pola mengikuti tinta tattoo di dadaku.

"Aku takut jika aku tertidur, kau akan hilang. Aku takut kau akan pergi lagi..."

Aku memejamkan mataku, berusaha menghalau kenangan buruk yang selalu menghantuiku disaat aku tak bersamanya, bahkan disaat aku tertidur.

"Aku takut jika ini hanya mimpi karena ini terlalu indah untuk menjadi kenyataan. Semua angan - angan manisku bersamamu kini terwujud. Memiliki sebuah keluarga bersamamu, menjadikanku laki - laki paling beruntung karena akhirnya aku mampu mengubah nama belakangmu menjadi Tomlinson, serta memikiki sepasang kembar yang begitu lucu dan menggemaskan. Kau tahu jika itu semua adalah seluruh angan - angan yang selalu kuimpikan. Aku tak tahu kebaikan apa yang kulakukan sehingga Tuhan mengabulkan semua keinginanku. Aku takut jika ini hanya ilusi yang dibuat kepalaku. Aku takut - "

Aku tak menyelesaikan ucapanku ketika  ia mengecup bibirku kilat. Eleanor merubah posisinya menjadi duduk, ia menarik sedikit selimut yang sedang kami pakai untuk menutupi tubuhnya yang tak terbalut sehelai benangpun. Aku terkesiap dan ikut merubah posisiku menjadi duduk ketika ia menatapku dengan mata yang berkaca - kaca.

Change My MindDonde viven las historias. Descúbrelo ahora