Gandring

21.4K 2.5K 67
                                    

Grahita duduk dengan gusar ketika Gandhi melajukan mobilnya menuju rumahnya. Gadis itu dijemput di bandara Adi Sumarmo 15 menit yang lalu. Akhirnya Grahita datang ke Surakarta menggunakan pesawat terbang. Sedangkan Gandhi baru sampai subuh tadi menggunakan mobil pribadi.

"Rileks aja."

Grahita mencoba tersenyum tipis. Jujur rasanya ia khawatir. Ia takut uminya Gandhi tidak menerimanya dengan tangan terbuka. Pikiran itu berputar hebat semenjak pulang dari Indonesia. Padahal sebelumnya mereka pernah bertegur sapa dan umi menyapanya dengan ramah. Namun tiba-tiba pikiran itu membelitnya begitu kuat.

Tak lama kemudian, mereka sampai di rumah yang bergaya joglo. Gadis itu sempat linglung karena tak percaya dengan apa yang ia hadapi sekarang.

"Ayo turun."

Ucapan Gandhi barusan membuat Grahita tersentak pelan. Gadis itu lalu melepas sabuk pengamannya. Grahita menarik napasnya dalam dengan perlahan, pertanda menyiapkan diri untuk bertemu dengan keluarga Gandhi.

Grahita lalu turun dan berjalan di samping Gandhi. Rumah joglo itu terasa menenangkan dan sejuk. Jarang sekali gadis itu melihat rumah adat di tengah arus modernisasi dan globalisasi ini. Paling-paling ia temui di TMII yang berwujud replika. Justru ia lebih banyak melihat rumah klasik Eropa yang masih eksis di tengah zaman digitalisasi ini.

"Assalamu'alaikum."

Gandhi mengucap salam dan diikuti Grahita yang masuk melewati serambi yang cukup luas. Mereka kemudian masuk ke dalam rumah dan disambut oleh perempuan dengan gamis kebesaran dan khimar berwarna pink cerah. Umi memang stylenya tidak mau kalah dengan yang muda walaupun anaknya sudah besar semua.

Gandhi lalu mencium punggung tangan umi, diikuti oleh Grahita. Sejenak umi menatap gadis yang tampak sungkan dan canggung itu. Pakaian yang dipakai Grahita saat ini adalah sebuah dress panjang warna coklat muda yang serasi dengan kulitnya yang putih.

"Grahita, ya?"

Gadis itu mengangguk canggung seraya tersenyum ramah. Ia harap-harap cemas dengan tatapan itu.

Perlahan umi tersenyum. "Lebih cantikan ketemu langsung ternyata. Ayo silahkan duduk."

Umi langsung menarik pelan gadis itu untuk duduk di kursi panjang yang bisa muat dua sampai tiga orang. Grahita menatap Gandhi, ia sedikit khawatir dengan hal ini. Namun tatapan menenangkan dari lelaki itu cukup menjadi obat penenangnya.

"Gimana kabar kamu, Nduk?"

Perlahan senyum Gandhi terbit. Kalau umi sudah memanggil nduk, ini adalah kabar yang baik.

Grahita tersenyum manis. "Alhamdulillah baik Tante. Tante kabarnya gimana?"

Umi tergelak pelan. "Kamu jangan canggung dan kaku begini, pasti kamu belum dikasih tahu Gandhi, ya?" Tatapan umi kini beralih pada Gandhi.

"Gandhi udah ngomong kok kalau jangan canggung." Lelaki itu membela diri. Memang sebelumnya sudah diberi tahu, namun Grahita saja yang masih cemas.

Umi lalu menatap Grahita dan gadis itu tersenyum malu-malu. "Kamu nggak perlu sungkan dengan kami. Kami nggak bakal gigit kamu, Nduk. Lha wong cah ayu ngene kok ya," ucap umi seraya tertawa kecil.

Grahita hanya mampu memasang senyumannya. Walaupun keturunan Jawa juga, ia masih belum paham bahasa Jawa sepenuhnya. Hanya beberapa kata yang ia tahu, termasuk kata kasar. Entahlah, justru kata-kata kasar yang kadang mudah diingat.

Lalu abah datang dari dalam rumah. Seketika Grahita bangkit dan ikut bersalaman dengan abah Gandhi. Laki-laki yang pembawaannya tenang itu lalu tersenyum ramah dan duduk.

Aksara Dan SuaraWhere stories live. Discover now