Mandrakanta

20.4K 2.5K 83
                                    

"Beneran lo mau pulang jam segini, Ta?" tanya Lili sekali lagi pada Grahita. Hari sudah menjelang subuh dan Lili ingin gadis itu menginap di rumahnya.

Grahita mengangguk mantap, "Iya Li, gue besok mau ada meeting. Nggak mungkin gue nginep di sini 'kan? Sementara baju gue di rumah semua."

Lili hanya bisa pasrah. Ia tak bisa menahan Grahita lagi. Padahal saat ini sudah pukul 12 malam lebih dan anggota keluarga lainnya sudah terlelap. Mereka terlalu banyak bercerita hingga lupa waktu. Mungkin jika alarm Lili tak menyala tepat jam 12, mungkin mereka bisa sampai subuh.

"Hati-hati, Ta. Sampai rumah lo kabari gue ya?" kata Lili kemudian. Seperti biasa, Lili adalah gadis yang care.

Grahita mengangguk, lalu melambaikan tangannya pada Lili dan bersiap untuk meninggalkan rumah Lili. Ketika di jalanan, Grahita melajukan mobilnya di atas rata-rata karena jalanan lengang, selain itu juga lebih efisien waktu.

Jika biasanya memerlukan hampir 45 menit jarak rumah Lili dengan rumah sang eyang, Grahita kini dapat menempuhnya hanya selama 30 menit. Gadis itu langsung memasukkan mobilnya begitu petugas keamanan membuka gerbang tinggi tersebut.

Rumah nampak sepi, hal itu membuat Grahita berjalan santai menuju dapur karena ia mengambil beberapa rempah-rempah yang ada di restoran. Gadis itu meletakkan rempah tersebut di dapur untuk stok di rumah. Saat langkahnya mengayun menuju kamarnya, sebuah suara menginterupsi dirinya.

"Darimana kamu baru pulang jam segini?"

Grahita membalikkan badannya. Matanya menatap perempuan setengah baya yang mengenakan piyama putih.

"Penting untuk anda ketahui?" tanya Grahita tenang.

Diana nampak sewot. Perempuan itu tersenyum mengejek.

"Jangan-jangan kamu habis ke diskotik dan bermain di sana. Dih, menjijikkan. Memang pergaulan orang yang pernah tinggal di luar negeri itu sangat bebas dan ngawur! Apalagi bentuknya kayak kamu itu!"

Grahita rasanya sangat ingin tertawa mendengar asumsi ngawur Diana. Biasanya orang yang tak pernah melihat fakta secara langsung dan berbicara seakan ia mengetahui adalah ciri orang munafik baginya.

"Halah ngaku aja! Kamu sok-sokan baik padahal begajulan juga 'kan? Jangan anggap saya kalah karena saya diam ya! Biarpun saya cuma menantu, tapi kamu tetap penghuni baru di sini."

Grahita menatap datar perempuan yang sialnya menjadi mama tirinya itu. Ia sebenarnya bosan untuk berhadapan dengan Diana, namun nampaknya memberi sedikit pelajaran adalah hal yang tak salah.

Grahita kemudian mendekat ke arah Diana. Wajah dinginnya sangat terlihat di sana. Grahita terlihat berani menatap Diana yang nampak kesal itu.

"Oh begitu nyonya Diana Sadewa? Nampaknya anda sangat tahu tentang saya. Apa sok tahu?"

"Saya juga tidak akan menyebut anda Pramonoadmodjo karena anda hanya menantu di sini. Jadi siapa yang sebenarnya berhak? Anda apa saya?"

"Anda nampaknya lupa jika saya pewaris tunggal dari Sadewa Pramonoadmodjo? Apa saya perlu ingatkan lagi? Walaupun saya tidak memiliki hubungan layaknya ayah dan anak, namun secara nasab, sayalah yang berhak. Jangan bergaya layaknya ratu jika kehormatan anda dapatkan dengan cara hina di sini."

Suara tamparan langsung terdengar di sana. Grahita kembali ditampar dengan keras. Namun gadis itu malah tersenyum miring. Orang-orang nampaknya suka menampar pipinya yang mulus itu. Grahita sudah kebal menjadi sasaran tamparan orang-orang yang menjadi alasannya ia seperti sekarang, dingin.

"Ciri orang yang tak punya harga diri adalah, merasa benar padahal ia salah besar. Ia berlagak bahwa dengan melakukan suatu tindakan besar, maka ia terlihat besar pula. Padahal tindakan itu hanyalah tindakan rendahan yang bahkan tidak sepantasnya dilakukan,"

Aksara Dan SuaraWhere stories live. Discover now